Komunikasi Interpersonal di Era Digital
Oleh :
Haryo Kusumo Aji
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Slamet Riyadi
Di era digital ini, kita bisa mengirim pesan dalam hitungan detik, melakukan panggilan video dengan teman di belahan dunia lain, dan terhubung dengan ribuan orang hanya dengan beberapa kali klik. Namun, ironisnya, banyak yang merasa semakin kesepian, semakin jauh dari hubungan yang bermakna, dan kehilangan esensi komunikasi yang sesungguhnya. Jadi, apakah teknologi benar-benar mendekatkan kita atau justru membuat kita semakin terpisah?
Dulu, komunikasi interpersonal didasarkan pada interaksi langsung. Kita bisa melihat ekspresi wajah, mendengar intonasi suara, dan menangkap emosi seseorang secara nyata. Kini, sebagian besar komunikasi kita terjadi melalui layar: teks tanpa intonasi, emoji menggantikan ekspresi, dan percakapan singkat menggantikan obrolan mendalam. Semua ini memang memudahkan, tetapi apakah cukup untuk menggantikan hubungan interpersonal yang sebenarnya?
Media Sosial: Konektivitas atau Ilusi Kedekatan?
Media sosial memungkinkan kita untuk tetap terhubung dengan banyak orang, tetapi sering kali hanya di permukaan. Kita bisa mengetahui kabar teman lama tanpa harus bertemu langsung, melihat unggahan mereka, bahkan memberikan “like” atau komentar singkat. Tapi apakah itu cukup untuk menjaga hubungan yang bermakna? Banyak penelitian menunjukkan bahwa terlalu banyak menghabiskan waktu di media sosial justru bisa meningkatkan perasaan kesepian dan depresi. Kita melihat kehidupan orang lain yang tampaknya sempurna, membandingkannya dengan kehidupan kita sendiri, dan akhirnya merasa kurang puas. Lebih dari itu, hubungan yang hanya dijalin melalui media sosial sering kali rapuh-tanpa interaksi langsung, sulit membangun kedekatan yang sesungguhnya.
Salah satu efek terbesar dari komunikasi digital adalah menurunnya kemampuan komunikasi tatap muka. Ketika kita terbiasa mengobrol melalui teks, kita kehilangan kebiasaan untuk membaca ekspresi wajah, memahami nada suara, atau menangkap isyarat non-verbal lainnya.
Hal ini bisa berdampak pada hubungan sosial, terutama bagi generasi yang tumbuh di era digital dan tidak terbiasa dengan interaksi langsung yang mendalam. Pernahkah Anda duduk di sebuah kafe dan melihat sekelompok teman yang lebih sibuk dengan ponsel mereka daripada berbicara satu sama lain? Atau mungkin Anda sendiri pernah berada dalam situasi di mana Anda lebih banyak memeriksa notifikasi dibandingkan terlibat dalam percakapan yang sedang berlangsung? Ini adalah contoh nyata bagaimana teknologi dapat mengalihkan perhatian kita dari interaksi manusia yang sebenarnya.
Banyak yang menganggap bahwa teknologi adalah penyebab utama dari renggangnya komunikasi interpersonal, tetapi kenyataannya, teknologi hanyalah alat. Cara kita menggunakannya yang menentukan apakah kita akan semakin dekat atau semakin jauh satu sama lain. Kita sering merasa lebih nyaman mengobrol lewat chat daripada bertemu langsung karena ada rasa aman yang diberikan oleh layar. Tidak ada kontak mata yang mengintimidasi, tidak ada jeda canggung dalam percakapan, dan kita memiliki waktu lebih lama untuk merangkai kata-kata yang ingin kita sampaikan. Namun, di sisi lain, kita kehilangan spontanitas dan kehangatan dalam interaksi yang terjadi secara langsung.
Salah satu dampak besar dari komunikasi digital yang sering diabaikan adalah perubahan cara kita membangun dan memelihara hubungan. Dalam hubungan romantis, misalnya, pesan teks yang konstan bisa menciptakan ilusi kedekatan, tetapi tanpa kehadiran fisik dan komunikasi mendalam, hubungan bisa terasa hampa. Banyak pasangan yang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi secara langsung karena mereka terbiasa menyelesaikan masalah melalui teks. Mereka bisa saling mengungkapkan perasaan melalui chat, tetapi ketika duduk berhadapan, mereka merasa canggung dan kehabisan kata-kata. Ini menunjukkan bahwa komunikasi digital bukan hanya mengubah cara kita berbicara, tetapi juga bagaimana kita memahami dan merasakan kehadiran orang lain.
Keluarga dan Budaya Makan Malam yang Hilang
Dalam lingkup keluarga, perubahan ini juga sangat terasa. Dahulu, momen makan malam adalah waktu di mana anggota keluarga berbagi cerita dan saling mendengarkan. Sekarang, tidak jarang kita melihat satu meja makan yang penuh dengan orang-orang yang sibuk dengan ponsel masing-masing. Percakapan yang terjadi pun sering kali bersifat singkat dan fungsional, bukan lagi percakapan yang membangun kedekatan emosional. Anak-anak tumbuh dengan lebih banyak interaksi dengan layar daripada dengan orang tua mereka, dan ini bisa berdampak pada perkembangan keterampilan sosial mereka di masa depan.
Meskipun demikian, tidak semua dampak dari komunikasi digital bersifat negatif. Teknologi memungkinkan kita untuk tetap terhubung dengan orang-orang yang berada jauh dari kita, memperpendek jarak fisik yang sebelumnya sulit dijangkau. Dalam situasi tertentu, seperti saat pandemi misalnya, komunikasi digital menjadi penyelamat yang membuat kita tetap bisa berinteraksi dengan orang-orang yang kita sayangi. Namun, kita tetap harus ingat bahwa kedekatan yang diciptakan oleh teknologi ini tidak selalu bisa menggantikan kedekatan yang terjalin dari interaksi langsung.
Kita perlu menyadari bahwa keintiman dalam komunikasi tidak hanya dibangun melalui kata-kata, tetapi juga melalui kehadiran. Sebuah pesan teks yang menuliskan “Aku tahu perasaanmu” tentu berbeda dengan tatapan mata yang penuh pengertian dan pelukan yang hangat. Ada banyak hal dalam komunikasi yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam bentuk digital, seperti nada suara yang lembut saat seseorang menenangkan kita, atau bahasa tubuh yang menunjukkan ketulusan saat seseorang mendengarkan cerita kita. Semua elemen ini adalah bagian dari komunikasi yang membuat kita merasa benar-benar dipahami dan dihargai.
Menggunakan Teknologi dengan Bijak
Oleh karena itu, tantangan kita di era digital bukanlah sekadar belajar menggunakan teknologi dengan lebih baik, tetapi juga belajar bagaimana tidak kehilangan esensi komunikasi yang sesungguhnya. Kita perlu menemukan keseimbangan antara kemudahan yang ditawarkan oleh komunikasi digital dengan kedalaman yang hanya bisa diperoleh dari komunikasi tatap muka. Ini berarti kita harus lebih sadar dalam menggunakan teknologi, lebih sering hadir dalam interaksi langsung, dan tidak membiarkan kenyamanan layar menggantikan kehangatan hubungan manusia yang sejati.
Pada akhirnya, komunikasi bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga soal bagaimana kita membuat orang lain merasa didengar, dipahami, dan dihargai. Teknologi mungkin telah mengubah cara kita berbicara, tetapi apakah ia juga harus mengubah cara kita mencintai, peduli, dan terhubung dengan sesama? Jawaban atas pertanyaan ini ada pada diri kita masing-masing.
———— *** ————–