Oleh :
Oman Sukmana
Guru Besar FISIP dan Ketua Prodi Doktor Sosiologi,
Universitas Muhammadiyah Malang
Akhir-akhir ini Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan informasi kepada publik terkait potensi Indonesia menghadapi ancaman terjadinya gempa yang dahsyat yang disebut sebagai gempa megathrust. Gempa megathrust adalah gempa bumi yang sangat besar yang terjadi di zona subduksi, yakni wilayah tempat salah satu lempeng tektonik bumi terdorong di bawah lempeng lainnya.
Proses terjadinya bencana megathrust ini dimulai ketika lempeng samudera (Indo-Australia) mendesak lempeng benua (Eurasia) di dasar laut. Tekanan yang terus-menerus antara kedua lempeng ini akan menyebabkan terakumulasinya energi pada zona penunjaman. Pada saat energi yang terakumulasi mencapai batas maksimum, lempeng akan tiba-tiba terlepas secara cepat dan mendadak, menghasilkan gempa bumi besar atau gempa megathrust. Goncangan kuat dari gempa ini dapat memicu terjadinya tsunami raksasa yang dapat menyapu daerah pesisir di sekitarnya.Wilayah Indonesia yang berada di sepanjang zona penunjaman lempeng tektonik ini sangat rentan terhadap bahaya bencana megathrust.
Dampak dari bencana megathrust di Indonesia dapat sangat parah, dapat menghancurkan infrastruktur dan bangunan di wilayah pesisir.Goncangan yang kuat juga dapat menyebabkan tanah longsor dan kerusakan parah pada jaringan listrik, air, dan telekomunikasi.Lebih lanjut, gelombang tsunami yang tinggi dapat menyapu permukiman, fasilitas umum, dan sumber daya alam di pesisir, serta menyebabkan korban jiwa yang besar.
Oleh karena itu, mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat serta pemerintah dalam menghadapi bencana megathrust sangat penting untuk dilakukan.Penguatan infrastruktur tahan gempa, sistem peringatan dini, serta pelatihan dan edukasi masyarakat merupakan langkah-langkah kunci yang harus dilaksanakan untuk meminimalkan korban dan kerusakan akibat bencana ini. Maka peringatan BMKG bahwa Indonesia sedang menghadapi ancaman bahaya bencana megathrust tidak bertujuan untuk menciptakan keresahan social, akan tetapi justru untuk menciptakan dan mendorong kesiap-siagaan social.
Dewasa ini, Indonesia tidak hanya sedang menghadapi ancaman bencana alam megathrust saja, akan tetapi juga sedang menghadapi ancaman bencana megathrust politik. Mengadopsi konsep bencana megathrust yang menyebutkan bahwa bencana megathrust adalah bencana bumi berukuran sangat besar yang terjadi di zona subduksi, di mana salah satu lempeng tektonik Bumi terdorong ke bawah lempeng tektonik lainnya. Maka dapatlah dinyatakan bahwa bencana megathrust politik adalah merupakan bencana politik yang berukuran sangat besar yang terjadi sebagai akibat gesekan, dorongan, dan dinamika perubahan konstelasi kekuatan politik.
Apabila dunia Bumi dasar laut ini merupakan medan pertarungan kekuatan antara lempeng samudera (Indo-Australia) dan lempeng benua (Eurasia) dimana keduanya saling menekan dan menggeser, maka dunia politik adalah merupakan medan pertarungan perebutan kekuasaan politik antar berbagai kekuatan politik, yakni Partai Politik (Parpol). Jikapertarungan kekuatan antara lempeng samudera (Indo-Australia) dan lempeng benua (Eurasia) akan berpotensi menghasilkan ancaman bencana megathrust yang akan berdampak terjadinya gelombang tsunami, maka pertarungan kekuatan politik dalam memperebutkan kekuasaan politik bisa saja berpotensi menimbulkan ancaman bencana megathrust politik yang akan berdampak terjadinya gelombang tsunami politik. Salah satu bentuk dari gelombang tsunami politik adalah apa yang disebut revolusi social politik.
