Suasana layanan di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Surabaya Karimunjawa
Angkatan kerja produktif baik sektor formal dan informal mayoritas merupakan bagian dari sandwich generation. Implikasinya, ketika kehilangan pekerjaan baik karena PHK maupun faktor lain maka akan berdampak pada nasib generasi yang menjadi tanggung jawabnya bahkan diprediksi angka kemiskinan akan terjun bebas. Namun, risiko ini akan bisa diminimalisir ketika kepesertaan jaminan sosial sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat utamanya kalangan pekerja.
Wahyu Kuncoro, Wartawan Harian Bhirawa
Surabaya, Bhirawa.
Pakar ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr Wisnu Wibowo menjelaskan istilah sandwich generation kali pertama diperkenalkan pada 1981 oleh profesor sekaligus direktur praktikum University Kentucky, Lexington, Amerika Serikat, Dorothy A. Miller. Generasi sandwich merupakan generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup tiga generasi yaitu orang tuanya, diri sendiri, dan anaknya.
“Kondisi tersebut dianalogikan seperti sandwich, di mana sepotong daging terhimpit oleh dua buah roti. Roti tersebut diibaratkan sebagai orang tua (generasi atas) dan anak (generasi bawah), sedangkan isi utama sandwich berupa daging, mayone, dan saus yang terhimpit oleh roti diibaratkan bagai diri sendiri,” jelas Wisnu di Kampus Unair, Kamis (14/11).
Dengan demikian, lanjut Wisnu, orang-orang yang termasuk dalam generasi sandwich maksudnya yaitu generasi yang tidak hanya mengurus diri dan pasangan sendiri. Lebih dari itu, mereka juga turut menanggung beban generasi sebelum dan sesudahnya. Posisi yang berada di antara dua generasi itulah yang kemudian membuat seseorang diibaratkan seperti sandwich.
Menurut Wisnu, status generasi sandwich membuat seseorang memiliki jumlah tanggungan keluarga yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan non-generasi sandwich. Inilah salah satu dampak generasi sandwich. Pasalnya, jumlah tanggungan keluarga yang lebih banyak tersebut menyebabkan generasi sandwich memiliki kewajiban finansial yang cenderung lebih tinggi dan proporsi waktu luang yang lebih sedikit dibanding non-generasi sandwich.
Wisnu menilai fenomena generasi sandwich itu merupakan permasalahan yang kompleks. Bukan hanya dari sisi ekonomi, namun juga sisi sosial budaya. Ditambah, di Indonesia menjunjung erat kekeluargaan dan adat ketimuran yang mana seorang anak memiliki kewajiban membiayai orang tua. Selain itu, penyebab banyaknya generasi sandwich karena masyarakat Indonesia terjebak dalam middle income trap. Middle income trap adalah suatu kondisi ekonomi yang menyebabkan suatu masyarakat tidak dapat meningkatkan tingkatan ekonomi atas.
Dalam hal itu, Wisnu menekankan, fenomena itu menjadi tugas bersama untuk mengupayakan masyarakat middle income trap untuk naik pada tingkatan high income. Dengan itu, setidaknya dapat mengurangi permasalahan ekonomi pada masyarakat.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jatim, Sigit Priyanto mengungkapkan bahwa berdasar data ada sebanyak 38 persen tenaga kerja di sektor formal merupakan bagian dari ‘generasi sandwich’.
“Generasi sandwich ini merujuk pada individu yang orang tuanya tidak pernah berpengalaman bekerja di sektor formal,” kata Sigit Priyanto di sela-sela acara Pameran Pelayanan Publik, Kamis (14/11/2024) di Grand City Surabaya.
Sigit juga menyebutkan jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap generasi tersebut, maka akan berpotensi menimbulkan kemiskinan secara massal. Selain itu, menurut Sigit Priyanto, konsekuensi dari fenomena ini adalah beban yang harus ditanggung oleh generasi tersebut dari dua arah, yaitu dari arah atas dan bawah, sebagaimana diibaratkan seperti sebuah sandwich.
“Mereka terjebak dalam situasi dimana mereka harus merawat orang tua dan juga menghadapi tanggung jawab terhadap anak-anak atau keluarga mereka sendiri,” ungkapnya.
Apabila generasi sandwich terkena PHK, kondisinya akan semakin parah apabila mereka tidak memiliki keterampilan yang cukup baik. Itu lantaran PHK dapat mengakibatkan penurunan ekonomi yang signifikan ketika mereka kehilangan pekerjaan.
