Penguatan Peran DPD RI ( 2 – habis )
Oleh :
Wahyu Kuncoro
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik (FISIP) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
Terbentuknya Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) merupakan salah satu respon dari tuntutan reformasi di bidang politik. Sebagai bentuk perubahan dan penataan kelembagaan politik, kehadiran DPD RI diharapkan dapat memperkuat peranan lembaga legislatif dalam menjalankan fungsinya terutama pengawasan terhadap kebijakan pemerintah (Budiarjo, 1991).
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pembentukan DPD RI juga diharapkan akan menyempurnakan sistem perwakilan daerah yang ada. Bila dalam praktiknya masih terdapat kritik dilontarkan berbagai pihak terhadap efektivitas peran lembaga baru ini, tentu lebih lanjut bisa dikaji demi kesempurnaannya. Keberadaan DPD dalam sistem politik Indonesia perlu dievaluasi sejauhmana efektivitasnya dalam kerja pengawasan dan legislasi.
Keberadaan DPD merupakan pertemuan dari dua gagasan, antara demokratisasi dengan akomodasi kepentingan daerah, dalam rangka mempertahankan situasi integrasi nasional. Upaya untuk menjaga integrasi nasional dan mengakomodasi wacana tersebut adalah memberikan ruang yang lebih besar kepada daerah dalam menentukan kebijakan nasional. Untuk itulah, pembentukan DPD dimaksudkan sebagai sarana untuk menyalurkan berbagai macam kepentingan masyarakat di daerah terhadap berbagai situasi dan kondisi dengan tetap berpendirian untuk menjaga prinsip kesatuan negara.
Pembentukan DPD adalah salah satu fenomena politik terpenting pada awal masa Reformasi di Indonesia. Kurangnya perhatian pada suara-suara daerah selama Orde Baru telah memunculkan ide untuk membentuk lembaga perwakilan daerah (propinsi). Namun yang dibentuk oleh MPR adalah lembaga perwakilan daerah (yang disebut DPD) yang lemah karena tidak mempunyai kewenangan legislatif yang setara dengan DPR. (Assiddiqie, 1996)
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipandang sebagai koreksi atau penyempurnaan sistem Utusan Daerah di MPR, karena masyarakat menginginkan suatu lembaga yang dapat merepresentasikan daerahnya sejalan dengan semangat otonomi daerah, sekaligus merupakan salah satu elemen penting bagi pemeliharaan NKRI. Mengakomodasi aspirasi daerah yang sebelumnya terabaikan dan sekaligus memberikan peran kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan untuk masalah-masalah terutama yang berkaitan dengan daerah.
Terlalu dominannya kewenangan yang dimiliki DPR, menjadi alasan yang kuat untuk meningkatkan kewenangan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dalam sistem perwakilan politik, sehingga tidak ada kekuatan hegemoni atau dominan dalam sistem bicameral. Realitas yang terjadi sekarang, kewenangan DPD lemah, sementara DPR memiliki kewenangan yang kuat. DPR memiliki kewenangan absolut, seringkali ketika membahas anggaran melakukan pemerasan dan minta setoran dalam bentuk lainnya.
Penguatan DPD RI bertujuan agar mekanisme check and balances dapat berjalan relatif seimbang antara DPR dan DPD. Setidaknya, DPD diberi kewenangan meneliti ulang setiap RUU yang diajukan DPR, atau diberi hak yang sama dalam mengajukan RUU, mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan dan ikut mengawasi pemerintahan. Lahirnya DPD, awalnya bertujuan mencegah munculnya disintegrasi sebagai suatu permasalahan di Indonesia yang kerap muncuk sejak Orde Baru (Sulardi : 2004).
Berbeda dengan DPR yang merupakan representasi jumlah penduduk, DPD merupakan representasi wilayah provinsi. Banyaknya anggota DPD dari setiap provinsi ditentukan sebanyak empat orang. Dengan demikian, setiap provinsi, tanpa memandang luas dan kepadatan penduduknya akan mendapat jatah kursi DPD sebanyak empat orang.