Dalam perspektif sosiologi politik diakui bahwa perubahan social politik dalam masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Masyarakat adalah sebuah entitas social yang tumbuh dan berkembang secara dinamis.Faktor-faktor yang dapat menyebabkan perubahan sosial antara lain perkembangan teknologi, pergeseran demografis, transformasi ekonomi, serta peristiwa-peristiwa besar seperti bencana alam, konflik, dan inovasi sosial.Perubahan dapat terjadi secara cepat atau lambat, direncanakan atau tidak direncanakan, serta berdampak luas atau terbatas pada kelompok tertentu.Upaya-upaya adaptasi dan penyesuaian diri menjadi kunci agar perubahan sosial dapat dikelola dengan baik oleh suatu masyarakat.
Proses perubahan sosial bisa bersifat evolutif dan revolutif. Perubahan sosial evolutif, yakni perubahan yang terjadi secara perlahan, bertahap, dan berkelanjutan.Perubahan sosial evolutif cenderung tidak mengacaukan struktur sosial yang ada, melainkan memodifikasi atau menyesuaikannya secara gradual.Sedangkan perubahan sosial yang bersifat revolutif adalah perubahan yang terjadi secara cepat, mendasar, dan radikal.Perubahan revolutif dapat mengubah sendi-sendi utama dalam struktur dan institusi sosial suatu masyarakat.Faktor-faktor penyebab perubahan revolutif biasanya berasal dari luar, seperti peristiwa politik, ekonomi, atau bencana alam yang menyebabkan guncangan besar.Perubahan revolutif cenderung dapat mengakibatkan disrupsi serta konflik sosial dalam masyarakat.
Dalam memahami bagaimana proses terjadinya perubahan social politik, dapat mengacu kepada perspektif Thomas Kuhn, seorang sejarawan, filsuf, dan ilmuwan yang paling berpengaruh di abad ke-20. Khun dikenal karena konsepnya tentang paradigma ilmiahdalam bukunya yang terbit pada tahun 1962 dengan judul The Structure of Scientific Revolutions.Kuhn menawarkan pandangan bahwa sains tidak berkembang secara linier, bertahap, dan kumulatif, tetapi justru melalui revolusi ilmiah.
Menurut Kuhn, sains (ilmu pengetahuan) berkembang melalui pergeseran paradigma ilmiah. Paradigma adalah kerangka berpikir, asumsi-asumsi, nilai-nilai, serta metode yang dianut oleh suatu komunitas ilmiah pada periode tertentu. Paradigma yang lama akan digantikan oleh paradigma baru, maka transisi antara paradigma lama ke paradigma baru ini adalah apa yang disebut Kuhn sebagai revolusi ilmiah. Suatu revolusi akan terjadi apabila ditandai oleh munculnya situasi krisis. Kuhn menggambarkan proses perkembangan sains (ilmu pengetahuan) melalui skema sebagai berikut: Paradigm I-Normal Science-Anomalies-Crisis-Revolution-Paradigm II.
Skema Kuhn ini menggambarkan bahwa suatu perubahan social terjadi yang ditandai oleh munculnya paradigm II adalah terjadi melalui suatu revolusi yang dirangsang oleh adanya suatu krisis social dalam masyarakat.Sementara situasi krisis terjadi karena sebelumnya terdapat situasi kegelisahan dan ketidakpatsian (anomali) dalam masyarakat sebagai akibat dari melemahnya kepercayaan dan keyakinan atas kebenaran paradigm I.
Jadi, jika mengacu kepada pandangan Kuhn tersebut maka revoluasi socialpolitik ituakan berpotensi terjadi jika terdapat indikasi krisis social politik. Semogra suasana hiruk pikuk social politik yang terjadi di Indonesia saat ini tidak mengindikasikan suatu situasi krisis social politik yang berpeluang terjadinya revolusi yang dapat memicu terjadinya gelombang tsunami social politik…Waspadalah…(*)
———— *** ————–