Anggota Komite III DPD RI, Agita Nurfianti melakukan kegiatan reses untuk menyerap aspirasi masyarakat dan daerah guna meningkatkan pelindungan terhadap bahasa daerah, Selasa (23/12), di Bandung.
DPD RI Bandung, Bhirawa.
Bahasa daerah adalah salah satu unsur kebudayaan paling penting. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan keragaman bahasa terbesar di dunia, dengan 718 bahasa daerah yang teridentifikasi. Bahasa daerah banyak berkontribusi dalam memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa pelindungan bahasa daerah masih kurang. Karena itu, Anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) Daerah Pemilihan Jawa Barat (Jabar) Agita Nurfianti melakukan kegiatan reses untuk menyerap aspirasi masyarakat dan daerah guna meningkatkan pelindungan terhadap bahasa daerah, Selasa (23/12), di Bandung.
Maksud dan tujuannya untuk melakukan inventarisasi materi menyangkut berbagai permasalahan terkait pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, terkait Bahasa Daerah; serta menyerap aspirasi, pandangan, pendapat dan masukan dari masyarakat dan daerah terhadap pelaksanaan Undang-Undang tersebut.
Hadir pada kegiatan tersebut antara lain dari Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Jabar; Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jabar; Balai Bahasa Provinsi Jabar; Disdik Kota Bandung; dan Disdik Kabupaten Bandung Barat.
Kepala Balai Bahasa Jabar Herawati mengatakan, terdapat 11 bahasa daerah di Indonesia telah dinyatakan punah. Sementara di Jabar terdapat tiga bahasa daerah yang teridentifikasi, yaitu Sunda, Cirebon-Dermayu, dan Melayu Betawi. Namun, baru Bahasa Sunda dan Cirebon yang tercatat resmi dalam peta bahasa Badan Bahasa. Bahasa Sunda secara kuantitas, dinilai aman dengan jumlah penutur sekitar 30 juta jiwa (2023). Namun, secara kualitas, vitalitasnya mengalami kemunduran, terutama di kalangan generasi muda (Gen Z dan Post Gen Z) yang cenderung pasif, yaitu memahami tetapi tidak aktif menggunakan sesuai kaidah.
Sementara itu Analis Kebutuhan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Disdik Jabar Yuyus Wisnurat menyampaikan, tantangan utama salah satunya faktor Sumber Daya Manusia (SDM), antara lain kekurangan guru bahasa daerah, distribusi tidak merata, serta kualifikasi dan regenerasi, yang mana banyak guru bahasa daerah mengajar di luar kualifikasi akademiknya. Selain itu, guru-guru senior banyak yang diangkat menjadi kepala sekolah, menyebabkan kekosongan kader regenerasi.
Tantangan berikutnya terkait penurunan minat yang drastis di kalangan siswa untuk menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari (nilai bahasa asing/Inggris seringkali lebih tinggi daripada nilai bahasa daerah); adanya stigma negatif yang menyebabkan kekhawatiran orang tua dan persepsi bahwa menggunakan bahasa Sunda (terutama yang tidak halus) dianggap kasar atau kampungan; serta masifnya pengaruh budaya global yang menjadi tantangan berat dalam menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa daerah.
Tantangan lainnya terkait kurangnya dukungan dari beberapa Pemerintah Daerah (Pemda); keterbatasan anggaran untuk pembinaan, pencetakan buku ajar, dan bahan bacaan literasi berbahasa daerah masih sangat terbatas; serta penghentian beberapa program strategis seperti Kongres Bahasa Daerah di Jabar yang dialihkan ke nomenklatur lain.
Selain itu, implementasi Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) belum seragam dan merata (beberapa sekolah hanya fokus melatih siswa untuk lomba, bukan untuk penguatan pembelajaran muatan lokal secara menyeluruh); kurangnya sosialisasi aplikasi pendukung seperti “Sirung Basa”; serta maraknya penggunaan bahasa asing untuk penamaan properti dan produk komersial.
Informasi lain yang didapat pada kegiatan resees ini bahwa beberapa program telah dan sedang berjalan, antara lain Revitalisasi Bahasa Daerah (RBD), di mana Jabar menjadi pionir program RBD sejak 2021 yang berbasis satuan pendidikan. Program ini mencakup berbagai lomba untuk menumbuhkan minat generasi muda, seperti mendongeng, pidato, dan stand-up, yang mendapat apresiasi dari UNESCO.
Selain itu dilakukan inisiatif lokal antara lain Pemda (Kota Bandung dan Kab. Bandung Barat) mengalokasikan anggaran khusus untuk mendukung FTBI; Dinas Pendidikan berkolaborasi dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan budayawan untuk mengadakan bimbingan teknis dan pelatihan guru, termasuk digitalisasi media ajar; Balai Bahasa mengembangkan kamus digital dan aplikasi “Sirung Basa” yang kini dilengkapi fitur video pembelajaran daring; serta terdapat program pembiasaan, seperti “Rebo Nyunda” dan “Kemis Nyunda” untuk membiasakan penggunaan bahasa dan pakaian adat di lingkungan sekolah dan instansi.
Dari berbagai informasi yang didapat, disusun rekomendasi dan rencana tindak lanjut. Pertama penguatan regulasi dan kebijakan dengan mendorong Pemda untuk menyusun Peraturan Daerah (Perda) tentang penanganan bahasa dan sastra daerah serta memasukkannya dalam perencanaan dan penganggaran; mewajibkan penggunaan bahasa daerah di ranah pendidikan dasar dan kemasyarakatan, juga penggunaan aksara daerah pada papan nama jalan dan fasilitas publik; serta mengusulkan agar RUU Bahasa Daerah dapat memperkuat aspek dokumentasi, revitalisasi, dan pembinaan secara komprehensif.

Kedua, solusi masalah SDM dengan mendesak pemerintah pusat untuk membuka kembali formasi P3K untuk guru bahasa daerah dan menghapus moratorium pengangkatan guru; mengusulkan kebijakan keahlian ganda bagi guru untuk mengatasi kekurangan pengajar di berbagai jenjang; serta memperluas akses program Pendidikan Pfrofesi Guru (PPG) bagi guru bahasa daerah.
Ketiga peningkatan anggaran dan program, dengan mengalokasikan anggaran khusus untuk pengadaan buku ajar dan bahan bacaan literasi berbahasa daerah; menyelenggarakan kembali Kongres Bahasa Daerah (Sunda, Cirebon Dermayu, Melayu Betawi) untuk menjaring aspirasi; serta meningkatkan sinergi antar pemangku kepentingan (pemerintah, akademisi, komunitas, budayawan) agar upaya pelestarian tidak berjalan parsial.
Keempat, pengawasan dan sosialisasi, dengan membentuk tim pengawasan penggunaan bahasa di ruang publik tingkat provinsi untuk membatasi penggunaan nama asing yang tidak perlu; mensosialisasikan aplikasi pendukung seperti “Sirung Basa” secara masif kepada masyarakat; serta memastikan implementasi program seperti FTBI sesuai tujuan utamanya, yaitu penguatan pembelajaran bagi seluruh siswa, bukan hanya untuk kompetisi.
“Pelestarian bahasa daerah bukan hanya soal menjaga warisan budaya, tetapi juga investasi jangka panjang dalam membangun karakter, identitas, dan kebanggaan generasi muda. Komite III DPD RI akan terus mengawal pelaksanaan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan agar benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat daerah,” tutur Agita. (ira.hel).


