28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Mengapa Kritik “Stop Tot Tot Wuk Wuk” Jadi Viral?

Oleh:
Zainal Muttaqin
adalah Kabag Humas Kantor Gubernur Jawa Timur / Dosen Ilmu Komunikasi / Mahasiswa Kebijakan Publik Univ Airlangga

Spiral of Silence yang Pecah:

Awalnya, banyak orang mengira “stop tot tot wuk wuk” hanyalah lelucon khas warganet Indonesia – kreatif, kocak, dan penuh plesetan. Onomatope ini menirukan bunyi sirene dan raungan strobo di jalan raya. Tapi siapa sangka, dari sekadar tiruan bunyi, frasa ini berubah menjadi simbol protes massal terhadap praktik penggunaan sirene yang dinilai sewenang-wenang.
Fenomena ini unik: pesan sederhana, bahkan cenderung konyol, justru lebih mengena daripada kampanye formal penuh jargon hukum. Ada semacam tawa getir di balik kata-kata itu. Kita bisa senyum, bisa tertawa, tetapi juga bisa mengangguk serius: iya, memang sudah keterlaluan.

Bahasa Sederhana yang Menggema
Bahasa sederhana adalah kekuatan. Dibanding istilah teknis seperti “penyalahgunaan rotator non-prioritas”, “stop tot tot wuk wuk” jauh lebih membumi. Semua orang bisa menirukannya, dari pengemudi ojol sampai ibu-ibu yang menjemput anak sekolah. Sifatnya universal, mudah ditangkap, sekaligus menciptakan rasa kebersamaan.

Humor dalam bahasa ini menjadi pintu masuk yang aman (safe entry point). Alih-alih menuding langsung, warga memilih menertawakan arogansi di jalan. Namun di balik tawa itu, kritiknya tajam: hentikan kesewenang-wenangan, kembalikan rasa adil di jalan raya.

Spiral of Silence: Jangan Remehkan Diam
Teori komunikasi Elisabeth Noelle-Neumann tentang spiral of silence menyebut bahwa orang cenderung diam jika merasa pendapatnya minoritas atau berisiko menuai masalah. Dalam konteks sirene pejabat, banyak orang sebelumnya hanya bisa menggerutu sendiri. Takut ditilang, malas berdebat, atau merasa “ya beginilah Indonesia.”

Namun, “stop tot tot wuk wuk” memecah spiral keheningan itu. Karena dibungkus dengan humor, kritik menjadi ringan, tidak menakutkan, dan mudah diikuti. Orang yang tadinya ragu bersuara merasa aman ikut menirukan. Akhirnya, opini yang tadinya minoritas justru menjadi arus utama.

Framing Media dan Efek Viral
Media massa dan media sosial punya andil besar dalam memperluas gema ini. Berita-berita menyoroti fenomena dari sisi unik: stiker di motor, video lucu, hingga konten parodi. Dengan begitu, kritik sosial yang serius tampil dalam bingkai yang menghibur.

Berita Terkait :  Bawaslu Gelar Istigosah Apel Siaga Pengawasan Pemilihan 2024 di Sampang

Inilah kekuatan framing. Ketika media menyorot sisi humoris, publik merasa isu ini milik bersama, bukan sekadar keluhan segelintir orang. Apalagi algoritma media sosial menyukai konten yang mengundang reaksi emosional. Jadilah “Stop tot tot wuk wuk” merajalela di berbagai platform.

Agenda Setting dan Prioritas Publik
Kekuatan narasi ini juga bisa dijelaskan dengan teori agenda setting. Awalnya, isu penyalahgunaan sirene hanya menjadi bisik-bisik di jalan. Namun ketika “Stop tot tot wuk wuk” trending, media arus utama ikut meliput, dan pejabat pun angkat bicara.

Tiba-tiba, yang tadinya hanya lelucon berubah menjadi agenda nasional. Istana mengingatkan agar pejabat tak semena-mena, sementara Korlantas membekukan sementara penggunaan sirene pengawalan yang dinilai mengganggu. Gerakan rakyat sederhana akhirnya memaksa institusi merespons.

