Oleh:
Tun Ahmad Gazali
Pensiunan PNS Pemprov Jawa Timur yang sejak awal 2020 bermukim di Jepang dan berkarir sebagai Engineering Leader serta Independent Researcher di Jepang.
Beberapa waktu lalu ketika saya membuka jendela pagi kamar di sebuah hotel di sudut Asakusa Tokyo. Hujan tipis menetes di daun maple dan aroma tanah basah masuk bersama angin yang mulai dingin. Di bawah langit kelabu saya mencermati ada sisi lain dari Jepang yang masih sering terlewat yaitu sisi yang sederhana tenang tapi justru paling mengajarkan arti hidup. Di balik gemerlap Tokyo dan kereta peluru yang melesat tepat waktu tersembunyi pelajaran besar tentang kesederhanaan solidaritas ketenangan dan keseimbangan alam. Suatu nilai-nilai yang pelan-pelan saya amati telah membentuk bangsa ini menjadi sekuat dan setenang hari-harinya.
Ketenangan di negeri ini bukan sekadar suasana tapi ia adalah cara bertahan cara menghormati hidup dan cara menata setiap langkah agar bermakna. Seperti ketika Pak Wakabayashi berkata pada saya saat arubaito membersihkan rumah tua peninggalan orang tuanya “Pelan-pelan saja Tun San hidup ini bukan lomba.”
Memang baru sekitar dua belas tahun saya mengenal Jepang secara nyata dengan hidup bekerja dan berkutat di negeri matahari terbit ini. Tentu masih banyak yang jauh lebih senpai lebih berpengalaman dan lebih dalam mengenal denyut kehidupannya. Apa yang saya tulis hanyalah serpihan dari apa yang saya lihat amati cermati dan simpan diam-diam dalam catatan kecil. Sebuah corat-coret yang mungkin suatu hari akan saya ungkapkan sebagai luapan ide yang lahir dari hati.
Enam setengah tahun terakhir saya benar-benar bermukim di Jepang sekeluarga bertujuh orang mencurahkan sepenuhnya hidup dan kehidupan di sini. Waktu segitu bisa jadi masih terlalu singkat untuk merasa “paling tahu” tetapi cukup untuk menyadarkan saya akan banyak pelajaran besar yang diam-diam disembunyikan oleh negeri ini. Di negeri ini kebijaksanaan tidak lahir dari kecepatan atau gemerlapnya kesuksesan melainkan dari bagaimana kita menata langkah menanam makna dan menghargai setiap detik yang kita miliki.
Jepang : Negeri Senja
Bila selama ini kita terbiasa dengan Jepang yang dijuluki “Negeri Matahari Terbit” simbol kebangkitan dan semangat awal. Namun hari ini saya lebih suka mencermati dan menyebutnya “Negeri Senja.” Bukan karena cahayanya meredup melainkan karena di sanalah keindahan hidup justru tampak paling jernih. Senja adalah masa ketika manusia berhenti sejenak dari hiruk-pikuk menatap langit yang berubah warna dan menyadari betapa setiap terang memiliki ujung. Dalam budaya Jepang senja menjadi waktu kontemplasi sebuah ruang batin di mana kesementaraan disambut dengan kelembutan bukan kepanikan.
Jepang kini berada dalam fase itu yaitu bangsa yang telah melewati pagi kemajuan dan siang kejayaan lalu menapak senja kebijaksanaan. Di tengah penuaan penduduk keheningan desa dan perubahan sosial yang cepat saya mencermati bahwa negeri ini justru menemukan harmoni baru antara modernitas dan tradisi. Di “Negeri Senja” ini saya melihat kedepan bukan sebagai tanda surut melainkan simbol kedewasaan bangsa yang telah belajar bahwa cahaya tak harus menyilaukan untuk tetap memberi arah.
Pelajaran Hidup Sederhana
Salah satu pelajaran pertama yang saya amati adalah ikigai alasan seseorang bangun pagi. Konsep ini bukan sekadar jargon tetapi nyata. Hidup mereka sederhana tetapi setiap hari dipenuhi makna. Ikigai bisa berupa hobi rasa syukur atau semangat memberi manfaat. Hidup tanpa ikigai adalah napas tanpa arah.
Di sisi lain saya menemukan sesuatu di Satoyama sebuah harmoni antara manusia dan alam. Di lanskap Satoyama manusia bukan raja atas bumi tetapi bagian dari tarian panjang ciptaan. Tak kalah menariknya adalah metode Miyawaki reboisasi dengan harapan besar menunjukkan bahwa manusia bisa menumbuhkan kehidupan bahkan di sudut kota beton.
