Kota Malang, Bhirawa.
Pemagaran sepanjang 30,16 kilometer di kawasan laut Tangerang menjadi sorotan publik. Sebab kegiatan itu memicu kerusakan lingkungan dan ekosistem. Ahli Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Lautan, Dr David Hermawan MP IPM, memaparkan analisis kritis yang mengungkap fakta-fakta mengkhawatirkan terkait kasus ini.
”Pagar sepanjang 30,16 kilometer ini menelan biaya hingga Rp4 miliar hingga Rp5 miliar. Angka sebesar itu jelas tidak berasal dari gotong royong masyarakat biasa,” ujarnya.
Menurut David, ada pihak besar yang membiayai proyek ini. Alasan pencegahan abrasi menggunakan pagar bambu tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat.
”Metode yang lazim digunakan adalah breakwater atau bronjong batu, bukan pagar bambu,” ungkap pria yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu.
Temuan di lapangan mengungkap indikasi yang lebih besar. Berdasarkan data, terdapat 263 bidang tanah yang telah bersertifikat di kawasan tersebut. Mayoritas dimiliki oleh perusahaan-perusahan besar menguasai 20 bidang, bahkan hingga 234 bidang. Sisanya dimiliki oleh perseorangan.
”Fakta ini menunjukkan bahwa proyek pemagaran ini bukan sekadar untuk konservasi lingkungan, melainkan bagian dari rencana reklamasi besar untuk pembangunan kota baru seluas 30 ribu hektar. Nilai ekonominya untuk penguasaan lahan bisa mencapai Rp30 triliun. Namun, kalau nantinya setelah reklamasi, nilai proyek ini diperkirakan mencapai Rp300 kuadriliun. Dengan asumsi luas reklamasi 30 ribu hektar atau 30 juta meter persegi, dan nilai tanah minimal Rp10 juta per meter persegi, keuntungan yang diperoleh bisa mencapai Rp300 triliun,” ungkapnya.
Dampaknya terhadap lingkungan laut dinilai sangat besar. Pola arus laut akan berubah, ekosistem terumbu karang dan padang lamun yang menjadi habitat ikan juga akan rusak. Ini bukan hanya persoalan ekonomi, tapi juga keberlanjutan ekologi yang harus dipikirkan.
David mengungkap sejumlah potensi pelanggaran prosedur. Reklamasi laut seharusnya memiliki izin resmi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang jelas, serta penyesuaian tata ruang dan zonasi. Sayangnya, proyek ini disinyalir berjalan tanpa izin resmi.
”UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil jelas mengatur pengelolaan wilayah pesisir harus berlandaskan prinsip keberlanjutan, melindungi ekosistem, meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merusak lingkungan. Proyek ini melanggar prinsip – prinsip itu. Kawasan ruang laut tidak boleh disertifikatkan, baik berupa SHGU maupun SHM,” tegasnya.
David juga menyoroti keterlibatan sejumlah pengembang besar seperti Pantai Indah Kapuk (PIK 2), yang diduga memonopoli lahan laut. Hal ini tidak hanya menimbulkan persoalan hukum, tetapi juga mengancam keadilan akses sumber daya bagi masyarakat kecil yang bergantung pada laut sebagai sumber penghidupan.
David menegaskan, proyek ini sebaiknya dipertimbangkan ulang atau bahkan dihentikan karena dampaknya akan merusak ekosistem dan tatanan sosial masyarakat pesisir. Pemerintah harus bergerak cepat menegakkan aturan dan memastikan semua prosedur dijalankan dengan benar.
”Diharapkan dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo, pemerintah dapat mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan kasus ini. Peraturan ada untuk ditegakkan. Jika bukan sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi,” tandasnya. [mut.fen]