Oleh:
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
Kita tahu, nilai kemanusiaan dalam diri Nabi Muhammad Saw. sangatlah menonjol dan menjadi teladan bagi seluruh umat manusia. Nabi Muhammad dikenal dengan sifat-sifat kemanusiaan yang mulia, seperti kejujuran, kesederhanaan, kasih sayang, keadilan, dan kedermawanan. Tulisan ini akan membidik beberapa aspek nilai kemanusiaan yang terlihat dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw.
Suatu waktu ketika Nabi Muhammad Saw. duduk-duduk bersama beberapa orang sahabat. Tiba-tiba beberapa orang Yahudi membawa jenazah saudara mereka yang baru saja meninggal dunia.
Melihat hal itu, Nabi Muhammad memerintahkan para sahabat untuk berdiri demi menghormati Yahudi tersebut. Salah seorang sahabat lantas berujar, “Itu jenazahnya Yahudi wahai Rasul”. Lalu dengan tegas Rasul menjawab, “Bukankah dia manusia?” Jika kalian melihat manusia yang diarak seperti itu maka berdirilah!”.
Betapapun, mereka (orang Yahudi dan orang-orang lainnya) juga manusia yang mempunyai hak sama. Benar apa kata Gus Dur, bahwa memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya, dan merendahkan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.
Kenapa demikian, karena salah satu ajaran Islam yang amat penting adalah menghormati dan memuliakan manusia, siapapun orangnya tanpa memandang agamanya apa. Sedemikian mulianya, maka sejak sebelum terjadi pembuahan, konsep memuliakan manusia telah diajarkan oleh Islam.
Dengan tegas Allah Swt. berfirman dalam al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 70: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (QS. Al-Isra’ [17]: 70).
Kisah pendek di atas hanyalah satu di antara belasan riwayat yang menceritakan tentang prinsip humanisme yang dipegang erat oleh Nabi. Di kesempatan lain, Nabi juga pernah didatangi oleh seorang perempuan yang mengaku tengah hamil lantaran berzina. Mendengarkan pengakuannya, Nabi Muhammad tidak semerta-merta langsung merajamnya, akan tetapi menyuruhnya agar melahirkan anaknya terlebih dahulu.
Waktu berjalan. Selang beberapa bulan setelah itu sang perempuan kembali menghadap Nabi dengan membawa anak yang baru saja ia lahirkan. Alih-alih merajam, justru Nabi kembali menyuruhnya pulang dan menyusukan anaknya sampai dia bisa disapih.
Rupa-rupanya, setelah anaknya disapih, perempuan tersebut kembali menghadap Nabi dan meminta supaya dirinya diadili sesuai dengan hukum Islam. Maka Nabi pun menitipkan anaknya ke salah seorang kaum muslimin dan memerintahkan umat Islam lainnya untuk merajamnya.
Dikisah yang lain, hal serupa juga terjadi kepada Maiz ibn Malik al-Aslami ketika mengakui kalau dirinya telah berzina. Ketika itu Nabi juga tidak langsung merajamnya, tetapi beliau berpaling dari Maiz seakan-akan enggan untuk menerapkan hukuman rajam kepadanya.
Namun, setelah ia memaksa Nabi dan empat orang laki-laki lain juga sudah bersaksi atas apa yang ia lakukan, akhirnya Nabi memerintahkan para sahabat untuk merajamnya. Kedua kisah ini terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim dan berderajat sahih. Itulah dua kasus rajam yang pernah dilakukan langsung pada masa Nabi Muhammad Saw. masih hidup.
Yang tidak kalah menariknya dari Nabi Saw., selama mengikuti peperangan, Nabi tidak pernah menghilangkan nyawa seseorang secara langsung dengan tangan beliau kecuali hanya satu orang saja, yaitu Ubay ibn Khalaf pada peperangan Uhud di tahun ke-3 Hijriah. Itu pun beliau lakukan karena terpaksa; tidak dan bukan lain hanya untuk mempertahankan dirinya agar tidak dibunuh duluan oleh yang bersangkutan.
