Oleh :
Akhmad Faishal
Pengelola Perpustakaan SMAN 15 Surabaya dan Pengajar Freelance Sosio-Sejarah di PT. Kreasi Edulab Indonesia
Ada kenyataan dibalik unjuk rasa yang terjadi di beberapa daerah lantas berujung pada situasi kerusuhan dan tindakan anarkis, yakni kemampuan literasi yang minim.
Baik dari beberapa kelompok yang merusak fasilitas umum dan penjarahan, anggota DPR, juga Bupati, semuanya memiliki literasi yang minim. Hal itu didasarkan pada tidak ada satu pun buku bacaan yang mengizinkan atau memperbolehkan melakukan tindakan tercela semacam itu.
Kita memang tidak dapat mengelak peristiwa itu yang disebabkan oleh kebijakan efisiensi oleh pemerintah pusat. Kebijakan yang lantas direspon oleh Bupati Pati dengan langsung menaikkan pajak sebesar 250 persen. Dan itu tanpa ada kajian apapun. Artinya, landasan untuk menaikkan pajak semata-mata hanya dikarenakan kebijakan efisiensi itu. Padahal, argumentasinya lemah dan terlalu sederhana. Karena kemampuan literasinya lemah, ia menggunakan cara pragmatis untuk memenuhi kuota pendapatan daerahnya.
Begitu pula dengan sikap anggota DPR yang dinilai semena-mena dan tidak peka terhadap situasi dan kondisi sosial-ekonomi rakyat. Di tengah kebijakan efisiensi, paparan rincian pendapatan mereka yang tinggi menyundul langit itu menyebabkan rasa ketidakpuasan dari rakyat. Apalagi, kinerja mereka tengah mendapatkan sorotan tajam. Selain UU penting yang seharusnya mendapatkan perhatian terkesan justru diperlambat, hampir sebagian anggota DPR diisi oleh para pesohor dari kalangan artis. Itu artinya, bagi DPR suara rakyat jauh lebih penting untuk mendapatkan kursi daripada esensi suara itu untuk kepentingan bangsa.
Nah, sedangkan rakyat yang sebagian belum mendapatkan pendidikan yang sempurna, beberapa kelompok itulah yang mengambil tindakan terlalu jauh. Karena, kemampuan literasinya minim membuat mereka mengambil sikap dan pikiran pendek. Atas dasar rasa persaudaraan dan upaya untuk membalas kematian, mereka merusak apapun yang dirasa mampu saat melewatinya. Kondisi kota Surabaya sehari setelah kejadian meninggalnya Affan Kurniawan, pos polisi di sepanjang Jl. A. Yani habis dibakar sekelompok orang. Bahkan, cagar budaya pun tidak luput dari sasaran amuk massa. Sungguh tragis.
Kepekaan, toleransi dan kebijakan yang tepat hanya dapat diterapkan saat semua pihak itu memiliki kemampuan literasi tinggi. Agak mengherankan juga, disaat indeks Tingkat Gemar Membaca masyarakat kota Surabaya sangat tinggi mencapai 100 persen (berdasarkan BPS Jawa Timur), masih ada kelompok yang melakukan tindakan berlebihan semacam itu. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa ada jalan lain untuk menghukum tindakan pelaku? Apakah pelaku yang menjadi bagian dari lembaga kepolisian harus ada kaitannya dengan lembaga itu sendiri sehingga pos-pos polisi serta sebuah cagar budaya harus dibakar?
Setidakpuaskah kelompok itu terhadap institusi kepolisian sehingga harus berlebihan memberikan efek jera semacam itu?
Dan yang paling berbahaya dari tindakan semacam itu, yakni ternyata beberapa individu yang memiliki literasi minim adalah yang paling brutal dalam melakukannya. Tentu, diperlukan penangkapan atas tindakan yang masuk ke dalam golongan pelanggaran hukum itu. Nah, hanya saja penjara bukanlah tempat yang tepat dalam hal ini. Melainkan, perpustakaan adalah tempat yang paling tepat. Mengapa?
