24 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Memotret Surabaya dari Sudut Eks-Lokalisasi

Oleh :
Probo Darono Yakti
Dosen FISIP UNAIR dan Pegiat Budaya
Co-Founder Nusantara Policy Lab

Surabaya kerap dipotret dari sudut pusat kota dengan deretan gedung tinggi, proyek jalan tol, hingga geliat investasi industri. Citra itu penting untuk menegaskan wajah metropolis, tetapi tidak selalu cukup untuk membaca denyut kehidupan masyarakatnya. Sebuah kota pada akhirnya bukan hanya rangkaian infrastruktur, melainkan juga jejaring sosial dan budaya yang hidup di gang-gang sempit, di ruang-ruang yang jarang masuk dalam brosur resmi pembangunan.

Kampung Bangunrejo, yang dulu lebih dikenal sebagai lokalisasi Kremil, adalah salah satu contoh ruang kota yang menawarkan cara pandang berbeda. Di sini kita bisa melihat bagaimana sebuah komunitas warga, yang lama distigma, justru menemukan jalan baru melalui kebudayaan. Transformasi dari “ruang gelap” menuju “ruang terang” ini bukan saja meneguhkan semangat warga, tetapi juga menantang paradigma kita tentang apa itu pembangunan kota.

Perjalanan Bangunrejo memperlihatkan bahwa kebijakan penutupan lokalisasi tahun 2013 hanyalah titik awal. Yang lebih penting adalah bagaimana warga menata kembali kehidupan setelahnya, mencari identitas baru, dan menyusun narasi kolektif yang lebih bermartabat. Dari sinilah, Surabaya dapat dipelajari bukan sekadar dari pusatnya, melainkan dari sudut kampung yang pernah termarginalkan.

Ingatan Kelam dan Luka Sosial
Kampung Bangunrejo tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang lokalisasi Kremil yang tumbuh sejak dekade 1960an. Selama puluhan tahun, kawasan ini menjadi salah satu pusat prostitusi terbesar di Surabaya, bahkan di Asia Tenggara. Ribuan perempuan menggantungkan hidup di sana, sementara anak-anak mereka tumbuh di lingkungan yang sejak awal diberi cap negatif. Bagi sebagian masyarakat, menyebut kata Kremil saja sudah cukup untuk menimbulkan rasa malu atau stigma.

Kebijakan penutupan lokalisasi oleh Pemerintah Kota Surabaya pada 2013 sempat dianggap sebagai solusi final. Namun kenyataannya, penutupan itu lebih menyerupai “pemutus paksa” ketimbang penyelesaian menyeluruh. Banyak keluarga kehilangan mata pencaharian tanpa ada penggantian yang memadai. Sementara itu, stigma tidak otomatis hilang; anak-anak yang lahir dan besar di Bangunrejo tetap membawa label “eks-lokalisasi” di mata sebagian masyarakat.

Berita Terkait :  HUT Kemerdekaan Ke-79 RI, Pegawai di Setda Sidoarjo Tumpengan

Inilah luka sosial yang tidak sederhana. Dalam literatur kebijakan publik, proses transformasi pasca-lokalisasi sering disebut sebagai trauma post-closure, yakni situasi ketika komunitas yang pernah terikat dalam ekonomi informal dipaksa beradaptasi dengan lingkungan baru tanpa peta jalan yang jelas. Bangunrejo mengalami fase ini: warga menghadapi diskriminasi, kehilangan identitas ekonomi, sekaligus harus menanggung beban sosial yang diwariskan kepada generasi muda.

Meski demikian, pengalaman pahit ini juga membuka ruang perlawanan. Alih-alih larut dalam situasi terpuruk, warga mulai mencari jalan alternatif. Mereka menyadari bahwa stigma tidak akan hilang hanya dengan menunggu, tetapi harus dilawan dengan menampilkan wajah baru kampung. Dari titik inilah, proses transformasi kultural Bangunrejo dimulai.

Kebudayaan sebagai Jalan Perlawanan
Transformasi Bangunrejo tidak dimulai dari proyek infrastruktur atau intervensi besar pemerintah, melainkan dari inisiatif kultural warga sendiri. Di sebuah rumah sederhana dua lantai di bawah kolong tol, lahirlah Sanggar Seni Omah Ndhuwur. Ruang ini menjadi pusat aktivitas yang perlahan mengubah wajah kampung. Anak-anak dilatih menari remo, membaca puisi, bermain teater, hingga mempelajari aksara Jawa. Dari ruang kecil itulah lahir gagasan besar untuk merebut kembali martabat kampung melalui kebudayaan.

Kebudayaan di sini tidak semata diposisikan sebagai hiburan, melainkan instrumen advokasi. Mural-mural yang menghiasi tembok kampung memuat kritik sosial. Teater yang dipentaskan di festival tahunan Mbangunredjo Art Festival menyuarakan pengalaman warga yang pernah terpinggirkan. Musik dan sastra dijadikan medium untuk mengingatkan publik bahwa Bangunrejo bukan sekadar bekas lokalisasi, melainkan komunitas yang punya hak hidup setara dengan warga kota lainnya.

