Oleh :
Oman Sukmana
Guru Besar FISIP dan Ketua Program Doktor Sosiologi
Universitas Muhammadiyah Malang
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok massa (warga), seperti kerusuhan, perusakan, pengeroyokan, penghakiman, tawuran, penyerangan, pembakaran, bahkan pembunuhan, semakin marak diberitakan media. Massa nampaknya mudah dihasut dan di provokasi, sehingga gampang terpancing untuk melakukan tindakan kekerasan.Misalnya, peristiwa akhir-akhir ini adalah tindakan pengeroyokan kepada Burhanis (bos rental mobil asal Jakarta) dan tiga rekanya oleh sekelompok massa di Pati, Jawa Tengah, yang mengakibatkan bos rental mobil tersebut meninggal dunia dan tiga orang rekanya yang lain mengalami luka-luka yang cukup parah.
Dilansir dari sumber berita online Tempo.co (edisi Senin, 10 Jun 2024), kejadian pengeroyokan yang berakhir mengenaskan ini berawal saat Burhanis dan tiga rekannya datang ke Desa Sumbersoko, Kecamatan Sukolilo, Pati, pada hari Kamis tanggal 6 Juni 2024. Hal tersebut dilakukan Burhanis dan rekannya untuk mengambil mobil rentalnya yang berjenis Honda Mobilio karena tidak kunjung dikembalikan oleh penyewa. Burhanis dan ketiga rekannya kemudian menemukan mobil rentalnya miliknya tersebut berada di Desa Sumbersoko, berdasarkan lokasi pelacakan yang tertera pada Global Positioning System (GPS). Saat itu, mobil tersebut berada di rumah berinisial AG, yang juga merupakan salah satu tersangka pengeroyokan. Setelah para korban (Burhanis dan rekanya) menemukan mobilnya yang disewa tersebut, mereka pun langsung membuka pintu mobil tersebut dengan kunci cadangan. Namun naas, ternyata ada warga yang melihatnya dan meneriaki sebagai maling hingga menyebabkan orang berdatangan dan melakukan pengeroyokan terhadap Burhanis beserta tiga rekannya tersebut. Selain melakukan pengeroyokan, aksi main hakim sendiri massa ini, juga melakukan pembakaran terhadap mobil milik korban.
Peristiwa serupa, yakni mudahnya massa terpancing untuk terlibat dalam perilaku kekerasan, seringkali juga terjadi di berbagai tempat lainnya. Mereka yang terlibat dalam perilaku kekerasan massa tersebut pada umumnya mengaku keterlibatannya terjadi secara spontanitas, tanpa adanya check and recheck dan konfirmasi terlebih dahulu atas apa yang sesungguhnya terjadi. Massa baru menyadari bahwa korban tindakan kekerasnya adalah salah sasaran.
Dalam perspektif sosiologi, perilaku kekerasan massa ini dikategorikan sebagai perilaku kekerasan kolektif (collective violent behavior). Secara umum perilaku kolektif dipandangaksi yang dilakukan oleh sejumlah anggota manusia yang jumlahnya cukup banyak (massa), seringkali bersifat spontanitas, dan bentuk aksinya biasanya bersifat bertentangan norma yang diakui (established norms). Bentuk dari collective behavior antara lain adalah crowds(kerumunan massa) dan riots(kerusuhan massa). Semua bentuk dari perilaku kolektif melibatkan tindakan (aksi) dari sekumpulan manusia, dimana ditandai dengan lemahnya kontrol norma dan nilai.
Mengapa massa mudah tersulut dan terpancing untuk melakukan perilaku kekerasan?Untuk memahaminya kita bisa mengacu kepada perspektif salah satu teori perilaku kolektif, yakni perspektif teori deprivasi relatif (relative deprivation theory). Inti dari perspektif teori deprivasi relatif dalam menjelaskan munculnya aksi kekerasan kolektif (kekerasan massa) adalah bahwa massa melakukan aksi kekerasan karena didasari oleh perasaan kecewa, tidak puas, kejengkelan, dan rasa frustasi baik secara individual maupun secara social atas realitas social yang terjadi.Salah satu bentuk dari deprivasi adalah aspirational deprivation, yaknisuatu deprivasi yang terjadi ketika ekspetasi atau harapan orang tentang kondisi social tertentu, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Maka dalam konteks ini dapat dipahami bahwa massa mudah terpancing, tersulut, dan terprovokasi untuk melakukan aksi kekerasan karena mereka di kooptasi oleh rasa ketidakpuasan atas situasi social yang ada yang dipandang tidak sesuai dengan harapan (ekspetasi) mereka. Misalnya, ketika masyarakat (massa) memiliki harapan untuk hidup lebih baik, nyaman, aman, harga murah, tidak ada KKN, hukum ditegakkan dengan adil, pemilihan umum yang jurdil, lapangan kerja tersedia, pendidikan murah, dan sebagainya, akan tetapi kenyataanya yang terjadi malah sebaliknya, maka akan menyebabkan kekecewaan dan ketidakpuasan pada masyarakat yang sangat potensial bagi munculnya perilaku kolektif. Dalam kondisi kekecewaan dan ketidakpuasan, maka masyarakat akan menjadi rapuh secara social.
Sejalan dengan perspektif teori deprivasi relatif dalam sosiologi, maka dalam perspektif psikologi social terdapat suatu teori, yakni teori frustasi-agresi (frustration-agrression theory), yang juga bisa dijadikan sebagai kerangka untuk memahami mengapa kekerasan massa terjadi.Perilaku agresi (agresif) mengacu kepada perilaku seseorang atau sekelompok orang yang dimaksudkan untuk membuat objeknya (khususnya manusia) baik individual maupun kelompok mengalami bahaya atau kesakitan.Perilaku agresi bisa dilakukan secara verbal atau fisik.Dalam konteks ini maka jika individu, kelompok, ataupun masyarakat mengalami rasa frustasi maka akan memiliki kecenderungan untuk melakukan aksi atau tindakan agresi (desduktrif). Masyarakat frustatif akan cenderung berperilaku agresif.
Salah satu fungsi dari komunitas masyarakat sebagai suatu system social adalah menjamin dan memberikan perlindungan social bagi seluruh anggota masyarakat. Sistem social masyarakat mestinya menjadi ruang aman dan nyaman atas terjadinya ancaman social. Dalam pandangan teori fungsionalisme struktur, suatu masyarakat yang fungsional jika di dalamnya ditandai oleh saling keterkaitan yang fungsional antara berbagai sub-sub system masyarakat. Sistem hukum, politik, ekonomi, norma, nilai, budaya, dan berbagai sub system masyarakat berfungsi dengan baik dan saling berinterelasi. Jika salah satu sub system social dalam masyarakat tersebut tidak fungsional, maka secara keseluruhan system social masyarakt tersebut akan mengalami sakit. Maka, jika system social masyarakat “sakit” tentu saja akan menyebabkan anggota masyarakat juga menjadi “sakit”. Ada doktrin yang menyatakan bahwa “masyarakat yang sakit akan melahirkan individu yang sakit pula”.
Upaya meminimalisir agar massyarakat tidak mudah tersulut untuk melakukan kekerasan massa adalah dengan cara membangun ketahanan social.Ketahanan sosial merupakan suatu kondisi masyarakat yang terdiri dari usaha dan kemampuan secara terus menerus dalam menghadapi segala macam tantangan, ancaman, dan gangguan yang datang untuk identitas, integrasi serta kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut…(*)
———— *** —————-