Oleh :
H. Irwan Setiawan
Anggota DPRD Jawa Timur Periode 2014 – 2019
Sebagai bagian dari visi Indonesia Emas 2045, pemerataan pembangunan selalu menjadi isu nasional yang sangat krusial dalam setiap periode pemerintahan. Pemerataan pembangunan menunjukkan sebuah gambaran ideal yaitu pembangunan yang inklusif dan merata di seluruh wilayah Indonesia, berkurangnya ketimpangan pendapatan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Terkait hal tersebut, Jawa Timur memiliki peran sangat strategis. Bisa diibaratkan, Jawa Timur merupakan sebuah kepingan puzzle penting dalam pembangunan nasional yang adil dan merata. Mengapa demikian?
Secara geografis, posisinya yang ada di sisi timur Jawa Dwipa menjadikan provinsi yang beribukota di Surabaya itu sebagai gateway (pintu gerbang) antara Pulau Jawa yang padat dengan kawasan timur Indonesia yang sedang dan terus bertumbuh. Selain itu, konektivitas infrastruktur serta kekuatan ekonomi masyarakat menjadikan Jawa Timur sebagai simpul penting masa depan nusantara.
Hanya saja, untuk mengoptimalkan peran stragis Jawa Timur sebagai gerbang baru nusantara, dibutuhkan pendekatan pembangunan yang tidak lagi bersifat sektoral dan birokratis semata. Perlu adanya pendekatan yang lebih holistik dan kolaboratif, sebagaimana digambarkan dalam teori Collaborative Governance (Ansell & Gash, 2007), yakni tata kelola yang mengintegrasikan berbagai stakeholder, baik itu pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan juga akademisi, dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan pembangunan.
Dalam perkembangannya, Jawa Timur memang mengalami kemajuan dalam hal pembangunan infrastruktur, seperti pengembangan tol Trans Jawa, Pelabuhan Tanjung Perak dan Teluk Lamong, hingga proyek Jalur Lintas Selatan (JLS) dan juga perluasan bandara. Yentunya hal ini bisa menjadi modal penting dalam menjalankan peran sebagai gerbang baru nusantara,
Kemajuan yang ada jelas layak diapresiasi. Meski demikian, untuk menjalani peran strategis sebagai gerbang baru nusantara, penguatan modal fisik tidaklah cukup. Modal sosial dan politik juga harus dibangun secara seimbang agar pembangunan tidak meninggalkan kelompok rentan dan wilayah tertinggal.
Dalam perspektif Regional Development Theory, sebagaimana dikemukakan oleh Myrdal (1957) dengan konsep cumulative causation, pembangunan akan cenderung terpusat di wilayah maju jika tidak ada intervensi yang adil. Terkait dengan konsep tersebut, ada tantangan besar untuk pemerintah provinsi Jawa Timur tentang bagaimana membangun kawasan tapal kuda, Madura, dan Mataraman agar bisa mencapai level kemajuan yang setara dengan kawasan metropolitan seperti Gerbangkertosusila.
Adanya tantangan yang tak bisa dikatakan ringan itu mendatangkan sebuah konsekuensi logis yang bernama kolaborasi. Sulit dinafikan adanya realita bahwa kompleksitas masalah pembangunan hari ini tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja.
Dalam beberapa kesempatan, Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur juga menekankan pentingnya penguatan kolaborasi dan juga inovasi dalam membangun provinsinya sebagai gerbang baru nusantara. Dengan demikian, wacana gerbang baru nusantara bukan sekadar gagasan bombastis yang lemah dalam pengimplementasiannya.
Berangkat dari kesadaran terebut, Pemerintah Provinsi Jawa Timur semestinya mampu menjalin kolaborasi dengan banyak pihak. Pemerintah daerah akan sangat sulit atau bahkan mustahil mampu mengatasi ketimpangan pembangunan tanpa melibatkan sektor swasta, perguruan tinggi, dan organisasi masyarakat sipil. Gagasan untuk berkolaborasi ini sejalan dengan prinsip kegotongroyongan yang relevan juga dengan teori Triple Helix (Etzkowitz & Leydesdorff, 2000). Teori tersebut menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, industri, dan akademisi dalam inovasi dan pembangunan daerah.
Selain mencerminkan asas kegotongroyongan, kolaborasi dalam pembangunan juga menjadi keharusan dalam demokrasi yang bersifat partisipatoris. Partisipasi publik adalah syarat utama untuk legitimasi kebijakan. Dalam banyak kasus, program pembangunan gagal karena minimnya pelibatan masyarakat sejak tahap perencanaan. Perlu ada keyakinan bahwa kebijakan yang lahir dari musyawarah dan dialog publik akan lebih efektif dan berkelanjutan. Tanpa ruang kolaboratif yang terbuka, demokrasi lokal hanya akan menjadi prosedural, bukan substantial.
Tak kalah pentingnya, kolaborasi menciptakan rasa memiliki (sense of belonging). Ketika masyarakat dilibatkan dalam pembangunan, maka mereka tidak hanya menjadi obyek, tetapi subyek yang turut menjaga dan merawat hasil pembangunan tersebut.
Dalam sebuah gerakan kolaboratif untuk memajukan Jawa Timur secara merata, partai politik juga memiliki peran sangat penting sebagai katalisator. Partai politik tidak bisa hanya bicara soal strategi meraih kekuasaan. Dalam negara demokrasi, partai politik merupakan jembatan penghubung antara rakyat dan pemerintah.
Sebagai motor penggerak dari partai politik, para kader yang berjuang melalui gerakan kepartaian harus bisa mengemban kepercayaan konstituen yang diberikan melalui proses demokratis bernama Pemilihan Umum. Rakyat, khususnya para konstituen, niscaya akan meminta komitmen para wakilnya untuk memperjuangkan anggaran pro kemaslahatan rakyat, memperkuat pengawasan, serta menginisiasi regulasi yang berpihak pada keadilan sosial.
Dengan memperkuat kolaborasi, Jawa Timur dapat mengambil peran sebagai gerbang di tengah pembangunan Nusantara. Kawasan seperti Probolinggo, Situbondo, Banyuwangi, hingga Sumenep harus terkoneksi secara logistik, ekonomi, dan teknologi dengan Surabaya dan kawasan industri sekitarnya. Di sisi lain, sektor pertanian, perikanan, dan UMKM juga harus naik kelas melalui dukungan riset, pembiayaan yang adil, dan transformasi digital. Semua ini tidak bisa dicapai tanpa kolaborasi lintas sektor yang terstruktur dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, harus disadari bahwa kolaborasi bukan sekadar strategi teknokratik, tetapi juga perwujudan dari nilai luhur bangsa ini yaitu gotong royong. Jawa Timur yang memiliki tradisi musyawarah dan kearifan lokal dapat menjadi model pembangunan berbasis kekuatan kolektif masyarakatnya. Harapan puncaknya, gerakan kolaboratif akan bisa membuat masyarakat Jawa Timur merasakan keadilan dalam pembangunan, lebih sejahtera dan bermartabat di tengah peran daerahnya sebagai gerbang baru nusantara.
————- *** —————–


