Di era digital yang kian berkembang pesat, keberadaan anak-anak bisa dipastikan tidak luput dari bahaya. Salah satunya adalah bahaya kekerasan yang dipicu dari media sosial dan internet. Kekerasan seksual tidak hanya terjadi secara fisik, namun juga terjadi ke ranah elektronik atau online. Kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) sendiri dapat didefinisikan sebagai tindakan melakukan perekaman dan atau mengambil gambar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau persetujuan orang yang menjadi objek perekaman.
Dari situ bisa diartikan bahwa KSBE berpotensi menjadi hantu di ruang digital. Dan, dampak yang ditimbulkannya pun bisa jangka panjang seperti merasa malu, hina, dan marah. Yang lebih parah lagi, mereka bisa mengalami gangguan kecemasan, depresi, dan post-traumatic stress disorder (PTSD). Hal itu, tentu perlu menjadi perhatian serius berbagai pihak untuk lindungi anak, dari lingkungan keluarga hingga sekolah.
Terlebih, berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dari 2019 hingga 2023 total kasus kekerasan pada anak terus mengalami peningkatan drastis. Sebanyak 4,256 kasus kekerasan seksual pada anak terdata sepanjang 1 Januari 2024 – 28 Juni 2024. Sementara sepanjang 2023, ada 10,932 kasus kekerasan seksual yang dialami anak Indonesia, dari total kasus tersebut, kekerasan seksual yang paling mendominasi. Misalnya pada 2023, berdasarkan bentuk kekerasan yang dialami korban, ada 10.932 kasus kekerasan seksual, 4.511 kekerasan psikis dan 4.410 kekerasan fisik.
Masih dari data Simfoni PPA, tren yang sama juga terlihat pada enam bulan pertama 2024. Bentuk kekerasan seksual mendominasi setengah dari kasus terdata yakni 4.256 kasus kekerasan seksual, 1.708 kasus kekerasan psikis, dan 1.642 kekerasan fisik. Itu artinya, kekerasan seksual pada anak meski urgent terperhatikan oleh semua pihak. Dari pemerintah sendiri tentu harus bertanggung jawab atas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan sepertiga penduduk Indonesia dari KSBE. Begitu pula, saatnya masyarakat dan keluarga juga harus bergandeng tangan untuk bisa memastikan jangan sampai ada anak menjadi korban kekerasan seksual, sekalipun itu dari KSBE.
Masyhud
Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Malang