27 C
Sidoarjo
Wednesday, December 17, 2025
spot_img

Media dan Sensasi

Oleh:
Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Pertumbuhan media massa yang cepat menciptakan kompetisi yang ketat. Tak sedikit pengelola media yang terjebak dalam laku jurnalisme yang lebih memburu kecepatan ketimbang kedalaman. Mengejar click dan like daripada akurasi. Tak jarang media yang suka tebar sensasi demi simpati. Alih-alih jalankan jurnalisme yang bermutu, banyak media justru melakoni praktik jurnalisme cepat saji.

Logika algoritma dan tekanan rating membuat media berlomba-lomba menjadi yang tercepat. Namun, media yang terlalu sibuk mengejar kecepatan sering kali lupa memastikan akurasi. Dalam jurnalisme cepat saji, proses verifikasi dipersingkat, narasumber tak dikonfirmasi secara menyeluruh, dan judul berita sering dibuat dramatis (clickbait) agar menarik perhatian. Di titik inilah, etika jurnalistik mulai tergeser oleh kepentingan trafik dan keuntungan komersial.

Program Xpose Uncensored Trans7 episode pondok pesantren Lirboyo, Kediri, menjadi ilustrasi nyata bagaimana media tergelincir dan terjebak dalam jurnalisme sensasional. Tayangan di Trans7 menghadirkan narasi yang merendahkan martabat kiai dan pesantren. Pesantren dijadikan latar religius semata untuk kepentingan dramatisasi acara televisi. Media mem-framing pesantren dalam posisi tak tepat, tanpa mempertimbangkan nilai dan adab yang dijunjung tinggi oleh pesantren.

Jurnalisme Cepat Saji
Kasus polemik acara Xpose Uncensored Trans7 menjadi salah satu contoh acara televisi yang dibaut dengan konsep cepat saji. Karena tak hati-hati dan tak memahami dimensi spiritual, budaya, dan sosial acara itu menuai protes keras. Kiai bukan sekedar tokoh figuran yang bisa dimasukkan dalam skenario demi menghadirkan kesan dramatis. Ada adab, ada marwah, ada tradisi yang dijaga oleh jutaan santri di Indonesia.

Berita Terkait :  Mengejar Lolos Final Putri Lingkungan Hidup dengan Bidara dan Minyak Jelantah

Ketika media gagal memahami sensitivitas ini dan hanya melihat dari kacamata rating, maka yang terjadi bukan sekadar kesalahpahaman, tetapi benturan nilai antara budaya pesantren dan logika industri media. Tak jarang karena demi rating media menabrak etika dan adab. Alih-alih membongkar realita tertentu, namun yang ditonjolkan lebih dari faktor sensasinya. Karena media memandang sesuatu yang sensasional akan mudah mendulang rating dan iklan.

Salah satu akar masalah dari kecenderungan sensasional ini adalah perubahan ekosistem ekonomi media. Pendapatan iklan kini sangat ditentukan oleh seberapa banyak klik yang dihasilkan sebuah konten. Maka, konten pun dirancang untuk menarik perhatian secepat mungkin. Dalam dunia yang diatur oleh algoritma, konten yang memicu emosi lebih mudah menyebar dibandingkan konten mendidik yang membutuhkan perenungan.

Saat masyarakat mengonsumsi informasi yang tak sehat, akan mendatangkan penyakit bagi emosi, pikiran, dan perilaku. Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat menyatakan bahwa di tengah pesatnya arus informasi, media massa diharapkan mengedepankan kode etik jurnalistik. Media agar tak menjual sensasi dalam pemberitaan, dan tetap mengedukasi publik dengan karya berkualitas (Kompas, 10/10/2025).

Kasus tayangan Trans7 di Lirboyo menunjukkan bahwa ketika media abai terhadap etika, dampak sosialnya bisa serius. Bukan hanya soal citra pesantren yang tercoreng, tetapi juga soal membentuk persepsi publik yang keliru tentang lembaga pendidikan Islam. Ini berbahaya, karena pesantren adalah bagian penting dari struktur sosial dan keagamaan Indonesia. Merusak citra pesantren sama saja dengan mengganggu harmoni sosial yang selama ini dijaga.

Berita Terkait :  Disperindag Pemkab Sidoarjo Susun Renstra Pengembangan Sektor Industri dan Perdagangan

Akhiri Sensasi
Media semestinya punya sensitivitas budaya. Dalam kultur pesantren, adab lebih tinggi daripada ilmu. Menghormati kiai bukan sekedar sopan santun, tetapi bagian dari keyakinan spiritual. Maka ketika media menampilkan kiai dalam konteks hiburan yang banal, rasa kecewa dan marah dari komunitas pesantren bukanlah reaksi berlebihan, tetapi bentuk pembelaan terhadap kehormatan tradisi.

Sayangnya, dalam logika produksi konten modern, sensitivitas seperti ini sering dianggap tak relevan. Selama tayangan menarik, selama rating naik, selama konten ramai dibicarakan, maka dianggap berhasil meski keberhasilan itu dibangun di atas luka sosial. Sudah saatnya kita mendesak media untuk kembali ke rel tanggung jawab sosial. Media bukan sekedar mesin distribusi informasi, tetapi institusi yang memiliki fungsi edukatif, kultural, dan moral.

Untuk itu, perlu ada mekanisme kontrol sosial yang lebih kuat dari publik. Kritik terhadap media harus terus disuarakan. Masyarakat, termasuk komunitas pesantren, memiliki hak untuk menegur media yang melenceng. Boikot bukan tujuan, tetapi refleksi. Sebagaimana cermin yang kotor tak harus dipecahkan, media yang salah arah tak harus dimusnahkan, tetapi perlu dibersihkan.

Media dan sensasi memang sulit dipisahkan dalam era digital. Namun, sensasi bukan berarti kebablasan. Sensasi bisa menjadi pintu masuk untuk menarik perhatian, tetapi setelah perhatian didapat, media wajib memberikan substansi. Jika tidak, media hanya akan menjadi perpanjangan dari budaya viral yang dangkal. Kalau demikian, maka menempuh cara-cara yang mengejar sensasi perlu segera diakhiri.

Berita Terkait :  Menyokong Pasar Film

Kasus Lirboyo harus menjadi pelajaran kolektif bahwa tak semua hal boleh dipermainkan atas nama hiburan. Ada nilai yang tak bisa ditukar dengan rating. Ada kehormatan yang tak bisa dikompromikan demi trending topic. Jika media ingin kembali dipercaya, maka media harus berhenti menjual sensasi dan mulai kembali pada misi utamanya yakni mencerahkan bangsa.

————– *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru