Oleh :
Pujiono
Direktur Pilar Pendidikan Rakyat
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 lahir dari darah, air mata, dan pengorbanan. Ia bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang untuk merebut kedaulatan dari penjajahan. Namun delapan dekade lebih setelah merdeka, bangsa ini seolah masih terjajah.
Bedanya, bukan oleh kolonialis asing, melainkan oleh pengkhianatan internal: para pejabat yang bersumpah suci atas nama Tuhan dan kitab suci untuk jujur serta bekerja demi kepentingan umum, namun dalam praktiknya menyelewengkan kekuasaan demi diri dan jaringannya. Inilah wajah nyata kemunafikan pejabat: beretorika luhur di hadapan publik, namun menodai sumpahnya dengan perilaku korup.
Fenomena ini bukan sekadar kelalaian moral. Ia adalah kemunafikan struktural yang meruntuhkan sendi kepercayaan rakyat. Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas mewajibkan Presiden dan Wakil Presiden bersumpah “akan memenuhi kewajiban dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.” Demikian pula pejabat lain, baik legislatif maupun eksekutif, diatur dalam undang-undang khusus untuk mengucapkan sumpah jabatan serupa. Namun realitas menunjukkan, sumpah ini kerap direduksi menjadi sekadar ritual. Harian Bhirawa pernah menegaskan, “Birokrasi pemerintahan… masih menjadi ‘kantung’ korupsi, walau sudah dilakukan sumpah jabatan, dan pakta integritas” (Harian Bhirawa, Jihad Berantas Korupsi).
Lebih jauh, fakta penindakan menunjukkan bahwa kemunafikan pejabat bukanlah kasus insidental, melainkan fenomena massif. KPK melaporkan telah menahan sekitar 3.200 orang dalam tiga tahun terakhir, termasuk lebih dari 200 bupati/walikota dan 26 gubernur (Harian Bhirawa, Jihad Berantas Korupsi). Secara hukum, perbuatan mereka jelas melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 3 UU Tipikor menyebutkan: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan… yang merugikan keuangan negara, dipidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun.”
Dengan demikian, kemunafikan pejabat bukan hanya persoalan etis, tetapi tindak pidana yang nyata merusak keuangan negara dan menyengsarakan rakyat. Harian Bhirawa juga menulis, “Praktik-praktik korupsi oleh pejabat publik memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengurangi dukungan terhadap demokrasi… membuat kebijakan publik kurang efektif dan adil, serta menyedot uang pembayar pajak” (Harian Bhirawa, Korupsi: Parameter Krisis Pembangunan). Ini membuktikan bahwa korupsi yang lahir dari kemunafikan pejabat telah menggerogoti demokrasi dan melemahkan substansi kemerdekaan itu sendiri.
Munafik berarti tidak konsisten antara ucapan dan perbuatan. Ketika pejabat berpidato tentang keadilan, transparansi, dan pelayanan publik, tetapi tangannya merogoh uang negara, maka ia bukan sekadar hipokrit, melainkan pengkhianat sumpah jabatan. Sumpah yang seharusnya menjadi ikatan moral dan hukum justru diperlakukan sebagai drama panggung politik. Inilah bentuk penjajahan baru-rakyat dikuasai bukan oleh bangsa asing, melainkan oleh pejabat munafik yang menyalahgunakan wewenang.
Kita perlu mengingat kembali bahwa kemerdekaan bangsa ini bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu menuju cita-cita keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat: “…untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…”. Bila pejabat terus menipu rakyat dengan kemunafikan, maka cita-cita luhur ini akan tetap menjadi retorika kosong.
Oleh karena itu, solusi tidak boleh berhenti pada seremonial sumpah jabatan atau pakta integritas. Perlu penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu, penerapan transparansi berbasis digital untuk mencegah penyalahgunaan anggaran, serta partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan cara ini, sumpah pejabat tidak lagi menjadi basa-basi, melainkan komitmen nyata yang ditegakkan hukum.
Akhirnya, mari kita renungkan: bangsa ini sudah merdeka dari penjajahan asing, tetapi belum sepenuhnya merdeka dari penjajahan internal berupa korupsi dan kemunafikan pejabat. Jika ingin menjaga martabat kemerdekaan, maka jihad terbesar bangsa ini adalah melawan korupsi dan menyingkap kemunafikan yang bersarang dalam tubuh birokrasi. Kemerdekaan sejati hanya bisa terwujud ketika sumpah pejabat tidak lagi menjadi drama panggung, melainkan ikatan suci yang benar-benar dijalankan demi rakyat dan tanah air.
————- *** —————-