Dan bila berbicara tentang kemanusiaan di balik pandangan sebagian kita tentang Jepang yang cuek ternyata ada jiwa Kizuna sebagai sebuah ikatan yang tak terkubur bencana. Tsunami Tohoku 2011 menegaskan bahwa ternyata ada ikatan sosial lebih kuat daripada gempa. Konsep kizuna menekankan solidaritas dalam membangun kembali masyarakat.
Dan ada satu lagi, lebih lanjut saya mengajak pembaca melambung jauh ke sisi Selatan Barat Jepang dimana disana ada Okinawa yang mengajarkan tentang usia panjang dan jiwa tenang. Okinawa, “Zona Biru” dunia, mengajarkan hidup panjang dan berkualitas. Pola hidup nabati, ikatan sosial, aktivitas ringan, dan ikigai menjadi kunci umur panjang. Penelitian lembaga kesehatan Jepang menunjukkan risiko penyakit jantung lebih rendah, membuktikan bahwa umur panjang berkorelasi dengan kualitas hidup, bukan sekadar waktu. Hidup panjang bukan sekadar angka tahun tetapi ia tercermin dari damai dan makna setiap napas.
Menginternalisasi Makna dan Menata Masa Depan
Semua pelajaran ini ikigai Satoyama Kizuna tidak hanya berlaku bagi orang Jepang. Nilai-nilai ini justru menemukan resonansi yang mendalam dalam kehidupan Warga Negara Indonesia (WNI), si Anak Negeri yang sedang dirantau jauh dari Tanah air, yang mengabdikan waktu dan tenaganya di negeri ini baik sebagai pelajar pekerja profesional maupun pasangan hidup.
Bagi banyak WNI keberadaan mereka di Jepang adalah manifestasi dari ikigai mereka. Bukan sekadar mencari nafkah tetapi untuk memberi makna bagi keluarga di kampung halaman mengembangkan keterampilan atau memberi kontribusi langsung pada masyarakat yang menua. Ikigai mereka terwujud dalam dedikasi yang tulus di sektor-sektor kritis seperti perawatan lansia manufaktur atau teknologi. Mereka adalah pahlawan senyap yang menjaga agar roda kehidupan tetap berputar.
Jauh dari keluarga para anak rantau ini secara alamiah akan membentuk ikatan Kizuna mereka sendiri. Kelompok komunitas persekutuan daerah dan komunikasi intensif dengan keluarga di Indonesia adalah bukti bagaimana perpisahan fisik tidak meretakkan ikatan emosional. Mereka saling menguatkan berbagi informasi dan menjadi jaring pengaman sosial di tengah budaya yang asing menciptakan komunitas yang hangat.
Hidup di Jepang khususnya bagi WNI seringkali menuntut kesederhanaan dan efisiensi. Mereka belajar menghargai kualitas disiplin dan kebersihan yang menjadi etos hidup orang Jepang. Pelajaran ketenangan dari Pak Wakabayashi “Hidup ini bukan lomba” juga penting bagi WNI. Di tengah tuntutan kerja yang tinggi pelajaran ini mengingatkan mereka untuk menjaga keseimbangan dan menemukan kedamaian dalam rutinitas harian.
Para WNI yang menikah dan membangun keluarga di sini menata hidup dan masa depan dengan tanpa sadar atau sadar telah mengadopsi nilai-nilai senja ini. Mereka dapat menanamkan disiplin ikigai dan solidaritas kizuna dalam kehidupan rumah tangga mereka. Mereka tidak hanya berkarir tetapi juga membangun fondasi kehidupan yang berakar pada ketenangan dan makna.
Jepang mengajarkan bahwa kemajuan sejati bukan sekadar teknologi atau kecepatan tetapi keseimbangan antara kerja hidup manusia dan alam. Filosofi-filosofi ini membentuk etos kerja dan ketahanan batin para WNI.
Jepang tidak sedang berlari meninggalkan dunia tetapi ternyata ia sedang berjalan dengan tenang sambil memastikan tidak ada yang tertinggal di belakang. Di negeri matahari terbit yang kini memasuki fase senja kebijaksanaan ini saya dan juga para WNI belajar bahwa makna hidup bukan soal cepat sampai tetapi tentang apa yang kita bawa dan tanam di setiap langkah perjalanan. Kisah WNI di Jepang adalah bukti nyata bahwa pelajaran sederhana tenang dan penuh makna dari Jepang sedang diam-diam diinternalisasi dan dibawa pulang sebagai bekal untuk menata hidup dan masa depan baik di sini maupun nanti di Indonesia.
———— *** —————-


