Dari Ladang Tembakau ke Tanah Suci
Pagi masih muda ketika matahari mulai menyibak kabut tipis di atas ladang tembakau Desa Ngasem, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro. Di antara deretan daun-daun hijau yang menjulang setinggi pinggang orang dewasa, tampak seorang lelaki paruh baya, mencabut gulma dengan tangan telanjang. Wajahnya legam terbakar matahari, namun senyumnya selalu tenang.
Oleh:
Achmad Basir, Kabupaten Bojonegoro
Ia adalah Mbah Tajam Panidin T, petani tembakau berusia 78 tahun yang dikenal karena satu hal luar biasa sudah tiga kali menginjakkan kaki ke tanah suci untuk menunaikan ibadah umroh.
Tak ada yang menyangka, dari ladang kecil miliknya yang bergantung pada musim dan cuaca, Mbah Tajam bisa menunaikan ibadah umrah sebanyak itu. Bersama sang istri, Suwarni Warkam Tarka (60), ia berangkat ke Makkah pada tahun 2018, 2019 dan 2025
” Kalau niatnya kuat, Allah pasti kasih jalan,” ujarnya dengan nada lirih, kemarin (30/7).
Menabung dari lahan yang luas lahan sekitar dua hektar dengan ditanami tiga ribu pohon tembakau yang ia garap tak seberapa luas, hanya cukup untuk menanam tembakau.Namun dari sanalah ia menghidupi keluarganya dengan empat anak dan membiayai sepritualnya.
Setiap musim panen, Mbah Tajam menyisihkan sebagian hasil jualannya.Tak ada rekening bank. Semua ditabung di rumah, disimpan rapi oleh istrinya.
“Kami hidup apa adanya. Sepeda tua masih bisa jalan, rumah kayu ini cukup buat berteduh. Yang penting bisa menabung buat akhirat,” kata Suwarni, sembari tersenyum.
Tidak ada renovasi rumah mewah, tidak ada pembelian barang elektronik baru. Baginya, sederhana bukan berarti kekurangan melainkan pilihan hidup.
Dari mimpi ke nyataan. Umrah pertama adalah Mimpi lama yang akhirnya terwujud di usia senja. Ia mendaftar melalui salah satu travel umrah. Meski belum fasih membaca arab, Mbah Tajam tetep semangat untuk belajar doa-doa umroh dari tetangga dan ustad kampung.
Ketika akhirnya kaki mereka menapak di pelataran Masjidil Haram, tangis haru tak terbendung.
“Rasanya seperti mimpi. Saya cuma petani. Tapi Allah izinkan saya sampai di sini,” ujarnya, dengan suara terbata bata.
Keberangkatannya yang kedua dan ketiga bukan karena kelebihan harta, melainkan sebagai bentuk rasa syukur atas panen yang melimpah dan kesehatan yang masih diberikan.
Inspirasi ditengah desa.Kisah hidup Mbah Tajam kini jadi cerita yang diturunkan dari mulut ke mulut didesa Ngasem.Ia bukan hanya panutan soal kerja keras, tapi juga simbol keteguhan niat dan hidup bersahaja.
Beberapa tetangga mulai meniru langkahnya menabung sedikit demi sedikit, menahan godaan belanja, dan bercita-cita pergi ke Tanah Suci meski hanya sebagai petani.
“Saya tidak mengejar dunia. Saya hanya ingin mati dalam keadaan husnul khotimah,” tutur Mbah Tajam, menatap ladangnya yang mulai menguning jelang panen.
Ketulusan yang menginspirasi. Tidak ada renovasi rumah mewah, tidak ada pembelian barang elektronik baru. Baginya, sederhana bukan berarti kekurangan melainkan pilihan hidup.
Di bawah terik matahari, di tengah aroma daun tembakau yang mengering, kehidupan Mbah Tajam terus berjalan seperti biasa. Namun di balik kesehariannya yang sederhana, ada ketulusan seorang hamba yang tak pernah lelah mengejar berkah.
Ia tak punya banyak, tapi cukup. Ia tak menuntut lebih, tapi selalu bersyukur. Dan dari tanah Bojonegoro yang jauh dari hiruk-pikuk kota, Mbah Tajam telah menunjukkan bahwa jalan menuju Tanah Suci terbuka bagi siapa saja asal niat, sabar, dan ikhlas menjadi bekal utamanya. [bas.gat]


