Dalam empat bulan ke depan isu pemilihan kepala daerah (pilkada) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota makin menjadi isu paling menarik. Isu yang tidak hanya mengemuka di media-media arus utama, namun juga menghangatkan ruang percakapan media sosial dan percakapan luring sehari-hari.
Beberapa pekan terakhir, pergerakan partai politik di sejumlah daerah makin masif dan menunjukkan gejala desain politik mengukuhkan kekuasaan dengan cara mencegah kemunculan lebih dari satu pasangan calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah.
Meski demikian, ada juga pasangan calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah atau partai politik pendukung yang lebih memilih bertarung dengan pasangan calon/kandidat lain daripada bertarung dengan kotak kosong. Alasannya tak lain karena prestise, apalagi jika kotak kosong menjadi pemenang.
Desain politik mencegah kemunculan lebih dari satu pasangan calon kepada daerah-calon wakil kepala daerah harus dipahami sebagai desain dan praksis berpolitik yang tidak sehat, praksis berpolitik yang membunuh demokrasi.
Desain memunculkan kotak kosong dalam pilkada adalah praksis politik despotisme baru yang pelan tapi pasti menghancurkan demokrasi. Dalam konteks pilkada serentak pada akhir 2024, demokrasi akan pelan-pelan mati karena desain dan praksis politik yang memunculkan kotak kosong.
Praksis berpolitik memunculkan kotak kosong menunjukkan ada masalah sangat serius dalam proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Ini juga menunjukkan ada masalah serius dalam partisipasi politik.
Partai politik jamak malah mendukung calon kepala daerah yang terkuat-secara finansial dan dukungan politik-daripada menjalankan peran krusial sebagai agen demokrasi dengan memunculkan banyak kandidat kepala daerah.
Dalam buku New Despotism (2020), John Keane menyebut pada abad ke-21 muncul modus kekuasaan yang memanipulasi sistem politik dan institusi-termasuk memanipulasi regulasi dan norma-norma politik-demi mempertahankan dan memperlus kekuasaan tanpa melanggar norma-norma demokrasi secara terbuka.
Ini praktik yang sesungguhnya tidak berbeda dengan despotisme lama yang menggunakan cara-cara kekerasan dan represif. Inilah despotisme baru. Memunculkan kotak kosong dalam pilkada adalah bagian dari manipulasi tanpa melanggar norma-norma demokratis.
Kotak kosong menjadi alat menjaga status quo kekuasaan dengan cara memastikan tidak ada pasangan kandidat kepala daerah-wakil kepala daerah pesaing yang serius. Kemunculan kotak kosong di pilkada jelas menurunkan kualitas demokrasi, menurunkan tingkat partisipasi pemilih, dan memperkuat oligarki politik.
Mencegah kotak kosong, dalam konteks poilitik Indonesia saat ini yang memang “dikuasai” despotisme baru di tingkat nasional, menjadi jalan “idealis” dan jalan “sunyi” bagi partai-partai politik.
Partai politik yang memilih jalan ini layak diapresiasi. Regulasi pilkada harus direvisi untuk memberi kesempatan lebih luas dan inklusif bagi siapa saja berpartisipasi memilih dan dipilih sehingga strategi memunculkan kotak kosong menjadi sulit.
———— *** ————-