Oleh :
Pitrus Puspito
Adalah Guru Bahasa Indonesia dan Peneliti Independent di bidang bahasa dan sastra Indonesia. Ia menempuh pendidikan terakhir di Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Setiap orang tua selalu menginginkan anaknya berprestasi dan menjadi juara. Baik juara kelas, juara tingkat regional maupun nasional bahkan internasional. Para orang tua kemudian menyekolahkan anak mereka di sekolah yang terbaik dan memberi berbagai les tambahan sebagai penunjang prestasi anak mereka.
Namun tidak sedikit anak malah menjadi tertekan, depresi dan puncaknya membenci sekolah. Selain itu, jika anak selalu “dipaksa” untuk menjadi yang terbaik, mereka akan sulit menerima kegagalan. Mereka menganggap juara satu ialah prestasi yang mutlak, sehingga juara dua, juara tiga dan seterusnya tidak berarti lagi. Padahal dalam kehidupan kegagalan dan persaingan/ tantangan adalah keniscayaan yang harus dihadapi setiap individu.
Prestasi akademik erat kaitannya dengan kecerdasan yang mengandalkan logika atau pemikiran yang objektif. Faktor pendukung dari kecerdasan logika ini ialah faktor genetik, kualitas otak (artinya otak tidak mengalami kerusakan), gizi dan faktor biologis lainnya. Sebagai bekal hidup kecerdasan logika yang serba terukur dan serba pasti, tidak bisa diandalkan ketika menghadapi hidup yang penuh misteri dan ketidakpastian. Untuk menghadapi kehidupan yang kompleks, individu diharapkan memiliki berbagai kecerdasan, khususnya kecerdasan emosional ketika dihadapkan pada masalah dan kegagalan.
Secara komprehensif, tokoh pendidikan dan psikolog asal Amerika, Howard Gardner, menjelaskan bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan nyata. Menurut Gardner kecerdasan seorang manusia itu beragam (multiple intelligence) yaitu meliputi kecerdasan bahasa, kecerdasan matematika, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan bermusik, kecerdasan kinestetik atau gerak tubuh, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalistik atau kepekaan terhadap fenomena alam dan makhluk hidup.
Kecerdasan Emosional
Psikolog Amerika, Daniel Goleman mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional ialah kemampuan individu untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi tekanan dan frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati serta berdoa. Dari pengertian ini, kecerdasan emosional dapat diartikan sebagai kecerdasan mengenali diri sendiri, memahami orang lain dan menjalin relasi dengan Yang Maha Kuasa (kecerdasan spiritual).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Cut Maitrianti (2021), bahwa kecerdasan emosional merupakan gabungan antara kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal. Kecerdasan intrapersonal yaitu pemahaman terhadap diri sendiri yang meliputi kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri, menyadari suasana hati, mampu menumbuhkan motivasi diri dan dapat mengolah emosi dalam diri. Kecerdasan intrapersonal ini menunjang seorang individu dalam mengembangkan potensi-potensi di dalam dirinya.
Sedangkan kecerdasan interpersonal ialah kemampuan untuk merasakan dan membedakan suasana hati, motivasi dan perasaan orang lain. Manfaat dari kecerdasan interpersonal yaitu menumbuhkan rasa empati dan kepekaan dalam diri individu terhadap kebutuhan serta perasaan orang lain. Hal ini penting untuk menghormati perbedaan dan mewujudkan perdamaian dalam relasi sosial. Berbeda dengan kecerdasan logika, kecerdasan emosional dipengaruhi oleh pengalaman, pelatihan, faktor budaya dan lingkungan sosial, tempat individu itu tinggal.
Pendidikan di Era Digital
Pendidikan di era digital mengalami perubahan drastis, khususnya penggunaan teknologi dalam dunia pendidikan secara masif. Selain itu, pada era digital ini terdapat upaya untuk mengklasifikasikan setiap generasi yang didasarkan pada perkembangan teknologi yang mengiringi setiap generasi tersebut. Dalam sepuluh tahun terakhir, pengelompokkan seperti generasi Baby Boomer, X, Y, Z, Millenials, hingga generasi Alpha menjadi bahan diskusi di dalam masyarakat dan menarik untuk direnungkan khususnya oleh guru.
Guru semestinya memahami perkembangan ilmu psikologi pendidikan, termasuk jenis-jenis kecerdasan serta klasifikasi setiap generasi tersebut. Hal ini penting sebagai pertimbangan bagi guru dalam merancang pembelajaran. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek itu tujuan pembelajaran diharapkan dapat dicapai, terutama kaitannya dengan pengembangan kecerdasan-kecerdasan yang ada di setiap individu. Setiap individu memiliki berbagai potensi, kecerdasan umum, bakat khusus, tingkat kreativitas, dan cara belajar yang berbeda-beda.
Kecerdasan emosional sangat dibutuhkan dalam pendidikan di era digital saat ini. Pendidikan dapat menjadi penyeimbang dari banyaknya informasi yang diterima siswa baik melalui dunia nyata maupun dunia maya. Dengan kecerdasan emosional, siswa mampu mengolah emosinya dan menentukan sikapnya dalam menanggapi berbagai rangsangan dari luar. Selain itu, kecerdasan emosional juga akan membantu mengembangkan karakter setiap siswa dalam menyongsong masa depan mereka.
————- *** —————-