24 C
Sidoarjo
Monday, January 6, 2025
spot_img

Memutus Rantai Rasisme Madura di Media Sosial

Oleh :
Uswah Sahal
Mahasiswa Pascasarjana Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga.

Instagram @aslisuroboyo kembali diwarnai oleh komentar rasis. Postingan yang memberitakan “Kursi Wesi Pemkot Surabaya Dicolong, 2 Arek Enom Dilebokno Nang Penjara” tersebut diposting 21 Desember 2024, hingga tulisan ini ditulis, postingan tersebut telah mendapatkan 642 komentar dengan beragam komentar ujaran kebencian dan rasisme. Misalnya akun @andri.k95 “Wes angel kelakuan aliansi Madura”. Kemudian akun @dhiradwi “udah bener Surabaya dan Mexico dipisahkan oleh Tuhan lewat lautan malah dikasih jembatan”. Juga akun @mailsect1 “Goblok koen lek duwe anak wedok gelem dirabi Meduro juancok. Akun @masojiq_r.a.r “Tebak suku, saya awali dengan huruf M” dan tentu masih banyak komentar-komentar rasis yang tidak bisa saya sebutkan semua.

Kasus rasisme Madura di media sosial bukan kali pertama terjadi, beberapa bulan lalu usai Wisata Kota Lama Surabaya diresmikan, sudah ada beberapa fasilitas umum yang hilang. Beberapa fasilitas yang hilang seperti kursi besi, kabel, hingga tutup besi trotoar. Entah kebetulan atau tidak, benda-benda yang menjadi target ini sama-sama mengandung unsur besi. Salah satu akun berkomentar “Masio gak ono seng ngandani, kabeh wes eroh malinge wong endi.” Artinya kurang lebih, “meskipun tidak ada yang memberi tahu, semua sudah tahu malingnya orang mana”. Beberapa komentar lainnya, bahkan menyebut nama suku secara langsung. Sebagian yang lain, menuliskannya menggunakan kode seperti Blok M, Mexico, hingga Inggris Timur. Kode-kode itu merujuk kepada etnis Madura. Etnis Madura juga selalu dikaitkan stereotipe negatif seperti begal, curanmor, maling kabel, besi hingga parkir liar di Surabaya.

Berita Terkait :  Generasi Merdeka dari Perbudakan Situs Online

Rasisme dan Warisan Kolonialisme
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menuliskan bahwa rasisme adalah paham atau golongan yang menerapkan penggolongan atau pembedaan ciri-ciri fisik (seperti warna kulit) dalam masyarakat. Pembedaan ciri ini juga berlaku pada suku, agama, ras, adat (SARA).

Paul Spoonley dalam bukunya berjudul “Ethnicity and Racism” menyebut asal mula rasisme sendiri terjadi pada masa kolonialisme. Dalam buku tersebut menjabarkan bahwa konsep ras muncul pada sistem interaksi sosial di dunia ketika negara-negara Eropa sedang menjunjung tinggi semangat ekspansi. Negara yang dijajah akan dipandang lebih rendah dari ciri fisik. Oleh karena itu, negara Eropa yang masyarakatnya berkulit putih memandang orang berkulit gelap lebih hina karena disandingkan dengan pemikiran ‘lebih lemah’.

Contohnya, pada masa pendudukan Belanda di Hindia-Belanda, dibentuk sebuah rezim segregasi rasial yang terdiri dari tiga tingkat. Tingkat tertinggi diduduki oleh kaum Europeanen atau ras kulit putih. Kelas kedua adalah Vreemde Oosterlingen, sebutan untuk warga Timur Asing yang meliputi Tionghoa, Arab, dan India. Sementara kelas terakhir adalah Inlander yang bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia disebut sebagai pribumi. Pribumi merupakan istilah untuk menamai penduduk lokal Nusantara.

