Surabaya, Bhirawa
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya Anggie Friskila Handayani berkesempatan mengikuti magang di BK3S Jawa Timur. Pengalaman tersebut memberi kesempatan bagi Anggie untuk mengetahui bagaimana BK3S memberi perhatian kepada anak-anak disabilitas.
Memang ada yang berbeda dari cara BK3S Jawa Timur memperlakukan kata “inklusi”. Di tengah banyaknya institusi sosial yang menjadikan inklusi sebatas jargon atau penggugur kewajiban, BK3S justru memilih untuk menjadikannya sebagai budaya. Bukan cuma wacana, bukan cuma formalitas tapi jadi bentuk keberpihakan yang hidup dalam tiap helaan acara mereka.
BK3S Jawa Timur kembali menegaskan komitmennya dalam menciptakan ruang inklusi lewat acara-acara sosial yang rutin digelar sepanjang tahun. Uniknya, seluruh kegiatan tersebut hampir selalu menghadirkan anak-anak disabilitas sebagai pengisi acara utama.
Mulai dari peringatan Hari Disabilitas Internasional, Hari Down Syndrome, hingga forum silaturahmi di BK3S sekalipun, anak-anak penyandang disabilitas dari berbagai organisasi mitra tampil membawakan pertunjukan seni seperti tari tradisional, angklung, musik vokal, hingga pembacaan puisi.
Penampilan angklung
Dalam struktur BK3S sendiri terdapat kelompok-kelompok kerja (pokja) yang fokus pada segmen masyarakat tertentu Lansia, Perempuan dan Anak, Disabilitas, Pemuda dan Remaha. Mereka tidak hanya dilibatkan, tapi juga dibina secara rutin dalam bidang kesenian, keterampilan, dan pengembangan diri. Hasilnya terlihat jelas dalam setiap pertunjukan yang digelar: ada kedisiplinan, ekspresi yang kuat, dan yang paling penting kepercayaan diri.
Partisipasi aktif ini bukan sekadar bentuk pelibatan simbolis. Melainkan upaya sadar dari lembaga untuk menciptakan ruang-ruang sosial yang ramah dan inklusif. Setiap kegiatan dirancang bukan hanya agar mereka hadir, tapi agar mereka terlibat dan bersinar. Ini bukan tentang menjadikan mereka “seperti anak-anak pada umumnya”, tapi menerima mereka dengan segala keunikan dan membiarkan mereka menunjukkan siapa diri mereka.
Terlalu sering, anak-anak disabilitas hanya dijadikan bagian dari narasi kasihan. Didekati lewat lensa keprihatinan. Padahal, ketika diberi panggung yang layak, mereka bisa membalikkan narasi itu. Mereka bisa menginspirasi bukan karena kekurangan mereka, tapi karena kemampuan yang mereka punya-yang selama ini tak diberi ruang untuk tumbuh. BK3S tampaknya cukup paham bahwa inklusi sejati bukan tentang adaptasi sepihak, tapi soal membuka jalan bagi dua arah: masyarakat memahami, dan anak-anak ini diberi akses.
Pertunjukan angklung, tarian daerah, penampilan band semuanya diisi oleh anak-anak dari [mitra bk3s], hingga komunitas mandiri. Ada proses panjang yang terjadi sebelum mereka tampil. Latihan rutin, pengarahan dari pendamping, hingga keberanian untuk naik panggung dan tampil di depan publik. Semua ini berujung pada satu hal yang sederhana tapi mendalam: penghargaan terhadap potensi diri.
Lebih dari sekadar pertunjukan, kegiatan ini menjadi bentuk nyata dari edukasi publik. Bahwa disabilitas tidak harus selalu dikaitkan dengan keterbatasan. Bahwa kreativitas tidak perlu menyesuaikan diri dengan definisi “normal” yang sempit. Bahwa panggung itu bisa milik siapa saja termasuk mereka yang sering kali tidak dianggap siap tampil.
Langkah BK3S ini mungkin terlihat kecil dalam skala kebijakan nasional. Tapi dari skala komunitas, ini adalah langkah besar. Karena mengubah cara pandang masyarakat tidak dimulai dari seminar atau dokumen kebijakan, tapi dari pengalaman langsung. Dari melihat anak-anak disabilitas berdiri percaya diri di atas panggung, dan merasa bahwa itu bukan sesuatu yang “aneh”-tapi sesuatu yang wajar dan membanggakan.
Di era di mana inklusi sosial masih sering jadi jargon, pendekatan yang dilakukan oleh BK3S bisa jadi contoh yang layak dicontoh. Tidak perlu heboh, tidak perlu dikemas berlebihan. Cukup dengan konsistensi dan keberanian memberikan ruang yang setara. Karena terkadang, hal paling revolusioner justru terjadi lewat hal-hal yang terlihat sederhana: seperti anak-anak yang berdiri di atas panggung, menari dengan sepenuh hati, tanpa merasa harus menjadi “normal” terlebih dahulu. [why]


