Oleh :
Saiful Bahri
Mahasiswa Fakultas hukum universitas Muhammadiyah Surabaya ; Sekretaris bidang RPK IMM Yustisia universitas Muhammadiyah Surabaya
Akhir-akhir ini, berbagai lapisan masyarakat Indonesia turun ke jalan untuk menggelar aksi demonstrasi bertajuk “Indonesia Gelap.” Langkah tersebut dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap meresahkan. Gelombang protes ini menjadi bukti kuat bahwa tujuan negara belum sepenuhnya tercapai. Kondisi ini harus mendapat perhatian serius dari para pejabat negara, mengingat kesejahteraan rakyat Indonesia adalah tanggung jawab mereka.
Melansir dari Tempo.co, terdapat sejumlah tuntutan yang diajukan oleh elemen mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). Salah satu tuntutan utama mereka adalah mengadili mantan Presiden Indonesia ketujuh, Joko Widodo, yang dianggap telah banyak terlibat dalam berbagai kasus kenegaraan. Selain itu, mereka juga menuntut pencabutan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, transparansi dalam pembangunan, evaluasi program makan bergizi gratis, penolakan revisi Undang-Undang Minerba, penolakan dwifungsi militer, serta pengesahan RUU Perampasan Aset.
Aksi demonstrasi bukan hanya terjadi pada era pemerintahan Prabowo-Gibran, tetapi juga telah menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Salah satu demonstrasi paling bersejarah terjadi pada tahun 1998, ketika rezim Orde Baru mendapat perlawanan besar dari rakyat. Pada saat itu, banyak nyawa melayang dan para aktivis hilang tanpa jejak demi memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Puncaknya, demonstrasi tersebut berhasil menekan Soeharto hingga akhirnya mundur dari jabatannya sebagai presiden setelah lebih dari tiga dekade berkuasa.
Keberhasilan aksi demonstrasi pada tahun 1998 menjadi momentum krusial bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa perjuangan atau perlawanan yang terus digemakan dapat berujung pada pencapaian yang signifikan, meskipun harus dibayar dengan darah dan nyawa. Kondisi serupa masih terus berlangsung hingga kini, dengan rakyat yang tetap gigih menyuarakan aspirasi mereka terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan.
Kritik terhadap pemerintah tidak hanya disampaikan melalui demonstrasi di jalan, tetapi juga melalui berbagai diskusi akademik dan pernyataan para pakar. Salah satunya adalah Feri Amsari, pakar hukum tata negara, yang dalam suatu siaran televisi menyampaikan bahwa Jokowi perlu segera diadili. Ia menilai banyak kasus yang melibatkan mantan presiden tersebut sudah jelas di hadapan publik, tetapi tidak mendapatkan sanksi hukum yang tegas. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa kritik terhadap pemerintahan akan berhenti jika seluruh koruptor, termasuk yang berada di lingkungan pemerintahan, diadili dengan adil.
Selain itu, Radius Setiyawan, seorang pakar Cultural Studies dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, turut mengkritik kondisi negara saat ini. Ia menyoroti isu tagar #KaburAjaDulu yang mencerminkan kekecewaan, khususnya di kalangan Gen Z, terhadap kebijakan publik. Menurutnya, tagar tersebut menggambarkan betapa kompleksnya permasalahan yang dihadapi negara, sehingga berdampak luas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Realitas di lapangan, seperti aksi demonstrasi yang terus berlangsung di berbagai daerah, menunjukkan bahwa pemerintahan belum sepenuhnya berhasil menjalankan amanahnya sebagai pelayan rakyat. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab pemerintah untuk merespons kritik dengan kebijakan yang lebih transparan, adil, dan berpihak kepada kesejahteraan masyarakat. Tanpa adanya tindakan nyata, protes dan kritik dari rakyat akan terus bergema, sebagaimana yang telah terjadi sepanjang sejarah bangsa ini.
Melihat kondisi negara saat ini, betapa mirisnya kehidupan warga negara yang seakan belum merdeka sepenuhnya. Hak-hak mereka masih sering dibatasi, seolah-olah dijajah oleh kebijakan pemerintahnya sendiri. Banyak kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat, menyebabkan keresahan yang terus berlanjut. Kebebasan berekspresi pun kerap kali dicegat, membuat masyarakat semakin sulit menyuarakan pendapat mereka.
Artikel ini juga dimuat sebagai bentuk kekecewaan dan kritikan kepada pemerintah. Penulis berharap tulisan ini dapat menjadi langkah kecil yang mendukung aksi teman-teman di jalan. Ada rasa dejavu terhadap peristiwa aksi 1998, meski penulis masih berusia muda kala itu dan tidak mengetahui secara pasti kondisinya. Namun, dalam hati penulis terbesit perasaan trauma, karena takut peristiwa hilangnya ratusan nyawa kembali terjadi.
Selain yang telah dipaparkan di atas, bagi penulis, yang paling penting untuk terus dikawal adalah peran pendidikan dalam keberlanjutan negara. Pendidikan adalah nyawa bagi setiap aspek kehidupan. Dengan pendidikan, kita dapat mengetahui mana yang hak dan mana yang bukan, serta dapat menentukan mana kebenaran dan mana kesalahan.
Dalam kepemimpinan Prabowo-Gibran, aspek pendidikan seakan tidak lagi menjadi prioritas utama. Seperti yang sudah diketahui bersama, dalam programnya, pendidikan hanya dijadikan sebagai prioritas pendukung. Sementara itu, program utama yang lebih diutamakan adalah makan bergizi gratis. Secara logika, hal tersebut sangat tidak relevan dengan kondisi negara saat ini. Pendidikan seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih besar, karena pendidikan yang kuat akan menciptakan generasi yang lebih cerdas dan kritis terhadap situasi bangsa.
Bahkan dalam proses penyaluran makan gratis, tidak ada yang betul-betul gratis. Jika ditelaah lebih dalam, kebijakan ini justru membawa konsekuensi lain bagi masyarakat. Banyak orang tua yang terkena PHK, pajak yang semakin tinggi, serta pemotongan anggaran di berbagai sektor lain. Kebijakan ini seolah hanya menjadi solusi jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan rakyat.
Terakhir, penulis ingin menegaskan kembali bahwa tulisan ini merupakan bentuk kritik terhadap pemerintahan yang membuat kebijakan tidak pro terhadap rakyat. Yang paling penting untuk dinarasikan adalah bahwa setiap lapisan masyarakat mempunyai cara tersendiri dalam memperbaiki sistem pemerintahan. Ada banyak langkah yang telah diikhtiarkan, mulai dari aksi turun ke jalan, memperbaiki karir politik, hingga mengekspresikan kritik melalui tulisan, seni lukis, musik, dan bentuk seni lainnya.
Dari sekian banyak langkah yang ada, dapat dibuktikan bahwa masyarakat tidak akan diam terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Meski para aktivis terdahulu sudah tiada, semangat perjuangan mereka tetap hidup. Seperti yang dikatakan Munir Said Thalib, “Aku akan tetap ada dan berlipat ganda.”
Demikianlah artikel ini ditulis, dengan harapan dapat menjadi media atau bentuk perjuangan terhadap kondisi negara saat ini. “Vox Populi, Vox Dei” – suara rakyat adalah suara Tuhan.
—————- *** ——————