27 C
Sidoarjo
Thursday, March 20, 2025
spot_img

Marginalisasi Siswa Miskin Melalui Sekolah Rakyat

Oleh :
Syafiuddin
Adalah guru SMAN 1 Sumenep, Jawa Timur

Masalah kemiskinan merupakan masalah yang runyam dan sulit diselesaikan. Tidak hanya menyangkut masalah mental dan motivasi hidup, tapi terkadang ada yang secara sengaja memanfaatkan untuk kepentingan tertentu.

Sekolah Rakyat (SR) yang digagas oleh pemerintah melalui Kemensos merupakan model penyelenggaraan pendidikan atau sekolah yang dikhususkan untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrim. Gagasan SR sebagai upaya strategis dan efektif dari pemerintah untuk memutus rantai kemiskinan. Tujuannya mengangkat derajat keluarga miskin menjadi keluarga yang bermartabat, mandiri dan berdaya secara ekonomi.

SR menyelenggarakan pendidikan model asrama. Siswa dari keluarga miskin dan miskin ekstrim di kumpulkan dan hidup dalam asrama. Selama mengikuti SR siswa diberikan pelayanan dan dipenuhi semua hajat hidupnya secara gratis oleh pemerintah. Layanan pendidikan, makanan, pakaian, tempat tinggal, termasuk kebutuhan air bersih, listrik dan pendukung kehidupan modern seperti internet semuanya disediakan secara cuma-cuma.

Muncul permasalahan dimana model pendidikan asrama yang akan dilaksanakan di SR berdampak pada keadaan akan menjauhkan siswa miskin dari keluarga dan mencerabut dari akar budayanya. Secara sosiokultural SR akan berdampak pada ke kondisi memarginalkan siswa miskin. Karena mereka hidup dalam satu kelompok (lingkungan asrama) yang semuanya anak miskin tanpa bisa bercampur atau berinteraksi secara elegan dengan siswa yang berbeda latar ekonomi dan kelas sosial.

Di dalam asrama, siswa SR dari keluarga miskin dan miskin ekstrem dipenuhi semua kebutuhan hidupnya. Akan tetapi, mereka hanya bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama kelasnya. Kondisi seperti ini akan mencetak pribadi yang ekslusif dan menciptakan kehidupan marginal. Di satu sisi dipenuhi segala hajat hidupnya, sementara di sisi lain mereka terbatas dalam akses komunikasi dan interaksi sosial.

Dipenuhi segala kebutuhan hidup bisa membangkitkan rasa percaya diri, sehingga mereka merasa superior dan tiada lemah untuk hidup dan bersaing dengan yang lain. Namun, kondisi hidup yang ekslusif dengan terbatasnya ruang komunikasi dan interaksi sosial dengan seluruh lapisan kelas masyarakat akan menyebabkan rasa inferior. Sedangkan kondisi inferior secara psikologis lebih membekas dan lebih merusak terhadap perkembangan mental seseorang.

Berita Terkait :  Sub Sektor Hortikultura dan Peternakan Turun, NTP Provinsi Jawa Timur Turun 0,40 Persen

Bayangkan, selama menempuh pendidikan di SR hidup dalam asrama 24 jam. Tidur bersama anak miskin, bermain dengan sesama anak miskin. Bahkan, belajar di sekolah berkumpul dengan anak yang sama miskin. Kondisi seperti ini tidak baik untuk pendidikan dan perkembangan sosial anak. Seorang anak membutuhkan stimulan alami yang lahir dari kehidupan dan beraneka ragam. Sehingga bisa memperkaya diri dan memberdayakan diri untuk tumbuh wajar dan seimbang.

Terus, apa bedanya penyelenggaraan pendidikan SR dengan pesantren yang sama model asrama? Kemudian, tinggal dan menetap di dalam pesantren berbulan – bulan sama artinya mencabut seorang anak dari keluarga dan akar budayanya?

Antara SR dan pesantren sangat berbeda sekali. Model asrama dalam pesantren tumbuh dari inisiatif masyarakat atau orang tua. Karena orang tua merasa kurang mampu untuk bisa memberikan pendidikan khusus agama kepada anaknya. Atas keterbatasan tersebut maka para orang tua mengirim anaknya untuk mengikuti pendidikan di pesantren dengan model asrama.

Berbulan-bulan anak tinggal di dalam pesantren tanpa bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat luar. Akan tetapi, di dalam kehidupan pesantren para santri hidup secara bebas dalam komunikasi dan berinteraksi sosial. Kehidupan dalam pesantren bercampur semua lapisan sosial dan kelas ekonomi. Anak dari keluarga miskin, kelas menengah, hingga kelas atas hidup secara bersama, serta menjalin komunikasi dan berinteraksi secara elegan, terbuka dan bebas. Sehingga tercipta kehidupan yang inklusif dan egaliter.

Pesantren tidak mencabut seorang anak dari keluarga dan akar budayanya. Seorang anak yang tinggal di dalam pesantren tetap bisa berkomunikasi dengan orang tua, bahkan bisa dikunjungi sewaktu-waktu oleh orang tua. Jika seandainya sakit, anak bisa dibawa pulang untuk mendapatkan perawatan intensif oleh orangtuanya. Bahkan, jika waktu libur telah tiba pesantren sangat mendorong anak untuk pulang ke rumah untuk berkumpul bersama keluarga. Kemudian menjalin interaksi dan berkomunikasi dengan kerabat, masyarakat dan lingkungan secara intensif dan mendalam.

