26 C
Sidoarjo
Friday, November 22, 2024
spot_img

Merdeka untuk Tanah dan Air


oleh:
Rachmad K Dwi Susilo
Dosen Sosiologi Lingkungan, Sumber Daya Alam dan Kebencanaan pada FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Alumni Public Policy and Social Governance, Hosei University, Tokyo, Jepang.

Gegap gempita dan kemeriahan peringatan hari ulang tahun kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 79 masih terasa hari ini. Terlebih berbarengan dengan pembangunan ibu kota baru IKN (ibu kota nusantara), maka peringatan ini menjadi sangat meriah. Data mengatakan anggaran upacara kemerdekaan di IKN sebesar Rp 87 miliar, jauh lebih tinggi dibandinganggaran upacara tahun lalu sebanyak Rp 53 miliar (Liputan6.com, 15/8/2024). Sementara itu, di instansi pemerintah dan warga, peringatan kemerdekaan tidak kalah menarik. Sebagai ritual tahunan berbagai kegiatan dilakukan dengan penuh variasi dan mengeluarkan banyak, pengorbanan apakah material, tenaga dan sosial.

Penyelenggaraan secara meriah diperbolehkan, namun sebaiknya diikuti dengan refleksi yang berpatokan pada substansi dari kemerdekaan ini. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyatakan, merdeka adalah bebas (dari perhambaan, penjajahan, lepas dari tuntutan dan kondisi tidak terikat, Kemerdekaan bukan hanya sekedar bebas dari penjajahan bangsa asing dan merdeka juga bukan sekedar tidak menjumpai lagi tentara-tentara asing yang mengeruk sumber daya alam, tetapi kondisi tidak terikat untuk mengelola dan mengendalikan semua sumber daya demi kepentingan bersama. Sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya material dan bahkan, sumber daya politik dikuasai dan dikelola oleh bangsa ini secara berkeadilan dan pemerataan.

Dalam perspektif hasil pengelolaan sumber daya alam terhitung mulai 79 tahun lalu bangsa ini merdeka, benarkah pada kondisi baik-baik saja? Benarkah “perasaan” kita benar-benar merdeka dari amukan krisis dan bencana lingkungan yang mengintai sewaktu-waktu? Sudahkah langkah dan kebijakan bangsa ini benar-benar menyelamatkan kehidupan kita?

Berita Terkait :  Opini Menghakimi

Krisis Tata Kelola Lingkungan
Sejatinya kondisi ekologi global hari ini sedang tidak baik-baik saja. Dampak perubahan iklim dan pemanasan global mulai kita rasakan mengancam kehidupan manusia. Bencana alam yang mutahir kita jumpai yaitu banjir di Guangdong, China, April 2024 dimana 127 juta warga berpotensi terdampak bencana ini. Sementara itu, suhu panas ekstrim terjadi di Tokyo, Juli 2024 yang menyebabkan 4 orang tewas dan 2.000 masuk rumah sakit.

Selain itu, anomali cuaca terjadi. Satu wilayah mengalami kondisi kelangkaan air, tetapi belahan wilayah yang lain mengalami banjir sudah menjadi gambaran kita hari ini. Belum lagi membicarakan, kondisi lingkungan buatan dimana darurat sampah menjadi persoalan semua kota yang rentan konflik sosial antara pemerintah dan masyarakat.

Kita mendapati pengelolaan tanah dan air yang jauh dari sistem yang baik. Krisis agraria dan sempitnya ruang-ruang ekologis menjadi permasalahan Anny Mulyani (2016) memperkirakan laju konversi lahan sawah 96,512 ha/tahun. Lahan sawah sekarang 8,1 juta ha dan diperkirakan 6,1 akan menjadi juta ha di 2045. Kasus lain, kondisi deforestasi di Papua mencapai 30.000 ha (2015) yang kemudian naik 33.000 ha (2016), Hari ini deforestasi mencapai 107.000 ha (Tempo, Juli-Agustus 2024).

