Oleh:
Husamah
Dosen Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang.
Pemilihan Gubernur Jawa Timur tahun 2024 secara resmi diikuti tiga pasangan calon, setelah ditetapkan oleh KPU Jawa Timur. Luar biasanya, tiga bakal calon gubernur adalah perempuan. Mereka adalah Khofifah Indar Parawansa, berpasangan kembali dengan Emil Elistianto Dardak. Kemudian, Tri Rismaharini yang berpasangan dengan Zahrul Azhar Asumta. Selanjutnya adalah Luluk Nur Hamidah yang berduet dengan Lukmanul Khakim. “Pertarungan” ketiga tokoh itu, tentu menarik untuk menjadi inspirasi khususnya bagi para “perempuan” Jawa Timur, alih-alih hanya sekadar kontestasi politik semata.
Soe Hok Gie, jauh-jauh hari telah menuliskan kritik antisipatif. “Perempuan akan selalu di bawah laki-laki kalau yang diurusi hanya baju dan kecantikan”, begitu tulisnya. Artinya, perempuan harus berpikir dan berperan lebih luas, tidak lagi semata urusan domestik. Tentu, ada sifat kodrati yang tidak dapat dihilangkan, namun tentu dapat sejalan dengan peran penting dan kontribusi di area publik.
Indonesia memiliki banyak pahlawan nasional berlatar perempuan, baik pahlawan di era penjajahan Belanda dan Jepang, pahlawan revolusi serta pahlawan di era setelah proklamasi. Berkat jasa-jasa para pahlawan perempuan tersebut, Indonesia berhasil merdeka dan menjadi bangsa seperti yang kita rasakan sekarang. Sejarah mencatat nama-nama besar pahlawan nasional perempuan Indonesia, yaitu Martha Christina Tiahahu dari Maluku, Laksamana Malahayati dari Aceh, Cut Nyak Meutia dari Aceh, Raden Adjeng Kartini dari Jepara, Jawa Tengah, Cut Nyak Dien dari Aceh, Dewi Sartika dari Jawa Barat, Andi Depu Maraddia Balanipa dari Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Maria Walanda Maramis dari Minahasa, Sulawesi Utara, dan Siti Manggopoh dari Manggopoh, Agam, Sumatera Barat.
Tercatat pula nama-nama lain seperti HR. Rasuna Said dari Maninjau, Agam, Sumatera Barat, Fatmawati Soekarno dari Bengkulu, Nyi Ageng Serang dari Purwodadi, Jawa Tengah, Opu Daeng Risadju dari Sulawesi Selatan, dan Nyai Ahmad Dahlan dari Yogyakarta. Selain itu, ada nama Ratu Nahrasiyah dari Kerajaan Samudera Pasai dan Rohana Kuddus dari Padang, Sumatera Barat.
Belakangan kita mengenal perempuan hebat seperti ibu Megawati Soekarno Putri sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia dan tokoh penting perpolitikan. Hal ini menjadi bukti bahwa perempuan tidak kalah kuat dibanding dengan kaum laki-laki. Ibu Sri Mulyani yang menjabat sebagai menteri keuangan atau ibu Retno Marsudi sebagai menteri luar negeri. Keduanya disegani level dunia. Tokoh-tokoh itu, menegaskan banyaknya perempuan hebat yang memiliki peranan penting dalam berbagai sektor di negeri tercinta ini.
Kemiskinan Perempuan Jatim
Di tengah gegap gempita itu, tentu ada hal yang perlu menjadi fokus kita. Fokus itu tak lain adalah kemiskinan. Data mencatat bahwa pada tahun 2020, persentase kemiskinan Jawa Timur sebesar 11,09 persen, kemudian naik menjadi 11,4 persen pada 2021. Kemiskinan turun menjadi 10,38 persen tahun 2022, turun lagi menjadi 10,35 persen pada tahun 2023.