Berita Terkait :  Pemkot Kediri Fokus Validitas Data dan Aksi Nyata Penurunan Stunting

Fenomena ini sejalan dengan pandangan akademisi kebudayaan bahwa seni dapat berfungsi sebagai cultural resistance atau perlawanan kultural terhadap struktur sosial yang menindas. Dengan cara yang halus namun konsisten, Omah Ndhuwur dan komunitasnya sedang menulis ulang narasi kota. Jika dulu Bangunrejo dipaksa menjadi catatan kaki dalam sejarah Surabaya, kini ia berusaha tampil sebagai paragraf penting dalam bab kebudayaan kota.

Perlawanan ini juga menunjukkan bahwa kebijakan publik tidak selalu berhasil tanpa dukungan warga. Justru partisipasi kultural inilah yang menjadi kunci keberhasilan transisi Bangunrejo. Seni, yang sering dianggap sekadar sektor tambahan, ternyata mampu menjadi jembatan antara luka masa lalu dan harapan masa depan.

Bangunrejo sebagai Laboratorium Kota Masa Depan
Pengalaman Bangunrejo memberikan pelajaran penting: pembangunan kota tidak cukup jika hanya diukur dengan indikator fisik seperti gedung, jalan tol, atau pusat perbelanjaan. Kota juga harus membangun ruang hidup yang memungkinkan warganya tumbuh dengan martabat. Dalam konteks ini, Bangunrejo dapat dipandang sebagai sebuah laboratorium sosial-kultural.

Kampung ini memperlihatkan bagaimana masyarakat mampu beradaptasi, mengelola luka sosial, dan menciptakan identitas baru melalui kebudayaan. Di tengah keterbatasan, warga memproduksi ruang alternatif: festival budaya, kegiatan literasi, hingga pelayanan publik berbasis komunitas. Semua ini menegaskan bahwa kampung bisa menjadi motor inovasi, bukan sekadar objek pembangunan.

Bagi pemerintah kota, Bangunrejo dapat menjadi rujukan untuk menyusun kebijakan yang lebih partisipatif. Apa yang dilakukan warga adalah bentuk nyata dari pemajuan kebudayaan, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017. Bahkan, dengan adanya Perda Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2024 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah, inisiatif seperti Bangunrejo seharusnya ditempatkan sebagai praktik baik yang layak diperluas.

Berita Terkait :  Sosialisasi Bahaya Narkoba dan Pencegahan Pernikahan Dini di Lokasi TMMD Ke-123

Lebih jauh, Bangunrejo mengingatkan kita bahwa kampung bukan sekadar “ruang sisa” kota. Ia adalah inti dari identitas urban Indonesia. Jika kampung bisa diberdayakan, kota tidak hanya berfungsi sebagai mesin ekonomi, tetapi juga sebagai ruang kebudayaan yang berkelanjutan. Dengan kata lain, masa depan Surabaya bisa dilihat dari bagaimana ia memperlakukan kampung-kampungnya.

Kampung sebagai Pusat Kebudayaan dan Pilar Pembangunan
Bangunrejo telah membuktikan bahwa kebudayaan bisa menjadi jalan keluar dari stigma dan keterpinggiran. Dari lokalisasi yang ditutup, lahirlah kampung yang penuh kreativitas. Dari rumah sederhana di bawah kolong tol, tumbuh gerakan kultural yang menginspirasi kota. Dari anak-anak yang dahulu diwarisi beban sosial, kini tampil generasi baru yang percaya diri di panggung seni.

Transformasi ini menegaskan satu hal yakni membangun kota berarti membangun warganya. Infrastruktur fisik penting, tetapi tidak boleh melupakan infrastruktur sosial-kultural. Jika pemerintah kota serius menjadikan Surabaya sebagai kota dunia, maka pendekatannya tidak boleh semata berbasis investasi dan pembangunan fisik, melainkan juga berbasis kebudayaan yang hidup di kampung-kampung.

Bangunrejo adalah contoh bagaimana kebijakan, partisipasi warga, dan gerakan kebudayaan bisa bertemu dalam satu titik. Di situlah lahir wajah baru Surabaya: kota yang tidak hanya diukur dari tinggi gedungnya, tetapi juga dari kuatnya solidaritas dan kreativitas masyarakatnya.

Akhirnya, memotret Surabaya dari sudut Kampung Bangunrejo adalah mengingatkan kita semua bahwa masa depan kota terletak pada keberanian memberi ruang bagi kampung untuk hidup, tumbuh, dan menyumbangkan gagasannya. Karena di sanalah, sesungguhnya, roh kebudayaan kota ini berada.

———— *** —————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru