Oleh :
Akhmad Faishal
Penulis adalah pengelola Perpustakaan SMAN 15 Surabaya dan Pengajar Freelance Sosio-Sejarah di PT. Kreasi Edulab Indonesia
Beberapa waktu ini, kita disuguhi oleh perilaku elit pemerintahan yang menggambarkan betapa mereka ternyata memiliki literasi yang minim. Pertama, lihatlah bagaimana presiden Prabowo Subianto saat berpidato di kongres PSI di Solo (20/7). Ia begitu emosional, karena ayahandanya pernah menjadi tokoh penting di PSI kala itu. Hanya saja, mengganggap bahwa aktivitas PSI saat ini sama dengan atau lanjutan dari PSI pada waktu itu, apalagi hanya karena ada kemiripan singkatan, sungguh mencerminkan literasi presiden yang minim. Tidak heran, pengamat politik Rocky Gerung mengkritik keras isi poin pada pidatonya itu.
Kedua, dalam menanggapi gejala sosial baru-baru ini, pengibaran Jolly Roger, beberapa tokoh dari pihak pemerintah langsung menanggapinya dengan nada miring. Bahkan, langsung melarang pengibaran bendera tersebut. Padahal, nampak pengibaran bendera tersebut tetap diletakkan di bawah bendera Merah-Putih. Namun, tetap saja dilarang. Satu tokoh diantaranya menganggap bahwa sungguh tidak etis bendera Merah-Putih didukung oleh bendera Bajak Laut.
Tidak ada sikap kritis para tokoh itu dengan menanyakan balik, “adakah diantara pengibaran bendera Jolly Roger itu yang diletakkan di atas bendera Merah-Putih?”
Itulah reaksi tanggapan atau pernyataan spontan yang dikeluarkan oleh mereka. Tanpa ada koreksi setelahnya, karena dianggap hal tersebut (pelarangan) merupakan tindakan yang sudah benar. Memang, bukan menjadi hal aneh sikap atau tindakan defensif tersebut. Dalam kekayaan kosakata mereka yang terbatas, pilihan terbaik memang bertahan atas gempuran pertanyaan untuk menjawab gejala sosial yang cepat semacam itu. Mungkin, karena gagap atau terkejut dan tidak terbiasa menghadapi perubahan cepat sehingga langsung bereaksi seperti itu.
Andaikata mereka memiliki kosakata sekaya dan wawasan luas seperti alm. KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tidak akan pernah terucap pelarangan yang semacam itu. Bahkan, pada saat itu ia dihadapkan bukan oleh bendera manga, tetapi bendera sebuah organisasi : Bintang Kejora. Dan, ia yang telah membaca banyak sekali buku serta penguasaan bahasa asingnya yang bagus, ia bereaksi kritis dengan menanyakan keberadaan bendera Merah-Putih. Itulah sebabnya, ia menganggap bendera Bintang Kejora sebagai umbul-umbul. Bendera yang memiliki makna kulturan dan bukan makna politik.
Sayangnya, karena ketiadasamaan wawasan, ia berkonfrontasi dengan mantan Kapolri pada waktu itu, Suroyo Bimantoro. Kapolri tetap menganggap pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai tindakan provokasi untuk melakukan gerakan separatis. Dan, kejadian selanjutnya menjadi sejarah buruk Gus Dur saat menjadi Presiden RI.
Oleh sebab itu, dalam momen ini sebaiknya ada upaya memperkaya wawasan untuk meningkatkan literasi dan itu dimulai dari perpustakaan sekolah. Baik perpustakaan SD, SMP maupun SMA, setidaknya koleksi yang dimiliki seharusnya lebih banyak koleksi novel atau roman. Minimal mengoleksi kumpulan cerpen atau puisi. Hal ini mengingat bahwasanya para pengguna perpustakaan sekolah, ya, siswa-siswi sekolah tersebut. Bukan masyarakat umum atau bahkan mahasiswa yang membaca bacaan berat.