Berita Terkait :  PLN Peduli Jadikan Kampung Lali Gadget Layak Dikunjungi

Seorang ulama besar sekaligus pengasuh pesantren Kyai Maemun Zubair (semoga Allah memberikan rahmat padanya), jika telah memasuki waktu musim pulang sering melakukan inspeksi berkeliling mengunjungi kompleks pesantren. Jika ditemukan ada seorang santri yang tidak pulang maka tidak segan beliau menegur dan menyuruhnya pulang. Menganjurkan santri berkumpul bersama orang tua, keluarga, kerabat, masyarakat dan lingkungan. Tindakan ini dilakukan agar santri tidak tercerabut dari dari orang tua, keluarga dan akar budayanya.

Bahkan Kyai Maemun Zubair mengkritik model panti asuhan dalam merawat dan menyantuni anak yatim dan miskin. Sebab anak yatim atau miskin itu dicerabut atau dipisahkan dari orangtua dan keluarga. Seharusnya, anak yatim dan miskin tidak perlu diboyong ke panti asuhan. Melainkan diberikan bantuan agar terpenuhi segala kebutuhannya dengan tetap bersama orangtua dan keluarganya.

SR tidak berangkat dari inisiatif dan keinginan masyarakat sehingga kurang mengakar. Lebih pada program pemerintah dengan pendekatan proyek yang temporal serta sangat tergantung pada ketersediaan dana dan pemegang kendali kekuasaan. Dianggap sebagai jurus jitu dan modern (kekinian) dalam memutus rantai kemiskinan. Terkesan sebagai langkah besar, ilmiah dan strategis. Namun, sejatinya lebih sebagai wujud ketidakberdayaan dan ketidakmampuan pemerintah, utamanya Kemensos, dalam menyelenggarakan sistim jaminan sosial terutama menyangkut masalah keluarga miskin.

Daripada harus menyediakan dana yang sangat besar untuk penyelenggaraan SR, lebih baik pemerintah memperbaiki program sistem jaminan sosial khususnya dalam pengentasan kemiskinan. Pemerintah bisa melakukan intervensi secara ketat, tepat dan akurat terhadap kelurga kategori miskin. Bantuan terhadap keluarga miskin dan miskin ekstrim ditingkatkan nominal dan bentuknya. Tidak hanya memberikan bantuan uang, tetapi juga memberikan bantuan berbentuk barang yang dibutuhkan terutama kebutuhan anaknya. Misal, buku dan alat tulis, seragam, tas, uang saku, dan kebutuhan pendidikan lainnya. Termasuk smartphone atau laptop dengan jaringan internet.

Berita Terkait :  Pemkab Sumenep Raih SAKIP Predikat BB, Harus Jadi Cambuk Peningkatan Layanan

Dengan bantuan pemerintah yang tepat, akurat dan meningkat anak keluarga miskin dan miskin ekstrim tetap hidup bersama keluarga. Terpenuhi segala kebutuhan hidupnya. Diberikan kesempatan dan perhatian khusus agar bisa menikmati layanan pendidikan di sekolah umum yang ada. Sehingga mereka bisa berkomunikasi, bersosialisasi dan berinteraksi secara bebas dengan anak-anak lainnya dengan kelas sosial dan latar belakang ekonomi yang beragam.

Pemerintah juga memperbaiki sistem dan birokrasi di dalamnya, termasuk pula sistem pengawasan dan evaluasi. Bahkan, pemerintah (Kemensos) harus berkolaborasi dengan lembaga lain baik sesama lembaga pemerintah atau dengan lembaga di luar pemerintah. Serta pula menjalin kolaborasi internasional dengan bertukar ide dan program pengentasan kemiskinan yang telah dipraktekkan dan berhasil dilakukan di negara lain.

Dan yang terpenting adalah pemerintah bisa mengendalikan (menurunkan) harga kebutuhan pokok dan membuka lapangan kerja yang luas. Tingginya harga kebutuhan pokok dan ketiadaanlapanganpekerjaan menyebabkan keluarga miskin tidak bisa naik kelas. Mereka tidak bisa menabung untuk ketahanan, keberlanjutan dan perbaikan kualitas hidup keluarga. Justeru sebaliknya, menambah jumlah angka keluarga miskin.

Yang terakhir dan harus dilakukan pemerintah adalah menghapus perilaku korup di pemerintahan dan swasta. Korupsi adalah faktor utama penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi dan sosial. Untuk itu, Undang-undang Perampasan Aset mendesak dibahas dan disahkan sebagai tindakan shock therapy agar takut dan enggan melakukan tindakan korupsi. Sehingga uang negara bisa diselamatkan dan dimanfaatkan sepenuhnya dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Sebelum betul-betul diwujudkan sebaiknya ide SR dikaji ulang secara mendalam. Jangan sampai seorang anak tercerabut dari keluarga dan akar budaya. Biarkan anak dari keluarga miskin tumbuh secara alami dan wajar. Berikan jaminan sosial dan akses layanan pendidikan secara terbuka agar mereka bisa menjadi pribadi yang mandiri dan bangkit dari kemiskinan. Sebab, apapun latar belakang sosial dan ekonominya seorang anak adalah masa depan, sekaligus harapan dan tumpuan bagi keluarga, bangsa dan Negara.

———— *** —————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru