Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus persyaratan presidential threshold pada Pemilihan Presiden. Setiap parpol yang lolos mengikuti Pemilu Legislatif, bisa memiliki Calon Presiden. Sehingga Pilpres 2029, bisa jadi menampilkan lebih banyak Calon Presiden (Capres). Tetapi persyaratan “kualitatif” keterpilihan tetap tidak berubah. Menandakan proses demokrasi diIndonesia semakin baik. Sekaligus mengurangi ke-terbelahan sosial akibat (kampanye) perbedaan pilihan presiden.
MK menghapus ketentuan presidential threshold melalui putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Mengabulkan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Khususnya, pasal 222 UU Pemilu, yang berkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Semula pencalonan oleh parpol atau gabungan parpol, paling sedikit 20% persen dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional. MK Menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Gugatan tentang presidential threshold, diajukan empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sukses. Padahal sebelumnya, gugatan serupa pernah diajukan 30 kali. Termasuk oleh tokoh kaliber nasional. Sehingga amar putusan MK, dianggap sebagai “pembangunan” citra MK yang runtuh akibat berbagai pelanggaran etika. Bahkan banyak hakim konstitusi MK terjerat pidana berat Tipikor. Sudah dijebloskan ke penjara. Bahkan hukuman pidana tipikor yang paling berat, diterima oleh mantan Ketua MK, dari kader parpol.
Tetapi masih terdapat persyaratan “kualitatif” lain yang diperlukan untuk menjamin kualitas calon presiden. Antara lain, persyaratan parpol yang bisa ikut Pemilu. Berdasar UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, pasal 173, terdapat 8 syarat calon parpol bisa mengikuti Pemilu. Beberapa syarat yang sangat berat, adalah memiliki kepengurusan di 75%, jumlah kabupaten dan kota di propinsi. Serta 50% jumlah kecamatan di kabupaten dan kota.
Terutama diperlukan tokoh pejabat Ketua Umum parpol yang sangat dikenal secara nasional. Diperlukan waktu sangat lama membentuk parpol sejak tahap awal (penghimpunan dukungan rakyat). Bahkan banyak parpo Juga sangat “padat modal.” Realitanya banyak parpol yang sudah komplet, diterima pula oleh KPU untuk mengikuti Pemilu. Berkali-kali ikut Pemilu, tetapi tidak lolos parliamentary threshold. Padahal dipimpin oleh Ketua Umum yang sangat kesohor, dan tergolong “senior” pada ranah politik praktis.
Maka untuk Pemilu (dan Pilpres) 2029, bisa jadi, akan terdapat UU baru untuk “mempersulit” kesertaan parpol pada Pemilu. Karena setiap parpol akan berhak mengusung Capres. Ke-sakral-an Pilpres merupakan amanat konstitusi. Diatur dalam UUD pasal 6A, ayat (1), dinyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”
Terdapat frasa kata “oleh rakyat.” Sehingga rakyat memegang kedaulatan tertinggi, dan langsung (tidak diwakili) dalam coblosan Pilpres. Pilihan rakyat wajib dilantik. Kecuali terdapat kritisi yang “membahayakan” demokrasi, dan nyata-nyata terdapat kecurangan Pilpres yang sistematik, terstruktur, dan masif. Namun sebenarnya konstitusi sudah mewaspadai Capres “sembarangan” yang bisa melemahkan legitimasi ke-presiden-an.
Sudah terdapat syarat “kualitatif,” tercantum dalam UUD. Pada pasal 6A ayat (3), dinyatakan: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.”
Namun pengusulan Capres, diduga masih akan terbatas pada hasil beberapa koalisi paling gemuk. Sehingga masih diperlukan jalan lempang penerbitan kontitusi menjamin Capres yang lebih beragam.
——— 000 ———