Menurutnya, bila sampai terjadi PHK dan menganggur, maka yang menanggung bukan hanya yang terkena PHK, tetapi kakek/nenek, ayah/ibu, anak, istri/suami jadi miskin. Pemerintah juga telah memiliki lima skema jaminan sosial untuk angkatan kerja dan buruh. Lima skema tersebut yakni jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pensiun, jaminan hari pensiun, dan jaminan kehilangan pekerjaan.
“Mestinya dengan lima jaminan ini buruh pekerja bisa hidup lebih baik lebih nyaman tidak perlu khawatir masa depannya. Hanya kita memang berupaya keras supaya keanggotaan tenaga kerja kita yang sejauh ini masih di sektor formal, bisa kita perluas ke sektor informal,” ucapnya.
Sigit Priyanto juga mengungkapkan pentingnya perhatian, pengembangan keterampilan dan pemberian pelatihan kepada generasi sandwich. Pembekalan tersebut bertujuan agar mereka mampu bersaing di pasar kerja, mengurangi risiko kemiskinan yang berlebihan, serta mendukung penguatan ekonomi negara.
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah BPJS Ketenagakerjaan Jawa Timur, Hadi Purnomo mengatakan, perlindungan BPJS Ketenagakerjaan bagi para pekerja sebagai wujud kehadiran negara dalam melindungi para pekerja. Oleh karena itu pihaknya selalu mendorong agar para pekerja formal ataupun pelaku UMKM untuk ikut program jaminan ketenagakerjaan.
Menurut Hadi purnomo, ada lima program yang yang akan diterapkan untuk bisa menjamin para pekerja sektor UMKM. Masing-masing meliputi, program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Oleh karena itu, Hadi Purnomo mengingatkan perusahaan untuk mendaftarkan pekerjanya menjadi anggota BPJS.
“BPJS Ketenagakerjaan menyediakan layanan kesehatan bagi pekerja. Melalui klinik, puskesmas, dan rumah sakit, pekerja dapat mengakses pelayanan kesehatan terkait kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja,” kata Hadi.
BPJS Ketenagakerjaan juga mempunyai program Return to Work (RTW) membantu pekerja kembali bekerja. Program ini menawarkan pendampingan, pelatihan vokasi, dan biaya transportasi selama proses rehabilitasi.
Tujuan program ini, jelas Hadi adalah untuk mengurangi dampak kecelakaan kerja. Dengan demikian, pekerja dapat beradaptasi dengan lebih baik setelah mengalami cedera.
“Manfaat jaminan kesehatan mencakup pelayanan medis lengkap. Ini termasuk perawatan homecare bagi peserta yang tidak dapat berobat ke rumah sakit,” ujarnya.
Selain itu, peserta juga menerima santunan uang dan biaya transportasi. Santunan ini membantu meringankan beban finansial akibat kehilangan pekerjaan.
Urgensi Jaminan Sosial
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida) Provinsi Jawa Timur Dr Himawan Estu Subagyo mengatakan, pemerintah sebenarnya telah menyiapkan beberapa solusi terkait generasi sandwich, diantaranya masalah jaminan sosial baik untuk kesehatan dan ketenagakerjaan.
Menurut Himawan, dalam jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan misalnya memberikan kesejahteraan bagi pekerja saat masa produktif dan pada saat hari tua (Lansia). Jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan tersebut, menurut dia, di antaranya meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian, Jaminan Pensiun, Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
“Data BPS, hanya 15 persen Lansia di Indonesia yang memiliki tabungan. Dan itu hanya pegawai negeri sipil (PNS),” ujarnya.
Ia berharap dengan jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan bisa mengikis jumlah generasi sandwich. Sebab, pekerja di masa lansia memiliki tabungan akan tetap sejahtera dan anak-anak mereka juga sejahtera dengan jaminan sosial BPJS
Tak lupa, Himawan mengimbau para anak muda yang dalam usia produktif serta telah memiliki penghasilan untuk melek akan manajemen finansial. Dengan manajemen finansial yang tepat dapat memutus tali generasi sandwich untuk generasi-generasi selanjutnya.
“Ibaratnya, hidup manusia itu seperti parabola. Pada saat usia produktif mungkin kita masih kuat dalam mendapat penghasilan secara optimal. Namun, seiring berjalannya waktu tidak akan sekuat saat usia produktif. Alhasil, penghasilan yang didapat tidak sestabil saat produktif serta ditambah biaya hidup semakin tinggi,” tambahnya. (why.hel)