Demikian juga ketika mendengar sebagian sahabat yang tetap membunuh musuh yang telah menyerah kalah, beliau sangat marah besar dan mewajibkan kepada sahabat tersebut untuk membayar setengah diat. Ini adalah sebuah kebijakan yang sangat menghargai kemanusiaan dan nyawa manusia.
Meskipun, para sahabat beralasan kalau orang-orang musyrik tersebut hanya berpura-pura menyerah dan khawatirnya ketika para sahabat mempercayainya, mereka akan menyerang dan membunuhnya. Tapi tetap saja Nabi tidak menerima alasan tersebut.
Terakhir, terkait dengan aturan perang, Nabi melarang para sahabat membunuh perempuan, anak-anak dan orang tua. Lebih dari itu, beliau melarang para sahabat agar tidak merusak lingkungan dan tumbuh-tumbuhan ketika berperang. Isyarat itu kembali beliau realisasikan dalam peristiwa Fathu Makkah, di mana beliau membebaskan semua non muslim yang tidak memusuhi umat Islam serta tidak setetespun darah yang mengalir dalam peristiwa bersejarah tersebut.
Syahdan. Sebenarnya masih banyak kisah-kisah unik yang perlu kita renungkan bersama terkait kebijaksanaan Nabi terhadap kemanusiaan. Seandainya umat ini menjadikan beliau sebagai teladan secara paripurna, maka tidak akan ada lagi permusuhan dikalangan manusia, pembunuhan, bahkan peperangan antar satu kelompok dengan yang lain. Karena nyawa merupakan salah satu anugerah terbesar yang Allah berikan kepada manusia, di mana manusia lain diharamkan untuk merampasnya secara paksa kecuali dengan cara yang benar dan diizinkan oleh syariat.
Dengan demikian, betapapun, nilai-nilai kemanusiaan itu sangat penting dan harus dimiliki oleh setiap orang. Tak memandang apapun agamanya seharusnya semua harus memilikinya. Karena dalam nilai kemanusiaan terdapat rasa toleransi dan kasih sayang yang tinggi. Ada perasaan memanusiakan manusia. Kita bisa mulai dengan hal-hal kecil di sekitar kita.
Misalnya memberikan tempat duduk kepada orang tua atau wanita yang sedang hamil ketika sedang naik kendaraan. Intinya kita harus bisa berperasaan terhadap hal-hal yang memang seharusnya mendapatkan perhatian. Karena itu juga akan melatih kepekaan sosial kita agar bisa lebih peduli kepada sesama.
Allah Swt. berfirman dalam al-Qur’an Surat Al-Mumtahanah ayat 8-9: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8-9).
Lebih dari itu, hakikat manusia adalah untuk beribadah. Dan dalam beribadah, tentu sudah menjadi kewajiban hablumminallah dan hablumminannaas. Kita tidak bisa fokus hanya ke salah satu, dalam hal ini harus menerapkan keduanya apabila kita ingin sukses “Muttaqin”.
Cara mengajarkan nilai kemanusiaan terhadap lingkungan sekitar, tentu yang paling utama adalah menjadi “contoh” terlebih dahulu. Apabila memang kita sendiri sudah bisa istiqamah, baru kita mengajak kepada lingkungan sekitar. Dan di dalam mengajak pun juga harus disertai dengan husnudzan, karena perbedaan prinsip dan penolakan pasti ada.
Keteladanan Nabi Muhammad Saw. dalam hal kemanusiaan telah memberikan inspirasi kepada umat manusia untuk menjalani hidup dengan penuh kebaikan, kejujuran, dan kasih sayang. Nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada Nabi Muhammad tunjukkan menjadi dasar bagi kehidupan yang damai dan harmonis dalam masyarakat. Wallahu a’lam bisshawaab.
———– *** ————-