Oleh :
Maulidiva Arisia Putri
Mahasiswi Program Studi (Prodi) Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Implementasi kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% untuk barang mewah yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025, menjadi salah satu kebijakan perpajakan yang kontroversial di Indonesia.
Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga berpotensi mempengaruhi daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah dan bawah. Dalam konteks ini, penting untuk menganalisis keseimbangan antara kebutuhan pemerintah akan pendapatan dan dampaknya terhadap masyarakat.
Pemerintah Indonesia menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan penerimaan negara, terutama setelah dampak ekonomi dari pandemi COVID-19. Pandemi telah mengganggu berbagai sektor ekonomi, menyebabkan penurunan pendapatan pajak dan meningkatnya kebutuhan anggaran untuk program pemulihan. Dalam situasi ini, kebijakan perpajakan yang efektif menjadi sangat penting untuk mendukung pembangunan nasional. Dengan penerapan PPN 12% khusus untuk barang mewah, pemerintah berharap dapat mengumpulkan tambahan pendapatan sekitar Rp3,2 triliun. Namun, angka ini jauh lebih rendah dibandingkan potensi penerimaan jika PPN diterapkan secara lebih luas, yang diperkirakan mencapai Rp75 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada niat baik di balik kebijakan ini, hasilnya mungkin tidak sebanding dengan harapan.
Pemerintah berusaha merespons aspirasi masyarakat dengan tidak mengenakan PPN pada barang dan jasa kebutuhan pokok, seperti bahan makanan dan jasa pendidikan. Langkah ini menunjukkan upaya untuk melindungi daya beli masyarakat yang lebih rentan. Namun, keputusan untuk hanya mengenakan PPN pada barang mewah juga menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan efektivitas kebijakan perpajakan. Kenaikan tarif PPN menjadi 12% untuk barang mewah dapat berdampak signifikan pada psikologi konsumen. Meskipun hanya dikenakan pada barang-barang tertentu seperti mobil mewah dan kapal pesiar, kelas menengah dan bawah mungkin merasakan dampak psikologis dari kebijakan ini. Pengamat pajak mencatat bahwa meskipun orang kaya tidak akan terlalu terpengaruh oleh kenaikan pajak ini, mereka yang berpendapatan pas-pasan akan merasakan beban yang lebih berat.
Kebijakan ini juga menuai kritik karena dianggap diskriminatif. Beberapa pengamat berpendapat bahwa pengenaan PPN hanya pada barang mewah dapat menciptakan ketidakadilan di antara kelompok masyarakat. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat tumpang tindih dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), yang sudah ada sebelumnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kejelasan dan konsistensi dalam sistem perpajakan Indonesia. Bagi pelaku usaha, terutama di sektor barang mewah, penerapan PPN 12% dapat mempengaruhi strategi harga dan daya saing produk mereka. Kenaikan harga akibat pajak dapat membuat produk lokal kurang kompetitif dibandingkan dengan produk impor atau alternatif lainnya. Ini bisa berdampak negatif pada penjualan dan pertumbuhan bisnis di sektor tersebut.
Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah perlu melakukan sosialisasi yang efektif mengenai kebijakan PPN 12% agar masyarakat dan pelaku usaha memahami dengan jelas kategori barang yang dikenakan pajak serta tujuan dari kebijakan tersebut. Informasi yang transparan dapat membantu mengurangi kebingungan dan meningkatkan kepatuhan pajak. Selain itu, dialog terbuka antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat sangat penting untuk mengevaluasi dampak dari kebijakan ini secara berkala. Melibatkan berbagai pihak dalam proses pengambilan keputusan dapat menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Pemerintah juga perlu melakukan evaluasi berkala terhadap pelaksanaan PPN 12%. Dengan memantau dampaknya terhadap perekonomian dan daya beli masyarakat, pemerintah dapat melakukan penyesuaian jika diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tetap adil dan efektif. Pelaksanaan PPN 12% untuk barang mewah adalah langkah strategis pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara di tengah tantangan ekonomi yang kompleks. Namun, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap daya beli masyarakat secara keseluruhan.
Kebijakan perpajakan harus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa menambah beban bagi sektor-sektor yang lebih rentan. Dengan pendekatan yang tepat melalui sosialisasi yang jelas, dialog terbuka, dan evaluasi berkala diharapkan kebijakan ini dapat mencapai tujuan yang diinginkan tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat secara luas. Keseimbangan antara kebutuhan pendapatan negara dan perlindungan terhadap daya beli masyarakat akan menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan PPN 12% dalam jangka panjang. [*]