Sepekan ini segenap anghota DPRD Jawa Timur, coba “menyelamatkan” APBD Jawa Timur tahun 2025. Perlu “diselamatkan,” karena penyusutan yang (turun) tajam akan membuat APBD tidak berdaya mem-fasilitasi kebutuhan masyarakat Jawa Timur. Mayoritas Belanja Daerah, akan tersedot Belanja Pegawai, terutama gaji, dan tunjangan pegawai. Sedangkan Belanja Barang dan Jasa (terutama Belanja Modal), dipagu sangat kecil. Tidak terdapat penambahan jalan propinsi.
Juga tidak ada catatan “kenaikan kelas” IKM (Industri Kecil), dan usaha kecil stagnan. Begitu pula fasilitasi bidang ke-pertanian, dan peternakan, bagai tiada sokongan pemerintah. Petani, dan nelayan, bagai berjuang sendiri, mengukir prestasi bidang pangan. Sudah terbukti sukes menjadi penyokong (utama) pangan nasional. Tetapi indeks NTP (Nilai Tukar Pertanian) hanya sebesar 111,61. Jauh di bawah NTP nasional yang sudah mencapai 120,30.
Begitu pula NTN (Nilai Tukar Nelayan) malah hanya sebesar 93,81. Artinya, profesi nelayan tidak layak sebagai usaha nafkah. Bagaimana jika petani, dan nelayan meninggalkan profesi, beralih sebagai pekerja bangunan yang lebih menjanjikan (sedikit kemakmuran)? Niscaya pemerintah akan kalang kabut memenuhi kebutuhan pangan. Begitu pula Presiden Prabowo, tidak akan bisa memenuhi janji Swa-sembada Pangan pada tahun 2028.
Terdapat data lain tentang tingkat kesejahteraan petani Indonesia. Berdasar Survei Terpadu Pertanian, 2022, pendapatan petani Indonesia kurang dari US$ 1,- per-hari (hanya Rp 15.207,-). Serta setahun pendapatan senilai US$ 341,- (sekitar Rp 5 juta). Pendapatan ini tidak sebanding dengan input biaya produksi pertanian. Menurut penjejakan Centre of Reform on Economics (CORE), banyaknya perantara (makelar), menyebabkan keuntungan lebih dinikmati tengkulak.
Seharusnya Pemerintah Propinsi (melalui Dinas Pertanian) memberikan fasilitasi menekan input biaya produksi pertanian. Misalnya melalui penyediaan alat dan mesin pertanian (Alsintan) yang masif. Terutama mesin tanam, dan mesin panen. Serta pemberian pupuk (bersubsidi) tepat waktu. Selama ini pupuk telah dilepas pada lini IV (kios) sejak bulan Juli. Padahal baru diperlukan petani mulai pertengahan November. Sehingga pupuk subsidi diborong tengkulak. Pada saat diperlukan petani, pupuk sudah habis.
Fasilitasi pada bidang yang lain, juga tidak memadai. Terasa postur RAPBD Jatim tahun 2025, juga tidak seiring sejalan dengan kebijakan fiskal pemerintah pusat. Antara lain postur APBN tahun 2025, dipagu naik hampir 9%. Sedangkan PBD Jawa Timur, malah menyusut drastis sampai 20%. Pada ajuan awal APBD tahun 2024 dipagu Rp 33,265 trilyun. Tetapi pada tahun 2025, pagu Belanja Daerah hanya sebesar Rp Rp 27,660 trilyun. Menyusut 20% lebih. Penurunan disebabkan potensial “lost” pendapatan sebesar Rp 4,29 trilyun.
Dalam postur tahun (2024) lalu, DPRD bersama pemerintah propinsi, sepakat “berani” defisit Rp1,864 triliun. Realitanya, defisit selalu bisa ditutup melalui penghematan anggaran berjalan. Serta Silpa (Sisa lebih perhitungan anggaran) tahun sebelumnya. Jika kurang, defisit juga bisa ditutup dengan utang daerah. Namun pada tahun (2025) defisit hanya dibanderol Rp 1,499 trilyun.
Per-angka-an R-APBD 2025 bagai mundur kembali ke belakang selama satu windu (8 tahun). Bahkan angka-nya masih lebih kecil dibanding APBD 2017. Maka seperti tahun sebelumnya, DPRD akan berjuang mengatrol per-angka-an APBD 2025. Walau biasanya beberapa OPD (Organisasi Perangkat Daerah) enggan menerima tambahan anggaran. Kalua diterima, niscaya akan dijadikan Silpa besar.
Tetapi DPRD memiliki hak dan kewenangan yang dijamin konstitusi. Inharen UUD pasal 20A, DPRD memiliki fungsi legislasi, dan fungsi anggaran. Bisa menentukan per-angka-an yang akan menjadi Perda APBD 2025. Walau dengan memperbesar defisit.
——— 000 ———