Difusi Inovasi: Bahasa Viral
Everett Rogers menjelaskan diffusion of innovations: sebuah ide akan cepat menyebar jika dianggap sederhana, kompatibel dengan pengalaman sehari-hari, mudah dicoba, dan bisa diamati manfaatnya. Semua syarat itu dipenuhi oleh “tot tot wuk wuk”.

Ia sederhana (cukup menirukan bunyi), relevan (semua orang pernah terganggu sirene), mudah dipraktikkan (tinggal ucapkan atau pasang stiker), dan jelas dampaknya (menyuarakan ketidakadilan). Karena itu, dalam waktu singkat, frasa ini menular seperti virus sosial.

Ruang Publik Jalan Raya
Jika mengikuti teori Habermas tentang ruang publik, jalan raya bisa dilihat sebagai forum diskusi terbuka. Di sana warga dari berbagai latar berinteraksi, kadang harmonis, kadang penuh konflik. “Stop tot tot wuk wuk” mengubah jalan raya dari sekadar ruang lalu lintas menjadi arena ekspresi politik.

Pengguna jalan raya – ojol, sopir truk, mahasiswa, pekerja kantoran – bersatu lewat simbol yang sama. Tidak ada batas kelas sosial; semua merasakan keresahan yang sama. Dengan begitu, bahasa rakyat ini melahirkan solidaritas horizontal yang jarang tercipta lewat narasi formal.

Humor sebagai Strategi Retorika
Jangan remehkan humor. Dalam retorika politik, humor sering dipakai untuk melunakkan pesan keras. Humor membuat kritik lebih mudah diterima, bahkan oleh pihak yang dikritik. Ia mengurangi resistensi, tapi tetap menyampaikan pesan.

“Stop tot tot wuk wuk” adalah contoh nyata bagaimana humor bisa menjadi senjata perlawanan. Bukan dengan marah-marah di jalan, melainkan dengan tawa kolektif yang menyindir tajam.

Berita Terkait :  Barang Bukti Hasil Operasi Pekat Dimusnahkan

Namun, gerakan ini juga punya risiko. Jika tidak diarahkan, ia bisa menimbulkan kesalahpahaman. Ada warga yang keliru menolak memberi jalan pada ambulans atau mobil pemadam kebakaran, padahal mereka jelas punya prioritas.

Di sinilah pentingnya menekankan bahwa kritik bukan ditujukan pada kendaraan darurat, melainkan pada penyalahgunaan fasilitas sirene oleh pihak yang tidak berhak. Humor boleh, kritik boleh, tetapi keselamatan tetap nomor satu.

Dari Komunikasi ke Kebijakan Publik
Fenomena “stop tot tot wuk wuk” tak hanya menarik dari sisi ilmu komunikasi, tetapi juga dari sudut pandang ilmu kebijakan publik. Ia menunjukkan bagaimana opini publik bisa menjadi pemicu policy window.

Dalam teori John Kingdon, ada tiga arus yang harus bertemu agar kebijakan berubah:

  1. Problem stream – keresahan publik soal sirene dan strobo.
  2. Policy stream – sudah ada regulasi (UU 22/2009), tapi implementasi lemah.
  3. Politics stream – tekanan publik, viralitas media, hingga sikap Istana dan Korlantas.

Ketika tiga arus ini bertemu, terbuka jendela peluang bagi reformasi kebijakan. Artinya, frasa sederhana “stop tot tot wuk wuk” bisa jadi pemantik koreksi sistem.

Dari sudut pandang kebijakan publik, legitimasi adalah kunci. Warga akan patuh pada aturan bila percaya aturan itu adil. Namun, penyalahgunaan sirene justru menggerus trust. Rasa tidak adil membuat warga menganggap hukum hanya tajam ke bawah.