Kondisi sumber daya air juga tidak jauh berbeda. Pada tahun 2025 diperkirakan 2,7 miliar manusia (1/3 populasi dunia) akan kekurangan air bersih dan tahun 2050, 6 miliar manusia di 60 negara kekurangan air. Salah satu penyebabnya oleh perubahan lahan resapan air sebagai hunian dan lahan bisnis. Pada kaitan ini, terjadiu kehilangan 8,43% hutan disebagian besar wilayah Asia di tahun 1973. Kemudian, kehilangan lebih dari 917.000 ha per tahun 2009-2013 (Hughes, A. C. 2017).

Berita Terkait :  Pilkada: Makam Keramat dan Money Politics

Kasus-kasus yang penulis contohkan hanyalah sebagian kecil, masih banyak kasus yang berujung kepada krisis lingkungan dan semakin merosotnya keanekaragaman hayati.Besar kemungkinan jika ke depan, isu-isu ekologis menjelma sebagai pengungsian dan kematian.

Filosofi Serbet
Setelah menyadari krisis dan kerusakan lingkungan dan ancaman atas perusakan alam dan planet bumi yang berlangsung secara masif, maka ada baiknya jika kita terus menerus mencari strategi yang tepat, maka tulisan ini mengusulkan filosofi dan sekaligus strategi “serbet”. Pada konteks ini, serbet bukanlah kain pembersih yang sering kita temui di dapur, tetapi akronim syukur (s), evaluasi diri (e) dan berbuat (bet).

Pertama, sebagai bangsa kita harus bersyukur karena dikaruniai limpahan sumber daya alam dan lingkungan yang elok rupawan. Sumber daya alam dan sumber daya hayati beraneka ragam. Sekalipun berusia jutaan tahun, kita masih bisa menikmatinya sampai hari ini. Kebesaran dan kemajuan Indonesia sejatinya tidak lepas dari topangan SDA ini.

Kedua, evaluasi diri. Ia menunjuk kecerdasan menilai dan mengukur benarkah perilaku kita secara kolektif telah merawat planet, profit dan people? Belajarlah pada Orang Mollo, Pulau Timor, NTT dengan kearifan lokal yang menjaga alam mereka. Ketika ada pebisnis tambang mereka tetap memperjuangkan alam yang harmonis karena mereka percaya alam sebagai tubuh manusia. Air sebagai darah, batu sebagai tulang, tanah sebagai daging dan hutan sebagai kulit, paru-paru dan rambut.

Berita Terkait :  Gen Z dan Problem Pengangguran

Ketiga, berbuat (action). Setelah kita menyukuri atas rezeki tanah dan air, kita tidak boleh berdiam diri, pasti di dalam eveluasi kita melakukan perbuatan-perbuatan disengaja ataupun tidak telah mendzalimi lingkungan. Karena itu, langkah hari ini yaitu berbuat. Mengambil keuntungan dari lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia adalah boleh, tetapi ketika alam menjadi krisis, maka dilarang. Karena itu, merawat alam semesta ini seharusnya menjadi ethos bersama.

Pemerintah mengawal kebijakan yang menjamin keutuhan planet bumi. Tidak akan melanggengkan konspirasi untuk merusak alam, sedangkan para relawan lingkungan dan masyarakat lokal sebagai kader penyelemat lingkungan merawat dan melindungi sumber daya alam di sekitar mereka. Pebisnis selektif memilih bisnis ramah lingkungan dan tidak menabrak aturan-aturan ekologis dan SDA tidak asal dikapitalisasi. Sementara itu, masyarakat sipil dan akademisi, berperan mengkritisi dan memberi contoh inovatif tata kelola lingkungan yang baik berbasis pengetahuan, profesionalisme dan moral. Semoga di HUT Kemerdekaan tahun ini kita bisa mengambil pelajaran penting tentang makna kemerdekaan yang sejatinya.

———— *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img