Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya
Harus diakui bahwa liburan di era digital dan modern saat ini merupakan salah satu kebutuhan hidup dimana kondisi ritme, denyut dan tuntutan pekerjaan, sekolah maupun aktivitas lainnya mengalami peningkatan setiap tahunnya. Bisa jadi kebutuhan pokok saat ini bukan sekedar sandang, pangan dan papan namun juga termasuk kebutuhan rekreasi minimal mengisi kejenuhan dan melepas kepenatan beraktivitas bekerja misalnya dalam mengisi masa liburan. Istilah healing seakan menjadi menu wajib bagi sebagian besar masyarakat yang haus akan ketenangan jiwa dan raga. Healing merupakan salah satu metode atau cara penyembuhan diri yang bertujuan untuk mendapatkan ketenangan batin dan jiwa. Motifnya tentu sangat beragam setiap orang tergantung kebutuhan dan kemampuan sumber daya yang dimiliki. Kata-kata healing dapat memberikan kekuatan dan dukungan saat seseorang sedang mengalami kesulitan maupun trauma, sehingga membantu dalam proses pemulihan secara holistik.
Semua orang tentu ingin mencari kedamaian agar dapat hidup tentram dan tenang. Kedamaian bisa anda peroleh dengan berbagai cara sesuai kebutuhan dan passion. Memang sebagian besar masyarakat memaknai healing adalah berwisata, rekreasi atau sejenisnya ke destinasi atau tempat-tempat wisata di suatu daerah yang indah, menarik, penuh kesan baik yang bersifat outdoor maupun indoor serta bernuansa klasik-tradisional hingga modern-futuristik. Oleh karena itu liburan identik dengan mobilitas dan pergerakan manusia secara massal sehingga berdampak pada keramaian, kepadatan maupun berjubelnya pengunjung. Salah satu yang menjadi ekses dan problematika yang terjadi adalah macet di jalan raya dimana tumpah ruah lalu lintas yang menuju pada beberapa titik yang sama dalam satu waktu. Kondisi ini tentu menjadi titik rawan terjadi kemacetan yang berujung pada stress dan kelelahan yang tinggi maupun potensi kecelakaan lalu lintas yang membayangi sehingga terjadi kontradiksi esensi berwisata dimana untuk menghilangkan penat dan stress justru selama perjalanan sudah mengalami stress dahulu, sungguh sesuatu yang ironis yang harus dihadapi.
Fenomena Macet
Terkadang seseorang rela menghadapi kemacetan saat liburan karena mereka punya tujuan yang harus dicapai. Yang membuat mereka tetap bertahan melanjutkan perjalanan meskipun macet luar biasa, itu karena ada harapan di titik akhir yang menyenangkan sehingga dapat “terbayar” kelelahan akibat macet. Walaupun kegiatan yang dilakukan di lokasi tujuan akhir mungkin hanya sebatas makan, ngobrol, bercengkerama, atau melihat pantai dan birunya langit. Kerugian kemacetan berasal dari biaya langsung dan tidak langsung. Komponen biaya langsung di antaranya berasal dari biaya waktu yang terbuang di perjalanan, biaya tambahan bahan bakar, dan biaya sosial akibat emisi kendaraan. Sementara biaya tidak langsung berasal dari kenaikan harga barang dan jasa, karena proses distribusi tersendat akibat kemacetan.
Selain itu, angka real nilai kerugian akibat kemacetan akan lebih besar dari perhitungan di atas kertas. Hal tersebut mungkin terjadi jika nilai kerugian turut memperhitungkan peningkatan biaya operasional kendaraan, peningkatan kecelakaan, peningkatan biaya logistik, dampak kesehatan masyarakat, serta penurunan kualitas hidup. Kemacetan yang terjadi juga dapat memperburuk kualitas kesehatan masyarakat. Beban yang dialami dapat berupa risiko ringan mulai dari pegal, nyeri di punggung, kaki atau leher, hingga sakit kepala. Risiko penyakit jantung dan stroke juga meningkat akibat akumulasi stress yang dialami dalam kemacetan berulang. Timbulnya stress akibat kemacetan dapat menimbulkan perilaku agresif pada pengemudi, baik perempuan maupun lelaki. Dalam penelitian Louisiana State University menunjukkan adanya hubungan kemacetan dengan perilaku kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Pengendara yang terjebak kemacetan parah cenderung melakukan kekerasan rumah tangga saat tiba di rumah.
Buruknya kualitas udara menambah daftar ancaman kesehatan sebagai imbas kemacetan. Risiko penyakit pernapasan, asma, hingga kanker paru-paru, membayangi warga akibat menghirup udara yang tak sehat bahkan polusi udara sebagai karsinogenik bagi manusia. Terjebak kemacetan ternyata bisa berdampak pada kondisi kesehatan mental seseorang. Setidaknya berbagai dampak yang bisa dirasakan seseorang yang ingin liburan namun terjebak kemacetan akan jadi semakin lebih stres, lebih sensitif, frustasi, tidak nyaman dan terjadi overthinking.Selain itu ada rasa sulit menikmati liburan ketika sampai di tujuan karena tubuh sudah terlalu lelah baik dari segi mental dan fisik saat di perjalanan. Terlebih ketika terjebak di tengah kemacetan, seseorang terpaksa duduk terlalu lama di kendaraan. Situasi tersebut akan berdampak terhadap suasana hati (mood) yang terjebak di kemacetan. Duduk terlalu lama saat macet tanpa banyak aktivitas dapat memicu kelelahan fisik yang akhirnya berdampak pada kondisi mentalnya, apalagi yang belum mampu mengalihkan perhatian dan stress perjalanan yang disebut cognitive reframing yang dapat dilakukan dengan cara berikut seperti mendengar musik saat di perjalanan, menikmati pemandangan sekitar, mengobrol dengan anggota keluarga atau teman, makan camilan kesukaan saat di perjalanan hingga berzikir yang akhirnya dapat memberikan positive thinking berupa kondisi yang bahagia ketika sampai tujuan.
———– *** ————