Oleh:
Drs. H. Eddy Paripurna, MSi
Anggota Komisi B DPRD Jawa Timur
Kegaduhan mewarnai kebijakan pengaturan distribusi LPG 3 kilogram. Bagai terjadi pembatasan (yang berujung pengurangan). Tabung “melon” tiba-tiba hilang di tingkat pengecer kampung. Padahal harga sudah naik, kini langka pula. Di berbagai sampai terjadi keributan pada antrean panjang berebut LPG “melon.” Walau sebenarnya pasokan cukup memadai, tersimpan di pangkalan. Kini, pemerintah patut mengendurkan distribusi, sekaligus mem-fasilitasi pengecer menjadi pangkalan LPG (Liquefied Petroleum Gas).
Pemerintah masih berhutang kepada keluarga miskin, berkait ketersediaan gas alam jaringan rumah tangga. Kalangan menengah ke bawah menggunakan LPG “melon” (3 Kilogram), yang jauh lebih mahal dibanding gas jaringan rumah tangga. Konsekuensinya, pemerintah terus menambah subsidi sampai Rp 80,21 trilyun (tahun 2024). Bahkan semakin membesar pada tahun 2025. Ironisnya, pemerintah masih harus impor gas bumi sekitar 7 juta ton per-tahun.
Mulai awal Pebruari 2025, pemerintah memberlakukan pola baru penjualan LPG tabung “melon” (3 kilogram). Hanya bisa diperoleh (dijual) di tingkat pangkalan. Konon pola baru untuk menjamin distribusi LPG bersubsidi lebih tepat sasaran, dan menghindari penyalahgunaan. Tidak ada lagi LPG “melon” di pengecer. Sebagai gantinya, pengecer boleh mendaftar menjadi usaha pangkalan. Tidak mudah, karena menyiapkan berbagai persyaratan. Terutama izin usaha, dan surat rekomendasi dari Lurah dan Camat.
Selama ini masyarakat mengandalkan pembelian LPG “melon” dari pengecer, terdekat rumah. Biasanya, pengecer memperoleh LPG “melon” dari pangkalan, sesuai permintaan. Diantar menggunakan mobil pikup, atau kadang motor roda tiga dengan bak pengangkut. Setiap pangkalan meng-ampu bisa mengampu antara 10 hingga 20 pengecer, masing-masing sekitar 10 tabung. Pangkalan menjual LPG “melon” dengan harga banderol sesuai HET (dulu Rp 16 ribu, kini menjadi Rp 18 ribu per-tabung di Surabaya), dengan tambahan ongkos kirim Rp 500,- per-tabung.
Berdasar data ke-energi-an di Jawa Timur, kini terdapat 33 ribu lebih pangkalan, diampu oleh 832 unit agen. Sedangkan jumlah SPBE (Stasiun Pengisian Bulk Elpiji) sebanyak 127 unit, tersebar di setiap (38) kabupaten dan kota. Bahkan tak jarang dise tiap desa dan kelurahan terdapat 4 pangkalan. Antara lain di area Malang, Madiun, dan Surabaya. Jumlah pangkalan di Jawa Timur, tergolong cukup banyak, karena melayani juta-an rumahtangga penerima manfaat.
Berdasarkan data ke-energi-an, terdapat 7,2 juta kepala keluarga (KK) pengguna LPG “melon.” Rasio kewajaran penggunaan LPG 3 Kilogram ditaksir 3 hingga 4 unit tabung pe-KK setiap bulan. Sedangkan kebutuhan UMKM antara 6 hingga 8 unit. Sehingga total dibutuhkan 28,8 juta tabung per-bulan, tidak termasuk kebutuhan UMKM, dan kebutuhan nelayan. Tetapi khusus pada bulan Ramadhan, bisa tambah 2 juta tabung.
LPG Masih Impor
Harga ke-ekonomi-an LPG “melon” konon sebesar Rp 55 ribu. Sehingga pemerintah memberi subsidi sebesar Rp 37 ribu per-tabung. Ironisnya, pagu 2024 sudah terlampaui sampai 3%. Sedangkan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) APBN 2025, subsidi LPG 3 KG sebesar Rp 82,95 trilun (41,38% dari total pagu subsidi energi). Pemerintah bisa kelimpungan menyediakan subsidi energi dari impor LPG sebanyak 6,9 juta ton dalam setahun.
Padahal berdasar data BPH Migas, Indonesia memiliki cadangan gas bumi sangat melimpah. Sampai sebanyak 142,72 triiyun standard cubic feet, atau sekitar 4,043 trilyun meter-kubik. Berdasar amanat konstitusi, kekayaan alam Indonesia harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. UUD pasal 33 ayat (3), meng-amanat-kan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Gas bumi, sudah dikuasai oleh negara melalui BUMN (Badan Usaha Milik Negara), tetapi belum di-distribusi-kan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Realitanya, sejak lama gas bumi hanya dinikmati kalangan menengah ke atas. Sedangkan rumah tangga kalangan bawah dijatah tabung gas LPG “melon,” sejak tahun 2007. Ironis, pemerintah masih mengandalkan impor gas untuk LPG. Tahun (2025) ini nilai impor LPG diperkirakan mencapai Rp 66 trilyun.
Pemerintah (dan daerah) perlu segera mem-fasiltasi distribusi bahan bakar ramah lingkungan. Diantaranya melalui pembangunan infratsruktur jaringan gas (jargas). Saluran pipa jaringan gas rumah tangga, hingga kini masih dinikmati keluarga menengah ke atas, dan industri. Sedangkan rumah tangga berpenghasilan rendah, harus membeli gas tabung yang harganya lebih mahal.
Berdasar data BPS, jumlah penduduk Jawa Timur pada tahun 2024, sebanyak 41,150 juta jiwa. Terangkum dalam 9,7 juta rumahtangga (dengan asumsi setiap rumahtangga terdiri dari 4,24 orang). Sedangkan asumsi keluarga miskin sekitar 9,8% dari total rumahtangga. Maka terdapat sekitar 951 ribu rumah tangga miskin, yang patut di-prioritas-kan memperoleh gas.
Realitanya sampai Agustus 2021, jumlah sambungan rumah (SR) pipa gas lingkup nasional, mencapai 848.097 jargas, tersebar di 17 propinsi. Di Jawa Timur masih mencapai sekitar 42.054. Sambungan jargas tersebar di beberapa wilayah, di antaranya Surabaya, Sidoarjo-Mojokerto, Pasuruan-Probolinggo, dan Bojonegoro. Seluruhnya rumah tangga kalangan menengah perkotaan, dan industri. Serta sekitar 2 ribu pelanggan UMKM.
Maka pemerintah patut me-masal-kan penggunaan jaringan pipa gas (jargas) rumah tangga. Jargas juga telah memiliki payung hukum ke-segera-an melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 tahun 2019 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Gas Bumi Melalui Jaringan Transmisi dan/atau Distribusi Gas Bumi untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil. Pembangunan jaringan gas bumi untuk rumahtangga, bisa mengurangi penggunaan tabung gas “melon,” sekaligus mengurangi subsidi impor gas.
–——————- *** ———————-