Pemerintah tidak bisa “semau gue” mengubah nominal dan alokasi anggaran dalam APBN. Karena seluruh dokumen yang berisi struktur, nominal, alokasi dan nomenklatur, telah menjadi undang-undang (UU) APBN. Telah diatur dalam konstitusi (UUD) dalam beberapa pasal. Bahwa perubahan UU wajib melalui persetujuan DPR. Kini beberapa Kementerian dan Lembaga Negara, mulai mengkhawatirkan dampak efisiensi anggara. Sekaligus “melapor” kepada DPR untuk menambah anggaran setelah efisiensi.
Pemerintah melakukan efisiensi secara sistemik melalui Instruksi Presiden (Inores) Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025. Efisiensi (penghematan) bersifar wajib. Namun banyak yang khawatir tidak akan cukup. Efisiensi, terutama mengurangi biaya perjalanan dinas, kunjungan luar negeri, dan biaya rapat dan seminar. Tetapi pengurangan anggaran Kementerian dan Lembaga dalam jumlah besar, cukup mengkhawatirkan.
Bahkan Kementerian Pendidikan Tinggi, khawatir UKT (Uang Kuliah Tunggal) akan naik. Begitu pula BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), pagu anggaran setelah efisiensi dikhawatir mengganggu kinerja. Karena pagu anggaran dipotong sampai lebih separuh (50,35%). Terutama mitigasi ancaman bencana Geo-Hidrometeorologi, yang bisa terjadi setiap saat, tanpa diduga. Lembaga dan Kementerian lain, sebenarnya juga keberatan, karena “di-efisiensi” sampai 73,34% (Kementerian Pekerjaan Umum).
Tak terkecuali Otorita IKN (Ibu Kota Nusantara), memperoleh pengurangan paling besar, 75,2%. Semula Rp 6,39 tirlyun, dipangkas Rp 4,81 trilyun, menjadi Rp 1,58 trilyun. Kepala Otorita IKN, telah menghadap DPR-RI untuk memperoleh tambahan anggaran. Bahkan lebih besar, menjadi Rp8,1 trilyun. Komisi II DPR-RI menyetujui tambahan anggaran untuk pembangunan kompleks legislatif, yudikatif, dan sistem pendukungnya di IKN.
Kelaziman dalam penentuan per-angka-an alokasi anggaran Kementerian dan Lembaga, dilakukan dala rapat bersama Komisi-komisi di DPR. Biasanya, Kementerian dan Lembaga, mengajukan per-angka-an untuk dibahas. Pada ujungnya Komisi-komisi di DPR-RI bisa menambah, dan mengurangi ajuan pemerintah. Prosedur wajib pengajuan anggaran (berkait UU APBN, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), diatur dalam konstitusi.
Dalam hal pembentukan UU, DPR memiliki bandul lebih besar dibanding pemerintah (Presiden). Diatur dalam UUD pasal 20 ayat (5). Dinyatakan, “Dalam hal rancangan undangundang … tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undangundang tersebut disetujui, rancangan undangundang tersebut sah menjadi undangundang.”
Maka suatu Rancangan UU bisa tetap bisa berjalan, walau tidak disahkan oleh Presiden. Tetapi jika tidak disahkan oleh DPRD, maka suatu Rancangan UU, tidak bisa disahkan (tidak berlaku). Tidak terkecuali UU tentang APBN setiap tahun yang wajib dibahas, dan disahkan oleh DPR. Maka berkait perubahan per-angka-an alokasi Kementerian dan Lembaga, pasca Inpres Nomor 1 Tahun 2025, wajib memperoleh persetujuan DPR. Maka benar, Kementerian dan Lembaga, mendatangi DPR-RI.
Menteri Keuangan (sebagai “arsitek” Inpres 1 Tahun 2025) telah bertemu DPR-RI. Bisa jadi menjadi lobi awal, minta persetujuan perubahan anggaran. Tetapi terdapat “jalan lain,” Presiden akan menempuh menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU), seperti diatur dalam UUD pasal 22 ayat (1). Tetapi terdapat syarat khusus, “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
Tetapi Perppu, juga harus diajukan kepada DPR. Seperti diatur UUD pasal 22 ayat (2), bahwa “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.” Serta amanat konstitusi, UUD pasal 22 ayat (3), “Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.” Maka wacana efisiensi, seyogianya di-mitigasi. Karena APBN (dan APBD Propinsi serta Kabupaten dan Kota) merupakan stimulus perekonomian.
——— 000 ———