Pemerintha masih “berhutang” pada anak-anak Indonesia. Terutama pemenuhan Pendidikan Dasar. Serta pencegahan stunting. Karena realitanya, angka putus sekolah masih sangat besar (4,3 juta murid). Serta angka prevalensi balita stunting juga masih tinggi (sekitar 19%). Ironisnya. Anak-anak berpotensi terancam gaya hidup hedonis, dan asuhan di luar keluarga, menambah kemerosotan mental anak. Dibutuhkan teladan akhlak mulia di tengah keluarga, dari orangtua.
Kekerasan pada anak masih sangat tinggi sepanjang (7 bulan) tahun 2025. Juga menambah “modus” lebih canggih, berupa kejahatan melalui area digital. Komisi perlindungan anak di seluruh dunia mencatat gadget menjadi penyebab terealisasi-nya tindak kriminal. Tak terkecuali di Indonesia. Diduga disebabkan asuhan di luar rumah, karena kedua orangtua sibuk mengurus ekonomi keluarga.
Berdasar data Pusiknas (Pusat Informasi Kriminal Nasional) Bareskrim Polri, menunjukkan kenaikan angka, dan mutual. Sejak awal tahun hingga Juli 2025, Polri telah menindak sebanyak enam ribu kasus tindak pidana berkait perlindungan anak. Data yang lain juga menunjukkan, sebanyak 2.018 anak berkonflik dengan hukum. Sebagian akan menjalani proses “diversi.” Yakni, pengalihan penyelesaian perkara ke luar peradilan. Bisa melalui restorative justice. Perdamaian. Tetapi tidak termasuk “residivis” anak.
Diversi, merupakan amanat UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tercantum dalam pasal 3, terdapat 16 hak keringanan. Antara lain adanya tindakan rekreasi, dan bebas dari penyiksaan. Serta tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam. Terutama, tidak dijatuhi hukuman pidana mati atau pidana seumur hidup.
Hak-hak lain anak, juga masih diperoleh secara utuh. Padahal konstitusi menjamin hak anak. Tertulis dalam UUD pasal 28-B ayat (2), mengamanatkan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi.” Ahli psikologis anak merekomendasikan cara menghindarkan anak dari tindakan kekerasan, dengan basis utama peran orangtua. Khususnya keteladanan moral, dan pendampingan spiritual. Serta penegakan hukum.
Pada era gadget (setiap anak memiliki HP), juga terdapat sub-tema yang cukup keren meng-advokasi remaja. Yakni, “Dare to Lead and Speak Up: Anak Pelopor dan Pelapor.” Membangun kepedulian dan kesadaran Anak Indonesia agar berani memperjuangkan dan menyuarakan hak-haknya. Seharusnya, program nasional Indonesia Layak Anak, terwujud tahun ini.
Peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2025, menjadi momentum me-reorientasi pelaksanaan hak dan perlindungan anak-anak Indonesia. Dengan jumlah anak mencapai lebih dari 79 juta jiwa (setara 30% seluruh WNI), sangat strategis menentukan masa depan Indonesia. Pemerintah telah memiliki Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC). Sasarannya fokus pada pemenuhan gizi, kesehatan, pendidikan, dan pengasuhan anak.
Pada tahun 2025, jumlah balita diproyeksikan mencapai 832 ribu. Sedangkan angka prevalensi stunting berkisar 19%. Berarti masih terdapat sekitar 158 ribu balita stunting. Sehingga pemerintah menggenjot program anti stunting melalui program PHTC, khususnya makan bergizi gratis (MBG). Khususnya pada ibu hamil, dan menyusui. Antara lain melalui asupan gizi, susu gratis untuk tumbuh kembang fisik anak.
Setelah beranjuak dariu Balita, terdapat hak anak yang masih “di-utang” pemerintah. Yakni, hak mandatory Pendidikan, yang dijamin konstitusi. UUD pada pasal 31 ayat (2), menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib rnembiayainya.” Tetapi hingga kini belum direalisasikan pada sekolah swasta.
Realitanya, masih terdapat 4,3 juta anak, terpaksa putus sekolah. Karena masih banyak pejabat tinggi negara, dan Kepala Daerah, tidak sepenuh hati melaksanakan konstitusi.
——— 000 ———


