29 C
Sidoarjo
Friday, November 8, 2024
spot_img

Kita Semua Pernah Berdosa

Judul : Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong
Penulis : Eka Kurniawan
Halaman : 148 hlm
ISBN : 978-602-06-7385-1
Cetakan I : 2024
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Peresensi : Amir Rifa’I
Staf Pengajar AIK dan Penikmat Novel

“Seekor anjinglah yang mengubah rencanaku untuk mencuri kembali sebutir apel. Mungkin aku akan tetap mencur? sekali dua kali di masa depan, demi keadilan bagi diriku sendiri, tapi gara-gara seekor anjing kini aku memiliki gagasan yang lebih baik.”

“Berbuatlah sedikit dosa, Jamal,” kata Sato Reang kepada satu kawan sekelasnya. Jamal anak yang saleh, selalu sembahyang lima kali sehari, juga rajin mengaji. “Pahalamu sudah banyak. Bertumpuk-tumpuk. Tak akan habis dikurangi timbangan dosamu.”

Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong bercerita tentang seorang anak bernama Sato Reang yang memutuskan untuk meninggalkan jalan hidup sebagai anak saleh yang selama ini ditunjukkan oleh ayahnya. Potongan sinopsisnya berbunyi: “Ini kisah Sato Reang. Kadang ia demikian intim dengan dirinya, sehingga ini merupakan cerita tentang aku, tapi kali lain ia tercerabut, dan ini menjadi kisah tentang Sato Reang. Isi kepalanya riuh dan berisik, terutama sejak ia berumur tujuh tahun, ketika sang ayah berkata kepadanya, ‘Sudah saatnya kau menjadi anak saleh.'”

Buku dengan ketebalan 148 halaman terbit dalam edisi yang premium dengan kemasan hard cover berjaket yang materialnya dipilih sendiri oleh penulis. Selain itu, sampulnya juga dilapisi tekstur linen dengan finishing deboss karakter dari novel. Sampul berwarna pink cerah ini khusus didesain oleh seniman kenamaan asal Yogyakarta, Wulang Sunu. Untuk edisi hard cover ini hanya akan terbit selama tahun 2024 saja.

Berita Terkait :  Periode "Kritis" Sekolah

Dalam buku ini, Eka menokohkan satu karakter yang ia deskripsikan sangat dalam. Namanya Sato Reang. Buat orang Indramayu, dua kata itu sudah langsung bisa dimengerti. Sato, satoan yang berarti hewan. Reang yang berarti saya, aku. Sato Reang yang memiliki pemaknaan “aku ini binatang”.

Sato Reang, anak saleh yang kemudian jadi brutal ketika ayahnya meninggal, meninggalkan salat, minum anggur cap orang tua, membakar bioskop, mengencingi apel satu mobil sebagai pembalasan dendam, dan mengajak anak kiai untuk bersama-sama bermaksiat. Balas dendam kepada sang ayah yang setiap menjelang Subuh menggedor-gedor pintu kamar supaya Sato Reang bangun dan ikut ke Masjid Awu-Awu Langit untuk sembahyang.

Tekanan dari kebiasaan ini membuat Sato Reang merasa seakan kehilangan kebebasan. Namun, meskipun merasa tertekan, ia tetap berusaha keras untuk memenuhi keinginan ayahnya. Di masa kecilnya, Sato Reang sangat gemar bermain dengan teman-temannya. Saking asyiknya bermain sepak bola, ia kerap lupa waktu hingga melewatkan salat.

Hingga suatu hari, ayahnya melakukan sesuatu yang menjadi pelajaran berharga bagi Sato Reang agar tidak menentang perintah. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikirannya tentang mengapa orang dewasa memiliki aturan yang berbeda dari anak-anak. Banyak hal yang tidak menyenangkan harus ia lakukan demi memenuhi ekspektasi ayahnya.

“Apakah saat itu Sato Reang sudah menjadi anak saleh? Setelah dipikir-pikir dengan segala kelakuanku di masa kecil itu, jawabannya mungkin tidak Setidaknya sampai aku berumur tujuh tahun.”

Berita Terkait :  Percepat Pembentukan TPPK di Lingkungan Sekolah

“Orang tua memang semenggelikan itu. Mereka kerap menjawab sendiri segala permasalahan dengan apa pun yang menenangkan hati. Aku sendiri memang malas berterus-terang bahwa aku tak akan pernah lagi pergi sekolah. Aku malas bertemu dengan guru-guru yang akan mengingatkanku kepada Ayah, terutama akan mengatur hidupku perkara apa yang harus aku lakukan dan apa yang tidak. Sejujurnya aku malas bertemu dengan manusia lain, setidaknya di kota ini.”

Buku yang diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama ini menghadirkan sudut pandang yang unik tentang seorang bocah. Ada upaya pencarian jati diri yang ia alami. Ada persona lain dari dirinya yang ingin ia tunjukkan. Bahkan ada semacam “diri lain” yang berada di dalam jiwanya. Bertumbuh dan mengikuti perkataan orang dewasa bisa menjadi hal yang sangat sulit diikuti atau dipahami oleh seorang anak kecil. Sato Reang bagaikan representasi dunia anak-anak yang memiliki keraguan, pertanyaan, hingga tindakannya sendiri yang mungkin belum bisa dipahami orang dewasa.

Juga terdapat sentilan-sentilan terhadap orang dewasa dalam memperlakukan anak-anak. Serta bagaimana didikan orangtua memberi pengaruh yang sangat besar terhadap anak-anak. Bagaimanapun juga, seorang anak akan tumbuh dengan pengaruh didikan yang sangat signifikan dari orangtua.

Sang penulis buku, Eka, sebelumnya telah menulis beberapa buku diantaranya “Cantik Itu Luka (2016), Lelaki Harimau (2004), Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014), O (2016), atau dalam antologinya Kumpulan Budak Setan (2016)”. Kita yang membaca buku ini hanya akan menjumpai puncak konflik di delapan halaman terakhir. Setelah itu selesai. Episode kedegilan Sato Reang tidak seperti yang diperkiraan ketika pertama kali membaca buku ini. Penasaran? Yuk kita baca aja buku nya.

Berita Terkait :  Sengketa Tanah dan Metafora Tetumbuhan sebagai Penggerak Cerita

————- *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img