BPS Jawa Timur mencatat angka penduduk miskin mengalami penurunan 0,56 persen menjadi 9,79 persen pada periode Maret 2024. Apabila dikonversi menjadi jumlah individu, angka penduduk miskin Jatim mencapai 3,983 juta orang atau menurun 0,206 juta orang dibanding periode Maret 2023. Rata-rata rumah tangga miskin di Jawa Timur memiliki 4,24 orang anggota rumah tangga pada Maret 2024 (Pratama, suarasurabaya.net, 1/7/2024).
Berbicara tentang kemiskinan, tentu tidak lepas dari perempuan. Menurut data PBB, 1/3 dari penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan, sementara itu sekitar 70% dari mereka adalah perempuan. Sartika (2023) menegaskan bahwa kemiskinan tidak selalu netral gender, nyatanya perempuan lebih menderita. Meskipun kemiskinan bisa menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, dampaknya masih lebih banyak dirasakan oleh kelompok perempuan. Bahkan dapat dikatakan, kemiskinan seperti nyawa yang tak pernah lepas dari kehidupan mereka.
Hal ini senada dengan refleksi saru dekade lalu oleh Pelupessy (2015) bahwa bila ditelusuri lebih jauh, kondisi kemiskinanlah yang merupakan penyebab menyeruaknya kasus-kasus ketertindasan dan kekerasan terhadap kaum perempuan. Kemiskinan adalah bentuk kekerasan struktural negara terhadap masyarakat. Mata rantai penindasan ekonomi yang paling ujung adalah kaum perempuan. Ketertekanan ekonomi dalam keluarga membuat sang suami tertekan, biasanya sang istri yang menjadi sasaran dari ketertekanan tersebut. Kemiskinan pun memaksa banyak perempuan mencari penghidupan di Rantau, sampai ke luar negeri. Celakanya tingkat perdagangan perempuan dan anak Indonesia justru meningkat tiap tahunnya, banyak perempuan yang akhirnya menjadi korban trafficking.
Kemiskinan perempuan juga berkaitan erat dengan kondisi struktural yang selama ini membelenggu mereka untuk tetap berada dalam garis kemiskinan. Tentu sangat nyata, perempuan-perempuan ikut menanggung kemiskinan yang membelenggu keluarga mereka. Hal ini berarti pemerintah sampai level daerah ikut menjadi aktor struktural penyebab kemiskinan yang selama ini membelenggu perempuan (Niko, 2023).
Tugas Gubernur Terpilih
Siapapun gubernur Jawa Timur yang nanti terpilih, mau tidak mau memiliki tugas besar untuk memikirkan kembali bagaimana caranya untuk mengurangi dampak kemiskinan, utamanya terhadap kelompok perempuan. Sang gubernur wajib menangani masalah kemiskinan dalam segala wujudnya. Sebab, dampak dari kemiskinan yang dirasakan perempuan saat ini bisa menjadi efek domino terhadap generasi-generasi berikutnya.
Sang gubernur harus jelas mengerti bahwa kemiskinan bukan hanya sekadar kurangnya pendapatan dan sumber daya, tetapi juga menyebabkan kelaparan dan kekurangan gizi, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan layanan dasar lainnya. Kemiskinan juga menyebabkan diskriminasi, pengucilan, dan kurangnya hak untuk menentukan keputusan yang berdampak pada kehidupan kita.
Sang gubernur pun harus benar-benar paham bahwa pemberdayaan perempuan dapat berangkat atau bahkan berfokus pada desa. Fokus pada pedesaan untuk pengentasan kemiskinan mendapat peluang dari UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa. UU Desa memberikan harapan baru untuk mewujudkan keberadayaan Pemerintahan Desa dan masyarakat Desa. Perencanaan pembangunan desa perlu mealokasikan dana, program, dan pemberdayaan bagi perempuan pedesaan. Dengan demikian, sang gubernur dapat menjadi sosok tokoh utama untuk mencapai janji pemerintah dalam mewujudkan: “Membangun Indonesia dari pinggiran dan dari Desa dalam kerangka NKRI”. Semoga, momen pemilihan gubernur Jawa Timur ini menjadi momen untuk mewujudkan “menyala perempuan Jawa Timur”.
———— *** ————–