Visi Perang Sabil di Surabaya, 10 November 1945, menjadi tekad bersama mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan. Belanda ingin menjajah kembali Indonesia, dengan membonceng kemenangan Sekutu (di dalamnya terdapat Amerika Serikat, dan Inggris). Tetapi kalangan ulama (dan santri) bertekad berani perang habis-habisan melawan Sekutu yang baru saja memenangkan Perang Dunia kedua. Melalui Resolusi Jihad, di-kobar-kan perlawanan tak kenal menyerah. Sampai seluruh dunia mengakui masih ada “Indonesia, yang bukan Hindia Belanda.”
Perang Sabil di Surabaya, memicu perang lain di berbagai daerah. Ada perang Ambarawa (20 November 1945), dan Bandung Lautan Api (mem-bumi hanguskan Bandung selatan agar tidak dimasuki Seekutu, Maret 1946). Selama November 1945, pejuang-pejuang juga bergerilya di Cicadas, Lengkong, dan Tegalega, Bandung. Tetapi Sekutu memperkuat pasukan, hingga Bandung terbelah dua. Utara dikuasai Sekutu. Selatan dikuasai TKR. Ada pula perang Puputan Margarana (November 1946), yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai. Pantang menyerah walau kalah.
Seluruh wilayah Jawa Timur (dan seantero Jawa) menghadapi tak-tik Belanda devide et impera. Karena sebagian wilayah dikuasai separuh tentara Sekutu. Separuh lainnya dikuasai Laskar, dan TKR. Sehingga terjadi perang berkepanjangan, sampai tahun 1949. Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949, setelah Konferensi Meja Bundar (KMB). Diterbitkan Akte van Soevereinteit-soverdracht (Akta Penyerahan Kedaulatan) di tandatangani di istana Raja Amsterdam, Belanda.
Belanda tidak mengakui Indonesia berdaulat pada 17 Agustuss 1945. Melainkan saat penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949. Namun ber-angsur-angsur, Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia, bersamaan dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pengakuan dinyatakan oleh Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, bersamaan sesi kajian dekolonisasi 1945-1950 (pada 14 Juni 2023).
Namun pernyataan Mark Rutte sekaligus mengakui telah terjadi “kejahatan ekstrem” terhadap bangsa Indonesia. Namun bangsa Indonesia tidak meng-anggap penting pengakuan, dan permintaan maaf Belanda. Karena seluruh dunia (dengan berbagai konvensi) telah mebtuk kejahatan ekstrem kolonialisme sebagai “kejahatan perang.” Begitu pula Perang Sabil 10 November 1945, telah memperoleh pengakuan internasional sejak awal. Hanya Belanda yang masih bebal, merasa superior.
Mengenang Perang Sabil 10 November 1945, merupakan tekad bersama. Bukan sekadar arek-arek Suroboyo. Juga bukan sekadar bangsa Indonesia. Melainkan juga perjuangan segenap tokoh aktifis HAM (Hak Asasi Manusia) anti-kolonialisme. Perang Sabil, dimulai dengan fatwa Resolusi Jihad, yang diterbitkan pada 22 Oktober. Isinya, Fardlu ‘ain (wajib) berperang untuk semua orang, termasuk wanita dan anak-anak, yang berada pada radius 94 kilometer dari posisi musuh. Di Surabaya, perang sudah dimulai pada 27 Oktober 1945 di berbagai kampung.
Fatwa Resolusi Jihad, disosialisasikan melalui pengajian di kampung. Serta disiarkan melalui radio amatir rakyat (ilegal). Juga dimuat di koran nasional. Antara lain Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) pada 26 Oktober 1945. Sebelumnya juga telah dirilis kantor berita Antara, pada 25 Oktober. Serta koran Suara Masyarakat (Jakarta), 27 Oktober.
Kini Perang Sabil 10 November sudah berlalu 80 tahun. Namun visi-nya masih sangat relevan di-gelora-kan. Pada saat elit politik sibuk mengurus koalisi untuk mempertebal kekuasaan. Maka rakyat kehilangan penyaluran aspirasi, dan pembelaan sosial. Begitu pula kalangan birokarasi dan pengusaha yang ber-sekongkol korupsi. Menyebabkan rakyat kehilangan akses keadilan sosial, dan keadilan ekonomi.
Maka dibutuhkan kembali visi kebersamaan Perang Sabil 10 November 1945. Terutama kalangan non-partisan, yang tidak dibawahkan partai politik, seyogianya ber-kolaborasi membangun hak-hak (ekonomi dan politik) sipil. Sekaligus me-mulia-kan masyarakat ter-marjinal sesuai amanat pembukaan UUD 1945.
——— 000 ———