Diperlukan kesadaran oleh pihak-pihak terkait untuk melihat gaya hidup para siswa-siswi di sekolah. Contohlah, beberapa waktu ini di perpustakaan SMAN 15 Surabaya, beberapa siswi datang hendak meminjam novel karya Brian Khrisna berjudul “Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati”. Dan, karena novel tersebut hanya ada 1 eksemplar, maka mereka harus menunggu giliran untuk meminjam. Beberapa siswa-siswi juga meminjam dan kebanyakan diantara mereka meminjam novel atau roman. Bukankah aktivitas ini cukup membahagiakan?
Tentu saja. Meski hanya satu persen dari keseluruhan siswa-siswi yang ada di sekolah tersebut, persentase itu menunjukkan bahwasanya perpustakaan menjadi bagian yang harus ada. Minimal ada yang mereka cari untuk mereka baca. Andaikata, koleksi novel atau roman terbatas atau tidak ada, maka niscaya mereka tidak akan datang ke perpustakaan. Begitulah, dalam upaya meningkatkan literasi dan memperkenalkan koleksi, ada baiknya pihak yang berwenang, seperti halnya Dinas Perpustakaan atau bahkan Perpustakaan Nasional turut terlibat dalam memperkaya koleksi Roman-Novel di perpustakaan sekolah.
Sungguh, penulis meyakini pasti masih banyak diantara koleksi-koleksi di seluruh perpustakaan sekolah yang ada di kota Surabaya belum ada satu pun rak full yang terdapat koleksi roman-novel. Apalagi diantara koleksi tersebut yang memenangi Kuala Sastra Khatulistiwa Award atau pemenang sayembara Dewan Kesenian Provinsi, baik itu provinsi di Jawa atau Sumatera, Kalimantan dan lainnya. Bahkan, diantara koleksi yang dimiliki oleh perpustakaan sekolah di kota Surabaya juga belum memiliki karya S.Jai.
Memang, perpustakaan SMAN 15 Surabaya telah mengoleksi beberapa roman klasik, seperti Layar Terkembang, Sengsara Membawa Nikmat, Salah Asuhan, Salah Pilih, Marsinah, dan semacamnya, pun juga ada karya dari Raditya Dika, Tere Liye, Andrea Hirata, bahkan sampai Fiersa Besari. Namun, karya-karya tersebut dirasa masih kurang cukup. Pun, novel-novel picisan yang dikarang oleh beberapa penulis muda juga dikoleksi. Jumlahnya pun masih belum memenuhi keseluruhan rak.
Karya Leila S. Chudori saja, di perpustakaan SMAN 15 Surabaya masih memiliki “Laut Bercerita”. Karyanya yang “Pulang” saja belum ada, bahkan karya pesaingnya dalam Kuala Sastra Khatulistiwa Award pada tahun 2013, “Saman” karya Ayu Utami juga belum dimiliki. Sungguh masih banyak karya sastra roman atau novel yang belum dikoleksi oleh banyak perpustakaan sekolah. Padahal, karya-karya tersebut dapat memancing ketertarikan mereka datang ke perpustakaan sekolah.
Setidaknya, pihak perpusnas dapat bekerja sama dengan para penerbit untuk mencetak kembali karya-karya para pemenang itu lantas didistribusikan ke perpustakaan sekolah. Hal itu akan memantik keinginan mereka untuk membaca. Apalagi, jika ada kebijakan membaca wajib novel “A” di sekolah sebelum dimulai pelajaran pertama selama 15-30 menit. Hal itu akan memaksa mereka membentuk kebiasaan baru, yakni kebiasaan membaca. Dan, dengan demikian kekayaan kosakata mereka akan terpenuhi atau tercapai. Literasi mereka sungguh akan meningkat. Dan, itu akan memperbaiki perilaku minim literasi para pendahulunya.
Tidak akan ada pidato yang menyamakan organisasi hanya karena kemiripan singkatan. Tidak akan ada pernyataan yang langsung melarang atau tidak kritis. Tidak akan ada hal-hal yang menjemukan dan kontroversial pada masa mendatang. Hal ini, disebabkan literasi masyarakat, terutama generasi mudanya sudah sangat bagus. Mereka akan lebih berhati-hati dalam mengucapkan sesuatunya, karena didasarkan pada ilmu pengetahuan dan akal. Bukan datang dari ketidaktahuan yang lantas diucapkan tanpa berbikir panjang.*
———– *** —————-