Gerakan “stop tot tot wuk wuk” adalah peringatan: trust publik bisa runtuh hanya karena hal yang tampak sepele. Padahal, keruntuhan trust inilah yang berbahaya bagi legitimasi kebijakan secara keseluruhan.

Kebijakan sebagai Proses Komunikasi
Mazmanian dan Sabatier menekankan bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh kualitas komunikasi. Regulasi lalu lintas memang sudah ada, tetapi apakah disampaikan dengan bahasa yang dipahami publik? Apakah ada sosialisasi yang konsisten?

Gerakan rakyat ini mengajarkan bahwa kebijakan tidak bisa hanya berhenti di pasal-pasal hukum. Ia harus dikomunikasikan ulang dengan bahasa yang membumi. Infografis sederhana, sosialisasi digital, bahkan bahasa rakyat semacam “stop tot tot wuk wuk” bisa menjadi bagian dari strategi komunikasi kebijakan.

Berita Terkait :  TPT Kota Madiun Turun di Angka 4,3 Persen pada 2024

Evaluasi dan Reformasi Regulasi
Fenomena ini membuka pintu evaluasi. UU 22/2009 tentang LLAJ sudah jelas, tapi praktik di lapangan sering berbeda. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan rekomendasi kebijakan:

  1. Evaluasi efektivitas regulasi: apakah pasal tentang kendaraan prioritas benar-benar ditegakkan?
  2. Reformasi SOP: perjelas mekanisme pengawalan pejabat, batasi penggunaan sirene non-darurat.

Pengawasan berbasis teknologi: gunakan dashcam, aplikasi pengaduan, hingga sistem laporan terbuka untuk meningkatkan akuntabilitas.

Implikasi Governance
Dalam prinsip good governance, ada tiga hal utama: transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. “Tot tot wuk wuk” adalah ekspresi publik yang menuntut ketiganya.

  1. Transparansi: siapa saja yang boleh pakai sirene? Untuk kepentingan apa?
  2. Akuntabilitas: bagaimana sanksi diterapkan bila ada penyalahgunaan?
  3. Partisipasi: bagaimana publik bisa ikut mengawasi tanpa takut intimidasi?

Dengan begitu, urusan sirene bukan lagi sekadar teknis lalu lintas, tetapi juga soal tata kelola pemerintahan yang baik.

Gerakan ini membuktikan bahwa warga bukan sekadar objek kebijakan, melainkan aktor. Dengan kreativitas komunikasi, warga memaksa isu masuk ke agenda pemerintah.

Namun, warga juga harus sadar peran ganda mereka: selain kritikus, juga mitra dalam implementasi. Partisipasi publik dalam bentuk pelaporan, edukasi, dan advokasi akan membuat kebijakan lebih kuat.

Mari Belajar dari “Tot Tot Wuk Wuk”
Fenomena ini memberi kita cermin: ternyata bahasa rakyat, dengan segala kesederhanaannya, bisa lebih kuat daripada jargon formal. Ia mampu membongkar spiral keheningan, mempersatukan keresahan, memaksa respons kebijakan, bahkan membuka ruang reformasi regulasi.

Bagi pelaku komunikasi, ini contoh nyata bagaimana teori klasik – spiral of silence, agenda setting, framing – hidup di tengah masyarakat. Bagi pemerhati kebijakan publik, ini bukti bahwa suara rakyat bisa menciptakan policy window dan menuntut governance yang lebih baik.

“Stop tot tot wuk wuk” mungkin terdengar sepele. Tapi di balik bunyinya yang lucu, ia adalah seruan serius. Sebuah simbol tentang bagaimana warga menginginkan keadilan dan kesetaraan di jalan raya.

Kritik tak selalu harus lantang. Kadang, justru dengan tawa, pesan bisa lebih dalam. Dan kali ini, tawa itu berhasil memecah keheningan, mengubah percakapan, bahkan membuka jalan bagi reformasi kebijakan publik.

————- *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru