Perbincangan tentang tragedi pemecatan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari masih terus terjadi. Dalam forum-forum resmi atau sekadar obrolan di warung pemecatan Hasyim Asy’ari oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Rabu (3/7) menjadi puncak dari serangkaian sanksi yang pernah dijatuhkan terhadapnya masih terjadi. Realitas tersebut menandakan ada yang salah dalam mental dan integritas pemimpin lembaga penyelenggara pemilu itu.
Tindakan asusila Hasyim terhadap seorang anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda, yang berujung pemecatan dirinya, juga menjadi puncak dari serangkaian tindakan kontroversial yang dilakukan Hasyim.
Sejak mulai menjabat Ketua KPU pada 12 April 2022, Hasyim seperti tidak pernah lepas dari kontroversi. Sanksi dan peringatan yang dijatuhkan DKPP seperti tidak kunjung membuatnya jera.
Pada medio Mei 2024, dia dijatuhi sanksi peringatan oleh DKPP terkait dengan dugaan kebocoran data pemilih pada Sistem Informasi Data Pemilih atau Sidalih KPU RI pada 2023.
Sebelumnya, dia juga dijatuhi sanksi lantaran terbukti melanggar etik soal hubungannya dengan Ketua Umum Partai Republik Satu, Mischa Hasnaeni Moein, atau yang dikenal sebagai ‘Wanita Emas’.
Sanksi berikutnya dijatuhkan terkait dengan pencalonan mantan terpidana korupsi Irman Gusman sebagai calon sementara (DCS) DPD RI.
Peringatan keras juga didapatnya akibat melanggar kode etik terkait dengan proses pendaftaran capres-cawapres setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perubahan syarat batas usia peserta pilpres.
Pemecatan terhadap Hasyim dari kursi Ketua KPU bisa dibilang terlambat. Dengan berbagai pelanggaran berat yang sudah dilakukannya, semestinya DKPP sudah memecat Hasyim jauh-jauh hari. Pelanggaran yang dilakukannya berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap KPU.
Pemecatan Hasyim dan anggota KPU sebelumnya menjadi peringatan penting bagi proses rekrutmen baik komisioner KPU maupun pemimpin lembaga lainnya. Peringatan itu ialah betapa proses rekrutmen para calon pemimpin lembaga selama ini terlalu longgar, bahkan terkesan serampangan.
Padahal, proses seleksi di tingkat pansel ialah hulu untuk menyaring yang terbaik di antara yang terbaik. Bukan sebaliknya, proses seleksi calon pemimpin KPU dan lembaga-lembaga lain mengikuti jurus memilih yang mendingan di antara yang buruk-buruk.
Pemecatan Hasyim mesti jadi pintu bagi siapa pun yang diberi amanat menjadi pansel untuk mengakhiri itu semua. Pansel harus menyeleksi lebih ketat rekam jejak calon komisioner KPU. Bahkan juga calon pemimpin lembaga-lembaga strategis lainnya di negeri ini. Jika di hulu beres, setidaknya di hilir bakal beres. Jika yang dimasukkan di hulu sampah, di hilir akan menyengat bau busuk sampah pula.
Ke depan, calon anggota dan pemimpin lembaga-lembaga strategis harus dipastikan benar-benar berintegritas, memiliki kapasitas, fokus pada jabatan mereka, dan tahan terhadap godaan.
Di lain pihak, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk mencegah orang-orang bermasalah dapat lolos seleksi pansel untuk mengisi lembaga-lembaga negara. Ingat, seleksi pemimpin lembaga-lembaga strategis negara mempertaruhkan nasib bangsa ini.
Lakukan evaluasi menyeluruh proses rekrutmen capim dan komisioner lembaga-lembaga negara. Kalau tidak, distrust terhadap lembaga negara akan bermunculan dan merajalela.
———— 000 ————-