Rasisme dalam konteks Madura berangkat dari stereotype bahwa orang Madura keras, garang, oleh etnis lain ketika berada di lingkungan perantauan. Bagi masyarakat di luar etnis Madura (masyarakat suku lain) keberanian masyarakat Madura identik dengan tindak kekerasan, bahwa ketika terjadi perselisihan antar individu, atau antar kelompok, bahwa penyelesaian yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan. Padahal secara fakta tidak semua orang Madura dalam menyelesaikan masalah menggunakan kekerasan dalam memertahankan kebenaran. Bahkan kebanyakan etnis Madura berperilaku santun dalam berkomunikasi, sopan dan menghargai orang lain ketika berinteraksi dengan orang lain yang tidak se suku di Madura.

Berita Terkait :  Urgensi Pelayanan Publik Berkelanjutan

Lebih lanjut, persamaan Madura dengan Mexico juga semakin melanggengkan stigma negatif pada Etnis Madura. Mexico dikenal sebagai kota mafia juga kota yang dianggap paling berbahaya dengan kriminalitas tertinggi berdasarkan data yang dirilis Dewan Keamanan Publik Mexico, sehingga Mexico menjadi kota yang tidak layak untuk dimasukkan dalam agenda kunjungan. Persamaan ini tidak bisa kita normalisasi, jika demikian sama halnya kita sedang melanggengkan stigma negatif itu sendiri. Bagi saya, melawan rasisme adalah hal kecil yang perubahannya tidak akan berlangsung dengan cepat. Cacat pikir ini sudah diwarisi dari generasi ke generasi, akan tetapi, selalu ada generasi yang bisa menghentikan kesalahan di masa lampau. Alih-alih menuduh dan menyalahkan etnis tertentu dalam kasus kriminal, kita harus lebih dalam dan jernih memandang kasus ini. Barangkali kriminal bisa terjadi karena efek dari kemiskinan. Kriminalitas bisa menjadi gambaran sejauh apa kesejahteraan suatu masyarakat terwujud dan bagaimana kinerja pemerintahan.

Bahaya Rasisme Madura di Media Sosial

Robin DiAngelo dalam bukunya “White Fragility” mengupas bagaimana rasisme memicu konflik horizontal yang dapat merusak tatanan masyarakat. Ketegangan antar kelompok yang seringkali berujung pada kekerasan, kerusuhan, dan perpecahan sosial. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang untuk berbagi informasi dan mempererat hubungan sosial, justru kerap menjadi sarang ujaran kebencian dan stereotip yang merugikan kelompok tertentu. Tentu fenomena ini tidak hanya merusak kohesi sosial, tetapi juga memperkuat stigma yang mendalam terhadap etnis tertentu.

Berita Terkait :  Dukung Peningkatan Literasi Digital Guna Hapus Skill Gap

Menurut saya, bahaya terbesar dari rasisme ini adalah efek domino yang ditimbulkannya. Ujaran kebencian yang terus-menerus dapat memicu konflik horizontal di masyarakat, memperkuat prasangka antar kelompok, dan menghalangi terciptanya integrasi sosial. Lebih buruk lagi, generasi muda yang tumbuh di tengah narasi negatif ini berpotensi menginternalisasi prasangka yang sama, sehingga menciptakan siklus diskriminasi yang sulit diputus. Di sisi lain, media sosial juga memiliki kekuatan untuk mengedukasi masyarakat dan melawan rasisme. Kampanye seperti gerakan anti-rasisme, diskusi terbuka, dan pemberdayaan narasi positif tentang etnis Madura bisa menjadi langkah awal untuk memerangi stereotip dan membangun kesadaran. Peran pemerintah, organisasi masyarakat, dan platform media sosial dalam menegakkan aturan terhadap ujaran kebencian juga menjadi kunci untuk menciptakan ruang digital yang inklusif.

Sebagai masyarakat Indonesia yang majemuk, kita harus menyadari bahwa kekayaan budaya dan etnis adalah kekuatan, bukan kelemahan. Menjunjung tinggi nilai keberagaman dan melawan rasisme, termasuk di media sosial, adalah langkah esensial untuk menjaga persatuan bangsa. Mari kita berhenti menghakimi berdasarkan stereotip dan mulai membangun percakapan yang menghormati perbedaan. Rasisme, dalam bentuk apa pun, adalah ancaman bagi kedamaian. Jika tidak segera ditangani, ia akan merusak fondasi keberagaman yang selama ini menjadi identitas kuat Indonesia.

————- *** —————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img