Masyarakat Jawa Timur (dan Surabaya) memiliki momentum yang dikenang secara nasional. Kondang pula pada tataran global, mendunia, karena melibatkan pasukan berbagai negara. Perang sabil di Surabaya, 10 Novembver 1945, tercatat sebagai yang terbesar setelah perang dunia Kedua. Blok Sekutu (Amerika Serikat, bersama Inggris, Belanda, dan Prancis), memenangkan perang dunia. Ironisnya, tentara Sekutu harus melawan arek-arek Surabaya. Bahkan harus menyertakan resimen khusus tentara India.
Tentara divisi India (Gurkha) sangat terkenal keberaniannya. Juga senjatanya yang khas, kukri (sejenis pisau komando). Tetapi, Gurkha yang dipimpin Zia ul-Haq, memilih disersi. Kapten Zia, memilih pulang. Begitu pula pasukannya tidak bersedia berperang dengan sesama muslim warga Surabaya. Sekitar 600 pasukan Gurkha memilih melarikan diri ke kampung-kampung di seantero Jawa Timur, menikah dengan wanita pribumi.
Tetapi Perang sabil di Surabaya, 10 November 1945, terlanjur berkobar, sulit dipadamkan. Walau sangat tidak seimbang (dalam persenjataan, dan ilmu perang), namun tentara pribumi terus bergerilya. Perang sabil digelorakan segenap masyarakat tanpa memandang politik identitas. Sejarah mencatat seluruh arek-arek Surabaya asli, dan peranakan suku Sunda, suku Banjar, Madura, Bali, peranakan Arab, China, dan Eropa, turut turun gelanggang.
Spirit juang berkebangsaan patut senantiasa digelorakan pada momentum Hari Pahlawan. Perang Surabaya, 10 November 1945, menjadi tekad bersama mempertahankan kedaulatan negara bangsa (nation state) yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Diawali dengan fatwa (resolusi) Jihad, yang dicetukan 22 Oktober 1945 oleh ulama se-Jawa dan Madura. Awalnya memicu perang kecil antara peranakan Belanda dengan pribumi arek-arek Surabaya.
Tiada perang sabil 10 November 1945, tanpa resolusi jihad ulama. Sehingga rakyat benar-benar rela mati mempertahakan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kelompok NICA (Nederlandsch Indie Civiele Administratie), yang meng-klaim sebagai pemerintahan Hindia Belanda, coba menyusup. NICA mengintimidasi tentara Jepang, sekaligus menebar hoax adu-domba. Hari-hari setelah proklamai 17 Agustus 1945, dipenuhi perebutan kekuasaan. Misi AFNEI menyimpang dari perjanjian Sekutu dengan Jepang.
Berkat Perang Sabil 10 November 1945, mengundang masyarakat internasional memfasilitasi perundingan sebagai pengakuan proklamasi kemerdekaan. Secara berangsur-angsur Inggris tidak mendukung kembalinya NICA sebagai penjajah. Sampai Indonesia berdaulat mutlak. Seharusnya, Indonesia diserahkan secara utuh kepada SEAC (South East Asia Command). Tetapi NICA (dan AFNEI) ingkar. Sampai meletus perang besar, vis a vis, Sekutu melawan arek-arek Surabaya.
Ada peranakan Eropa yang turut dalam perang kemerdekaan 1945, salahsatunya, Muriel Stuart Walker, asal Skotlandia. Tinggal di Bali sejak tahun 1932. Setelah dinobatkan sebagai anak angkat oleh raja setempat (Anak Agung Nura), namanya diubah menjadi K’tut Tantri (berarti diakui sebagai anak ke-empat). Selama perang kemerdekaan Indonesia (tahun 1945-1949), Muriel bergerilya bersama Bung Tomo dan pejuang lainnya. K’tut Tantri mendapatkan julukan “Surabaya Sue” (Penggugat dari Surabaya).
Ada pula tantara Jepang yang membelot menjadi pejuang dalam perang kemerdekaan. Yakni, Ichiko Tatsuo, yang dikenal pula dengan nama Abdul Rachman (pemberian tokoh pergerakan Haji agus Salim). Tatsuo telah menjadi mualaf, ketika menjadi penasihat Divisi Pendidikan PETA. Lalu ditunjuk menjadi Wakil Komando Pasukan Gerilya Istimewa di kaki gunung Semeru, Ia ditemukan gugur (tertembak tantara Belanda) di desa Dampit, Malang.
Pada masa kini, masyarakat NKRI, mengambil inspirasi bersatu padu melawan politik identitas, senafas perjuangan perang sabil melawan penjajahan tahun 1945. Segala bentuk penindasan akan dilawan melalui aksi nyata bersama. Tak terkecuali melawan in-toleransi, dan radikalisme, yang mengancam cita-cita proklamasi.
——— 000 ———