Momentum ketika nilai rupiah anjlok terhadap dolar, biasa muncul isu bahwa pe-merintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi, atau paling tidak pemerintah akan membatasi penggunaan BBM bersubsidi seperti pertalite dan solar.
Setiap kali isu ini muncul, masyarakat pun was-was. Sebabnya, bagi masyarakat bawah, kehidupan sudah terlalu su-lit saat ini. Jika harga bahan bakar naik, maka akan berdampak besar, menyeret harga-harga produk lain. Dengan demikian, dipastikan angka kemiskinan melonjak drastis kecuali ada jaring pengaman sosial yang tepat sasaran. Dan seperti pengalaman bertahun-tahun, tidak ada bantuan yang benar-benar tepat sasaran.
Pemerintah berargumen bahwa BBM subsidi harus dibatasi karena banyak orang yang tidak berhak menerima subsidi. Itu sebab perlu dibenahi sehingga tidak membebani kesehatan ke-uangan negara, yang memang sudah terbebani banyak utang luar negeri. Bahkan disebut-sebut jumlah orang kaya peneri-ma manfaat BBM subsidi jauh lebih banyak dibandingkan dengan subsidi yang dinikmati oleh orang miskin.
Namun, apa pun alasannya, pencabutan subsidi akan mem-buat harga komoditas lain naik drastis, terutama sektor pangan. Sebelumnya pemerintah memang sudah membuat kendaraan listrik sebagai alternatif untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil yang harganya cenderung naik di pasar internasional. Terlebih saat ini ketika kondisi Timur Tengah masih bergejolak dan perang Ukraina-Rusia pun masih berkecamuk.
Akan tetapi, pemerintah memang sudah menciptakan ken-daraan listrik. Namun, semua juga tahu bahwa ekosistem ken-daraan listrik ini belum berjalan dengan baik. Penjualan motor listrik pun disebut-sebut belum sesuai dengan harapan pemerin-tah. Dengan menaikkan harga BBM atau membatasi penjualan, barangkali juga bisa mengarahkan sebagian pengguna kendara-an beralih ke kendaraan listrik. Itu teorinya. Kondisi sesungguh-nya nanti terlihat di lapangan jika kebijakan pembatasan atau kenaikan harga BBM subsidi benar-benar diimplementasikan.
Sesungguhnya, kita memandang bahwa subsidi BBM masih dibu-tuhkan. Pemerintah harus hadir mengintervensi pada bidang-bidang tertentu, yang menjadi hajat kebutuhan orang banyak. Jika menyerah-kan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, maka harga pun akan su-lit dijangkau oleh sebagian warga Indonesia yang kurang akses ke kue pembangunan. Barangkali yang harus diperbaiki adalah tatakelola-nya. Subsidi harus dinikmati oleh orang yang tepat.
Para pakar menyebut ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan pe-merintah ditengah depresiasi rupiah yang terlalu jauh dan pelemahan penerimaan negara yang cukup signifikan saat ini. Pertama, mengor-bankan rakyat dengan cara membatasi atau bahkan menaikkan har-ga BBM agar mendekati harga keekonomian. Kedua, pemerintah sen-diri yang harus berkorban, yakni dengan memangkas belanja rutin dan operasional yang tidak penting. Proyek-proyek yang dinilai kurang pen-ting atau masih dalam kontroversi seperti IKN, ditunda terlebih dahulu.
Kita tentu berharap pemerintah untuk memilih opsi kedua. Yakni be-lanja rutin dan operasional yang tidak penting dipangkas. Harga BBM, harga pangan, ini menyangkut urusan perut. Proyek atau kebijakan apa pun harus dibatalkan jika sampai mengganggu urusan perut rak-yat ini. Kalau tidak, nanti malah menjadi melebar permasalahan, ter-masuk mempengaruhi kondisi sosial politik negara.
——— *** ———-