Oleh :
Siti Aminah
Direktur CSWS-FISIP UNAIR
Perkembangan terakhir tentang nasionalisme menunjukkan kepada kita bahwa nasionalisme menjadi lebih relevan dengan politik saat ini dibandingkan dengan setengah abad yang lalu. Ini terlihat dari kebangkitan kembali nasionalisme global mungkin paling terlihat di Amerika Serikat, di mana mantan Presiden Trump terpilih kembali menjadi presiden untuk mengutamakan Amerika dan membuat Amerika hebat kembali. Begitu pula, Perdana Menteri India Narendra Modi secara meyakinkan meraih kekuasaan pada tahun 2014 dan 2019 dengan bangga memproklamirkan nasionalisme Hindu dan Xi Jinping yang mengumandangkan nasionalisme berbasis Han, telah menjadi presiden Cina yang paling berkuasa sejak Mao Zedong.
Di negeri ini, kita telah menyaksikan munculnya fenomena keinginan warga negara untuk mencari peluang ekonomi yang lebih baik, melarikan diri dari situasi konflik, atau mengejar pendidikan yang lebih tinggi. Ini kemudian menjadi problem yang dipahami oleh elit politik sebagai krisis nasionalisme. Banyak orang mempertahankan ikatan yang kuat dengan negara asal mereka bahkan setelah pindah. Mereka dapat mendukung negara asal mereka melalui kiriman uang, tetap terlibat dengan budayanya, atau mengadvokasi kepentingannya di luar negeri.
Namun dianggap tidak tidak nasionalis. Apakah benar, warga negara bisa hilang nasionalismemya? Padahal Stuart Hall (1992) telah mengatakan bahwa kebangkitan nasionalisme bersamaan dengan globalisasi. Narasi dan pencitraan ulang nasional dalam era globalisasi ini perlu dikosruksi kembali karena nasionalisme memiliki peranan yang penting dalam konteks demokrasi. Nasionalisme dapat menjadi tantangan bagi demokrasi, namun tidak selalu demikian. Kita lihat, di Kroasia, nasionalisme berpotensi merusak demokrasi, sedangkan di Polandia justru berfungsi untuk memperkuat demokrasi.
Pemahaman yang lebih mendalam tentang kapan, mengapa, dan bagaimana narasi nasional dapat menghalangi atau mendukung demokrasi menjadi fokus yang sangat penting dalam agenda politik negara ini di masa depan. Meskipun kondisi awal yang membentuk narasi nasional tertentu bervariasi, narasi tersebut cenderung mengakar dan sulit untuk diubah. Mengingat kesepakatan di antara para ahli bahwa perubahan narasi nasional adalah hal yang sulit, maka keadaan langka yang dapat memicu perubahan tersebut menjadi area yang sangat relevan untuk dieksplorasi lebih lanjut.
Nasionalisme: Tantangan Demokrasi
Ilmuwan politik sebagian sepakat bahwa bangsa, yang berasal dari kata Latin yang berarti “kelahiran”, merupakan sebuah “komunitas yang dibayangkan” (Anderson, 1983). Individu dianggap memenuhi syarat untuk menjadi anggota bangsa tersebut melalui praktik, kepercayaan, dan/atau atribut yang diwariskan. Dan nasionalisme merupakan perayaan bangsa, yang mencerminkan keinginan untuk memiliki kedaulatan politik atas wilayah tertentu, sehingga menjadi “prinsip politik yang menyatakan bahwa unit politik dan unit nasional harus sejalan (Gellner, 2006).
Nasionalisme adalah istilah yang luas, mencakup berbagai bentuk keterikatan kebangsaan dan tidak selalu bisa menjadi ancaman bagi demokrasi, memicu perang, atau menyingkirkan minoritas. Nasionalisme telah berperan penting dalam beberapa gerakan terbesar untuk kebebasan dan keadilan sejak akhir abad ke-18, seperti gerakan penentuan nasib sendiri yang menggulingkan monarki absolut setelah Revolusi Amerika dan Prancis, serta gerakan yang menumbangkan rezim kolonial yang eksploitatif secara rasial dan ekonomi. Nasionalisme juga merupakan ideologi internasional, yang dapat digunakan untuk mempromosikan dan mempertahankan budaya dan cara hidup tertentu melalui berbagai saluran globalisasi. Namun, dalam era globalisasi, kita bisa memandang kekuatan dan ketahanan nasionalisme sebagai paradoks dunia yang secara bersamaan bersatu dan terpecah.
Globalisasi dan nasionalisme adalah proses yang saling bertentangan, dua hal yang berlawanan yang saling terkait erat melalui hubungan dialektis atau kausal. Globalisasi dapat dikatakan menghasilkan reaksi nasionalis sebagai respons terhadap dan sebagai reaksi balik terhadap kecenderungan globalisasi yang tampaknya mengancam budaya dan identitas lokal. Nasionalisme tampaknya telah menemukan tujuan dan makna baru dalam konteks globalisasi, yang merupakan salah satu alasan di balik kebangkitan nasionalis yang “mengejutkan” yang terjadi di seluruh dunia. Saat ini kita bisa bersepakat bahawa demokrasi, kapitalisme, dan globalisasi diterima secara universal sebagai cara terbaik untuk mengatur ekonomi dan memerintah masyarakat.
Para pemimpin dunia pada umumnya juga telah menerima bahwa sejarah telah berakhir karena tidak ada lagi alternatif ideologis yang kuat terhadap konsensus ini seperti yang dikatakan Fukuyama (1989). Namun, ketika globalisasi menyebabkan kesulitan bagi negara bangsa, rakyat pun mengambil inisiatif untuk keluar dari masalah yang dihadapi bangsanya dengan bekerja di luar negeri. Individu yang meninggalkan negaranya dipastikan masih ada rasa kesetiaan ganda. Seseorang dapat mencintai negara asalnya sekaligus merangkul negara baru yang telah mereka pilih untuk ditinggali. Patriotisme tidak hanya ditentukan oleh lokasi geografis atau kewarganegaraan. Tindakan, motivasi, dan hubungan berkelanjutan seseorang dengan negara asalnya semuanya dapat memainkan peran penting dalam identitas patriotik mereka. Dan ini menjadi bagian penting dari praktik demokrasi dalam globalisasi.
Meskipun ada anggapan bahwa dengan globalisasi, nasionalisme telah kehilangan kekuatan untuk menjaga agar orang-orang dari satu negara tetap bersatu dan menarik garis merah antara berbagai negara. Di era sekarang, semuanya telah menjadi begitu terintegrasi sehingga orang tidak dapat mengidentifikasi orang dan negara mereka. Hal lain adalah bahwa dengan globalisasi, peningkatan imigrasi menimbulkan risiko dan tantangan keamanan bagi nasionalisme. Pada satu titik, dapat dikatakan bahwa globalisasi, negara telah mengambil bagian dan telah berkontribusi untuk memberikan satu atau hal lain kepada dunia. Hal ini membawa pada gagasan bahwa setiap negara yang merdeka telah berkontribusi untuk membingkai dunia global saat ini. Di sisi lain, globalisasi yang bertindak sebagai kekuatan eksternal terhadap negara-negara suatu negara memaksa untuk meningkatkan rasa nasionalisme untuk melindungi identitas nasional seseorang.
Saat ini, kita terjebak dalam batasan negara, namun kemajuan zaman dan globalisasi mengingatkan kita bahwa kita saling terhubung dan bergantung satu sama lain di tingkat global. Semakin kita menyadari saling ketergantungan ini, semakin kita akan merasakan seluruh dunia sebagai rumah bersama. Tidak ada jalan untuk menghindar, dan tampaknya kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga satu sama lain. Ketika kita mulai melihat desa global ini sebagai tempat tinggal kita bersama, kita akan melampaui batasan negara dan memasuki ruang kemanusiaan yang sama untuk semua. Namun, saat ini, kita sering kali terjebak dalam ego masing-masing, terasing dalam cangkang pribadi kita. Situasi paradoks ini menciptakan ketegangan dan menjadi ancaman bagi keberlangsungan kita. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mencari solusi agar dunia tidak terasa terlalu menakutkan. Mari kita percaya bahwa kita akan segera melampaui batasan negara dan bergerak menuju kemungkinan yang tak terbatas. Jadi, nasionalisme tidak pernah hilang dari pribadi kita.
————- *** —————-