Oleh :
Rangga Sa’adillah S.A.P.
Kabag MKU UNUSIDA, Komisi Pendidikan MUI Kab. Sidoarjo, BPE MUI Jatim.
Perkembangan teknologi tidak bisa dibendung.Ia datang bukan seperti angin sepoi-sepoi yang menyejukkan, melainkan bak tsunami digital: gelombang besar yang menghantam bibir tradisionalitas dan merengsek masuk membanjiri seluruh sendi kehidupan manusia. Tsunami teknologi ini mustahil ditahan hanya dengan tangan kosong, lari pun tidak mungkin.Perlu bendungan kokoh berupa literasi, kebijakan, dan pengawasan berlapis. Bahkan ketika bendungan dibangun, gelombang tetap akan menerjang, maka langkah bijaknya bukan memusuhi arus, tetapi mengemudikan kapal dengan kompas moral dan etika, agar kita tidak karam di tengah samudera informasi.
Teknologi juga bisa dianalogikan sebagai hutan belantara digital.Iatampak menyejukkan dan menjanjikan buah-buah pengetahuan, tetapi menyimpan hewan buas, jebakan berbahaya, dan tanaman beracun. Tanpa peta dan pengalaman, pengembara mudah tersesat atau keracunan.Demikian pula anak-anak, mereka tertarik pada gemerlap aplikasi, gim, dan konten hiburan, sementara di balik itu ada potensi bahaya yang tidak mereka sadari. Hewan buas (aplikasi jahat) akan menerkam mereka, dan menjadikan mereka sebagai makan siang yang nikmat.
Native Digital dan Jurang Antargenerasi
Fenomena yang tak terelakkan, gadget telah berubah dari sekadar alat komunikasi menjadi ruang hidup baru yang membentuk cara anak belajar, bersosialisasi, dan membangun identitas diri. Anak-anak dari Generasi Alpha dan Beta tumbuh dalam lingkungan yang benar-benar berbeda dari generasi sebelumnya.Mereka adalah native digital.Generasi ini lahir ketika teknologi sudah mapan.Mereka hidup dengan layar biru.Gadget menjadi bagian dari rutinitas harian.Sejak balita, mereka mengenal video pendek, gim daring, fitur swipe, dan berbagai aplikasi hiburan.Gadget bukan sekadar perangkat.Gadgetsudah menjadi ruang bermain, ruang belajar, bahkan ruang sosialisasi.Kecakapan digital mereka tumbuh secara alami, seakan-akan intuitif. Namun, di balik kemampuan itu, mesti ada resiko akan penggunaannya, seperti: risiko kebocoran data pribadi, risiko penipuan, dan risiko kesehatan digital.
Di sisi lain, orang tua mereka berasal dari generasi digital immigrant. Sebagian besar baru mengenal internet setelah dewasa dan tidak tumbuh dalam suasana digital.Perbedaan pengalaman ini menciptakan generation gap yang sangat besar.Saat ini jamak ditemui, orang tua mulai menyerahkan gadget kepada anak sebagai solusi praktis untuk membuat mereka tenang, tanpa menyadari bahwa kebiasaan itu bisa membuka pintu risiko jangka panjang, seperi: kecanduan, gangguan perhatian, hingga paparan konten yang berbahaya.
Jurang pemahaman ini membuat proses pendampingan anak menjadi tidak efektif. Anak bergerak dengan cepat, sementara orang tua tertinggal.Ketika anak menemukan konten atau platform baru, orang tua bahkan belum selesai memahami platform yang lama.Akibatnya, hubungan pengasuhan digital tidak seimbang.Anak terlanjur lebih percaya pada teknologi daripada pada orang tua.Mereka merasa lebih nyaman bertanya pada mesin pencari, bukan pada ayah atau ibunya.Hal ini bukan hanya masalah teknologi, tetapi juga masalah relasi dan komunikasi dalam keluarga modern.
