Ketua DPR-RI Puan Maharani, mengungkapkan fenomena kritik rakyat terhadap kondisi negara. Kritik di media sosial (medsos) merupakan wujud dari keresahan, yang hadir dalam berbagai bentuk kreatif memanfaatkan tekonologi informasi. Khususnya medsos sebagai corong suara publik. Dalam demokrasi, rakyat harus memiliki ruang yang luas untuk berserikat, berkumpul menyatakan pendapat dan menyampaikan kritik. Berbagai kritik yang viral, antara lain berupa ujaran “kabur aja dulu,” serta “Indonesia gelap.”
Juga terdapat lelucon politik “negara Konoha.” Sampai simpol-simbol baru seperti One Piece, yang menampilkan bendera”Bajak Laut Topi Jerami,” yang diambil dari serial film animasi. Tampakan bendera Bajak Laut Topi Jerami, tidak mengerikan. Bahkan cenderung Kesan ke-kanak-kanak yang lucu. Juga tidak menyasar agama, dan etnis. Melainkan murni animasi, yang bisa diterima di seluruh dunia (dan Indonesia). Bahkan film-nya ber-narasi simbol persahabatan.
Tidak bisa dipungkiri, aspirasi (kritik) menunjukkan keresahan rakyat dengan bahasa yang disesuaikan zaman. Maka harus didengar. Semua suara rakyat terdengar bukanlah sekadar kata atau gambar. Di balik setiap kata ada pesan. Di balik setiap pesan ada keresahan. Dan di balik keresahan itu ada harapan. Presiden Prabowo Subianto, juga mendengar langsung suara rakyat. Bahkan Sebagian telah direspons dengan cepat. Misalnya, pencabutan izin tambang kawasan geopark di Raja ampat.
Masalah keresahan petani, dijawab Pemerintah dengan menaikkan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) Gabah sebesar Rp 6.500,- per-kilogarm. Disebabkan input harga ke-pertani-an di sawah sudah cukup mahal. Sehingga petani akan memperoleh indeks harga yang diterima (It) lebih besar. Secara langsung akan meningkatkan NTP (Nilai Tukar Petani) sebagai tolok ukur kesejahteraan petani. Tetapi pada sisi hilir (harga beras), pemerintah wajib menjamin ketersediaan (stok), dan harga terjangkau.
Begitu pula sengketa tapal batas antara Aceh dengan Sumatera Utara, bisa diselesaina dengan cepat. Presiden Prabowo Subianto, berketetapan empat pulau di perairan Tenggara Aceh, masuk dalam wilayah propinsi Aceh. Sebelumnya empat pulau, menjadi perebutan (laten) antara Aceh dengan Sumatera Utara. Sampai dikhawatirkan mengganggu stabilitas hubungan kedua daerah. Tidak dapat dianggap sepele, karena segenap anggota DPR-RI, DPD, dan DPR-A, bersatu, meminta keempat pulau dikembalikan kepada propinsi Aceh.
Pengambil-alihan konflik merupakan hasil rembug antara DPR-RI dengan Presiden. Tujuannya, untuk mencegah trauma “kawasan konflik” kembali memanas. Rakyat (dan segenap pejabat) Aceh, marah. Setiap pejabat senior negara, patut mencegah dikursus yang tidak perlu, menjaga kebersatuan NKRI. Sebenarnya Kementerian Dalam Negeri tidak perlu menetapkan empat pulau di tenggara Aceh, masuk dalam wilayah Sumatera Utara. Kini keempat pulau telah kembali menjadi milik Aceh.
Ketua DPR-RI juga menegaskan, bahwa kekuasaan bukan untuk menakuti rakyat. Melainkan untuk menyelesaikan urusan rakyat, meskipun sering kali urusannya rumit. Di-ibarat-kan bagai “cinta segitiga,” antara aspirasi, anggaran, dengan peraturan. Namun se-rumit-rumitnya “cinta segitiga,” diyakini selalu ada jalan. Walau kadang terasa pedih, patah hati; tetapi pemerintah bersama DPR, harus move on. Juga diakui, kadang pembahasan masalahan DPR bersama pemerintah, terlalu lama. Padahal bagi rakyat yang membutuhkan kehadiran negara, menunggu satu hari saja terasa sangat lama.
Sambutan pembukaan Ketua DPR-RI dilanjutkan Pidato Presiden. Seluruh program pemerintah dinyatakan selama 300 hari telah berjalan baik. Termasuk inflasi yang melandai, berkisar di bawah 2%. Serta tanda-tanda swasembada pangan yang bisa diraih tahun ini. Tetapi terdapat pula “keanehan” pada harga beras. Pada hari kemerdekaan RI ke-80, harga beras premium makin mahal, mencapai Rp 16 ribu.
——— 000 ———