Perbedaan lainnya, jika DPR merupakan orang-orang yang muncul dari partai, DPD adalah individu-individu non-partisan yang akan menyuarakan suara provinsinya. Ini berarti, idealnya seorang anggota DPD akan lebih independen daripada anggota DPR yang sedikit banyak akan mendapat intervensi dari partai dari mana ia berasal, sebab anggota DPR tetap ada garis putus-putus dengan kehendak parpol.
Idealnya DPD tidak boleh dari partai politik. DPD itu perwakilan daerah yang anggotanya perorangan, bukan dari parpol seperti DPR. Keberadaan DPD menjadi tidak relevan jika diisi oleh orang partai. Jika nantinya DPD diisi oleh kader partai, maka aspirasi daerah yang akan tereduksi oleh kepentingan partai. Pilihannya atau opsi untuk DPD kedepannya hanya ada tiga jalan; pertama, jalan di tempat seperti kondisi saat ini, yakni kewenangan terbatas; kedua, diperkuat atau diubah kewenangannya; ketiga, DPD dibubarkan. Negara sebesar Indonesia tidak bisa hanya satu kamar (one chamber), minimal dua kamar (two chambers). Negara besar umum atau mayoritas memiliki two chambers, second chamber itu juga salah satu cara untuk atasi ketimpangan Jawa dengan luar Jawa (Keller: 1984).
Betapa sengitnya tarik tambang antara pro versus kontra di DPR, apakah DPD diperkuat dengan fungsi dan tugas sejajar dengan DPR atau diberikan dengan kewenangan yang terbatas seperti sekarang. Ujungnya berakhir dengan kompromi politik atau jalan tengah, sehingga jadilah DPD dengan kewenangan dan fungsi seperti yang dimiliki konteks hari ini. Kewenangan terbatas DPD meliputi: (1) pengajuan usul ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu; (2) pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu. Sehingga, jika dibandingkan dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR, posisi DPD memang tidaklah begitu kuat dan penuh.
Sekalipun, selalu mendapat kesan bahwa kehadiran DPD memperlihatkan diberlakukannya kembali sistem bikameral. Kewenangan DPD yang terbatas termuat dalam Pasal 22 D ayat (1) UUD 1945. Terkait dengan masalah pengajuan dan pemberian persetujuan terhadap suatu rancangan undang-undang, DPD harus menyerahkannya kepada DPR untuk dibahas lebih lanjut. DPR dapat memutuskan menerima atau menolak secara keseluruhan hasil yang sudah diberikan dan dicapai oleh DPD itu.
Keberadaan DPD yang terlihat hanya sebagai “pembahas” karena secara mendasar aturan dalam UUD 1945 memang sudah memberikan ruang lingkup yang terbatas atas peran DPD. Begitu juga dengan masalah fungsi anggaran, DPD sebatas memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN). Sementara dalam fungsi pengawasan pun DPD mempunyai kewenangan yang sangat terbatas, yaitu hanya dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang yang berhubungan dengan ruang lingkup daerah (misal: otonomi daerah) .
Akhirnya, perwakilan yang dihadirkan DPD sesungguhnya merupakan penguatan pada akomodasi representatif daerah (regional representation), sementara DPR sebagai representasi politik (politic representation). Namun sejak kelahirannya (2014) sampai sekarang DPD RI dihadapkan masalah terbatasnya kewenangan yang dimiliki yang menghambat kinerjanya sebagai sebagai lembaga tinggi negara. DPD RI yang seharusnya berperan penting dalam menjalankan mekanisme check and balances antara eksekutif dan legislatif, tampaknya belum berfungsi maksimal.
Untuk meningkatkan aktivitas kinerja DPD RI antara lain bisa dilakukan, baik melalui penataan ulang sistem perwakilan yang meletakkan DPR, DPD dan MPR pada posisi yang tepat dan fungsional, maupun melalui amandemen konstitusi yang memberikan kewenangan yang kongkrit terhadap DPD RI. Namun, harus ditegaskan bahwa dalam melakukan penataan tersebut haruslah dilandasi oleh perspektif dan landasan politik kebangsaan yang meninggalkan kepentingan-kepentingan kelompok dan juga kepentingan politik. (habis)
———- *** ———–