Kemampuan literasi didapatkan setelah individu melakukan kegiatan membaca. Dan kegiatan itu ternyata bukan kegiatan yang sepele. Berdasarkan sebuah penelitian dari suatu universitas di Inggris (mengutip detik.com) kegiatan membaca buku selama 6 menit mampu meredakan stress sebesar 68 persen dibandingkan berjalan-jalan, minum kopi atau teh dan bahkan lebih besar daripada mendengarkan musik. Selain itu, kegiatan membaca mampu meningkatkan empati berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Harvard pada tahun 2013. Dan, lebih daripada itu kemampuan membaca buku dapat meningkatkan kreativitas dan fleksibilitas dalam bertindak serta cepat dalam pengambilan keputusan dengan tepat. Itu berdasarkan penelitian dari seorang Psikolog asal universitas Toronto.
Jadi, dalam usaha meningkatkan literasi memang tidak dapat dilepaskan dari kegiatan membaca. Dalam konsep atau arti “membaca” yang dikemukakan oleh Febi Resci dan Zaka Hadikusuma, yakni sebuah proses seseorang dalam mensinstesis (menggabungkan ide), menganalisis (mengamati detail suatu hal), dan mencerna informasi secara menyeluruh dan komprehensif (journal of education, vol. 5, no. 4, Mei-Agustus 2023). Itu artinya membaca yaitu melakukan suatu hal yang kompleks. Tidak sekadar membuka halaman demi halaman, tetapi juga kemampuan berpikir dan menerapkan secara langsung apa yang didapatkan dari kumpulan lembaran kertas itu.
Inilah yang menjadikan literasi sebagai obat atas berbagai tindakan penyimpangan, termasuk kerusuhan dan tindakan anarkis.
Mereka akan mampu membedakan mana yang boleh dan tidak boleh, mana kebijakan yang menguntungkan masyarakat dan mana yang tidak. Kebijakan apa yang tidak bakal membuat kemarahan masyarakat meledak. Kesejahteraan rakyat yang didasari oleh kemampuan pihak berkepentingan dengan literasi tinggi bakal terjamin aman.
Maka, menjadi tepat bagi para perusuh itu dihukum dengan membaca 100 karya novel dalam negeri maupun luar negeri. Dengan harapan agar para pelaku tindakan anarkis itu dapat merubah sikap dan pemikiran sehingga kelak, apabila dipercaya menjadi sebuah pemimpin tidak melakukan apa yang pernah dilakukan pendahulunya.
Pada kejadian 1998 itu, dalam kacamata literasi, akan menjadi wajar dan dimaklumi oleh sebab hampir 30 tahun tidak ada perubahan sama sekali terkait dengan kepemimpinan di kursi presiden. Namun, yang terjadi pada peristiwa baru-baru ini dirasa bukanlah tindakan yang tepat kalau harus sampai merusak fasilitas umum serta cagar budaya, karena masih ada cara lain untuk meluapkan kekecewaan, seperti membuat panggung stand up comedy “Senyuman Terakhir Hidup Affan Kurniawan” dengan mengkritik kinerja lembaga yang dimaksud. Cara kreatif sebagaimana hasil sebuah penelitian yang telah dijelaskan diatas.
Namun, tidak menutup kemungkinan disaat seluruh jalur normatif dalam upaya mengkritik atau meluapkan kekecewaan ditutup, satu-satunya jalan memang menggunakan cara lama semacam itu. Hanya saja, sungguh masih banyak jalan dalam upaya semacam itu dengan landasan literasi sebagai pegangan.
Dengan literasi yang tinggi, Bupati suatu daerah tidak akan semena-mena mengeluarkan kebijakan yang semacam itu. Termasuk, DPR yang menjalankan fungsinya dengan baik. Serta, yang paling penting rakyat dengan kemampuan literasi minim agar dapat meningkat dengan jalan dipaksa membaca buku untuk merubah sikap dan pemikiran mereka. Dengan demikian, tindakan anarkis dan kerusuhan dapat dihindari.
————– *** ————–