Perlu Kebijakan Pembatasan
Di tengah dinamika tersebut mestinya kita sepakat bahwa keluarga sebagai pondasi benteng pertahanan anak dari potensi lahgun (penyalahgunaan) gadget.Dalam hal ini orang tua perlu menyapih anaknya dengangadget. Tetapi ini hanyalah pondasi benteng saja, tanpa bangunan yang kokoh berupa kebijakan pemerintah tentang pembatasan gadget, benteng ini akan jebol.Negara seharusnya hadir untuk memastikan bahwa teknologi tidak menciptakan generasi yang rapuh secara sosial, emosional, maupun ideologis. Kebijakan ini dapat berupa pedoman nasional tentang screen time berdasarkan usia, regulasi ketat terhadap konten digital, kewajiban platform digital menyediakan child-safe mode yang benar-benar aman, hingga aturan penggunaan gadget di lingkungan sekolah.
Dalam hal ini, Pemerintah diharap tidak hanya memasifkan program digitalisasi pendidikan, tetapi perlu terus mendukung kampanye literasi buku, seperti gerakan membaca buku diperpustakaan, program storyteeling pada pendidikan anak usia dini. Selain itu juga perlu inisiasi zona bebas gadget, seperti halnya bagaimana Pemerintah membatasi perokok dengan menerapkan smoking area.Kampung Lali Gadget yang ada di Sidoarjo adalah salah satu ikhtiarnya.Sehingga bukan hanya mendirikan Kampung Pancasila.Tanpa kebijakan yang tegas, gadget akan terus menjadi “orang tua kedua” yang tidak memiliki nilai moral dan tidak mampu mendidik anak secara utuh.
Ancaman Radikalisme Melalui Gadget
Potensi kerawanan yang baru-baru ini muncul ialah pembibitan radikalisme melalui gim online.Konten sarkastik, meme, atau video pendek yang tampak humoris juga bisa menjadi virus radikalisme. Proses radikalisasi tidak lagi dilakukan dengan ceramah panjang atau doktrinasi intensif. Kini ia hadir dalam bentuk konten yang seolah-olah lucu, tetapi membawa pesan ideologis ekstrem. Dalam hal ini FKDM Provinsi Jawa Timur sering memberikan peringatan kepada stakeholder untuk mewaspadai radikalisme model baru ini.Inilah bentuk baru radikalisme yang disebut soft radicalization, yang bekerja melalui hiburan dan algoritma.
Sementara itu, algoritma platform digital memperkuat paparan anak terhadap konten tertentu. Jika anak menonton satu video bernuansa kekerasan, platform biasanya akan merekomendasikan video serupa. Lama-kelamaan, anak masuk ke echo chamber yang mempersempit perspektif mereka dan meningkatkan risiko paparan konten ekstrem.Jika fenomena ini tidak dicegah sejak awal, kita bisa menghadapi generasi yang kehilangan sensitivitas sosial dan moral akibat terbiasa melihat kekerasan, ujaran kebencian, atau candaan yang destruktif.
Dengan berbagai risiko tersebut, pengawasan gadget bukan lagi tugas kecil.Diperlukan kolaborasi kuat antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah.Orang tua perlu meningkatkan literasi digital, bukan hanya memberikan larangan tanpa pemahaman.Sekolah harus mengintegrasikan pendidikan literasi digital dan keamanan siber dalam kurikulum, sekaligus menyediakan layanan konseling untuk mengenali tanda-tanda kecanduan atau dampak psikososial akibat penggunaan gadget.Pemerintah, melalui kebijakan nasional, perlu mengatur ekosistem digital agar ramah anak, aman, dan sehat secara mental.
Pada akhirnya, gadget bukan musuh.Ia dapat menjadi alat belajar yang luar biasa, membuka akses informasi, memperluas kreativitas, dan memperkuat kecakapan masa depan anak. Namun, tanpa pendampingan dan kebijakan yang tepat, gadget dapat menjadi sumber kerentanan yang menggerus masa depan generasi muda. Generasi Alpha dan Beta harus dibimbing, bukan dibiarkan tenggelam dalam lautan digital tanpa pelampung.
Mewaspadai kerawanan gadget berarti menjaga masa depan bangsa. Kita tidak sedang melawan teknologi, melainkan mengarahkan pemanfaatannya agar menjadi sarana pemberdayaan, bukan jebakan yang menghilangkan masa kecil, kesehatan mental, dan nilai kemanusiaan anak-anak kita.Dengan langkah kolektif dan kesadaran bersama, teknologi dapat menjadi sahabat bagi perkembangan anak.
————- *** —————–


