25 C
Sidoarjo
Tuesday, January 7, 2025
spot_img

Kado Berat Presiden Awal 2025

Oleh :
Oman Sukmana
Guru Besar FISIP, Ketua Prodi Doktor Sosiologi, dan Dosen Prodi Kesejahteraan Sosial, FISIP-UMM

Pada awal tahun 2025 ini, nampaknya pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan para pimpinan partai politik koalisi akan mendapatkan kado berat, yakni disibukkan dalam menghadapi kritikan dan sorotan terkait empat persoalan, yaitu: soal kebijakan kenaikan PPN 12%, soal wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD, soal wacana kebijakan pengampunan koruptor, dan soal “ancaman” video bukti skandal para pejabat Negara.

Pertama, Pemerintah Indonesia akan menerapkan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Memang kenaikan tarif PPN sebesar 12% dapat membawa dampak positif dimana berpotensi menambah pendapatan negara, yang dapat digunakan untuk membiayai program pembangunan dan pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, serta dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dalam jangka panjang.

Namun, kenaikan PPN dapat membebani konsumen, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, karena harga barang dan jasa akan naik. Kebijakan kenaikan tarif PPN sebesar 12% mendapat kritik signifikan dari berbagai elemen masyarakat, terutama terkait dampaknya terhadap daya beli rakyat. Banyak yang berpendapat bahwa di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi, kenaikan pajak ini justru akan membebani masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah dan menengah. Selain itu, kritik juga muncul dari kalangan ekonom yang mengkhawatirkan potensi inflasi yang lebih tinggi, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional. Banyak yang menyerukan perlunya pendekatan yang lebih hati-hati dan transparan dalam merumuskan kebijakan pajak, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat agar tidak menambah ketidakpuasan dan ketidakstabilan sosial.

Berita Terkait :  Profesor dan Kritik

Kedua, Wacana terkait kepala daerah (Gubernur, Buptai, Walikota) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat. Wacana tersebut kembali digulirkan Presiden Prabowo Subianto dengan dalih demi efisiensi anggaran. Menurut Presiden Prabowo, anggaran besar yang digunakan untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bisa dialihkan untuk memberi makan anak-anak hingga perbaikan sekolah. Sebenranya isu ini bukan hal baru dalam politik Indonesia karena gagasan serupa juga sempat mengemuka di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mendapat dukungan dari sejumlah tokoh politik, termasuk Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kala itu Bambang Soesatyo (Bamsoet).

Wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama karena dianggap mencederai prinsip demokrasi yang seharusnya melibatkan partisipasi langsung masyarakat. Banyak yang berpendapat bahwa pemilihan langsung memberikan kesempatan bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang mereka anggap paling layak dan memahami kebutuhan daerah. Dengan menyerahkan wewenang pemilihan kepada DPRD, ada kekhawatiran bahwa proses tersebut akan lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik elit dan partai, sehingga suara rakyat menjadi terpinggirkan. Selain itu, kritik juga muncul terkait potensi korupsi dan politik uang yang lebih besar, karena pemilihan melalui DPRD dapat memunculkan transaksi di balik layar antara calon pemimpin dan anggota dewan. Hal ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap sistem politik dan pemerintahan, serta mengurangi legitimasi pemimpin yang terpilih.

Berita Terkait :  Pilkada Bukan Sekadar Ajang Drama

Ketiga, Presiden Prabowo Subianto yang mewacanakan memberikan maaf kepada koruptor asal mengembalikan uang korupsi. Presiden Prabowo sebelumnya menyatakan akan memberi kesempatan kepada koruptor untuk bertobat asalkan mereka mengembalikan hasil curiannya kepada negara. Pernyataan ini disampaikan dalam pidatonya di Gedung Al-Azhar Conference Center, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pada pertengan Desember 2024 lalu.

Wacana Presiden Prabowo untuk memberikan pengampunan kepada para koruptor dengan syarat mengembalikan uang hasil korupsinya menimbulkan beragam reaksi di masyarakat. Di satu sisi, dukungan terhadap kebijakan ini muncul dari pandangan bahwa pengampunan dapat mendorong para pelaku korupsi untuk mengembalikan kerugian negara, sehingga bisa memperbaiki kondisi keuangan publik. Namun, di sisi lain, kritik tajam dilontarkan karena dianggap dapat memberikan sinyal yang salah, yaitu bahwa tindakan korupsi dapat dibenarkan asalkan ada pengembalian uang. Banyak yang khawatir bahwa kebijakan ini akan menciptakan preseden buruk, di mana para pelaku korupsi merasa leluasa untuk melakukan tindakan ilegal dengan harapan mendapatkan pengampunan di kemudian hari. Selain itu, wacana ini juga berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan integritas pemerintah, serta melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang sudah menjadi masalah serius di Indonesia.

Keempat, Dilansir dari sumber berita Tribunnews.com (edisi: Minggu, 29-12-2024), diberitakan bahwa Hasto Kristiyanto disebut bersiap melakukan serangan balik usai dirinya ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan kasus suap Harun Masiku oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Serangan balik itu berupa adanya sejumlah video mengenai skandal korupsi yang melibatkan pejabat negara era pemerintahan Jokowi.

Berita Terkait :  Bea Cukai, Dilema antara Penerimaan Negara dan Beban Konsumen

Jika bukti video mengenai skandal korupsi yang melibatkan pejabat negara era pemerintahan Jokowi terbukti benar, hal ini dapat menjadi ancaman serius bagi pemerintahan Presiden Prabowo. Korupsi yang melibatkan pejabat tinggi sebelumnya tidak hanya mencoreng citra pemerintah yang sedang berkuasa, tetapi juga dapat memicu ketidakpuasan masyarakat dan melemahkan legitimasi pemerintahan baru. Jika skandal tersebut terungkap, publik mungkin akan mempertanyakan komitmen Prabowo terhadap pemberantasan korupsi dan transparansi, yang merupakan isu krusial bagi banyak pemilih. Selain itu, potensi dampak hukum dan politik dari kasus ini bisa menyebabkan ketidakstabilan dalam pemerintahan, serta mempersulit upaya Prabowo untuk membangun fondasi yang kuat bagi kepemimpinannya. Dengan demikian, penanganan yang tepat terhadap isu ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik dan stabilitas politik di Indonesia.

Inilah nampaknya kado dan ujian berat yang menjadi tantangan pemerintahan Presiden Prabowo di awal tahun 2025. Tentu saja pemerintah harus meresponsnya dengan serius dan sungguh-sungguh. Sebab tidak tidak direspons dan dikelola dengan baik, bisa berujung pada kehilangan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan memperdalam ketidakpuasan sosial di kalangan masyarakat…(*)

————- *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img