Nganjuk, Bhirawa
Setiap kali roda proyek besar bergulir jalan kabupaten di Nganjuk selalu jadi korban. Tahun 2018 silam, lebih dari 300 kilometer jalan di 41 titik rusak berat akibat lintasan kendaraan proyek Tol Trans Jawa. Warga mengeluh, sopir truk berlalu lalang dan pemerintah sibuk menambal aspal.
Kini, tujuh tahun berselang, cerita lama terulang kembali, hanya beda pelakunya. Kali ini bukan proyek tol, melainkan konvoi dump truk tambang galian C yang membawa tanah urug padas atau batu dan mengguncang ruas Jl Imam Bonjol dan Jl Mastrip, dua ruas utama jalan perkotaan yang kembali retak di bawah beban industri.
Berdasarkan Keputusan Bupati Nganjuk Nomor 100.3.3.2/463/K/411.013/2025, kedua ruas itu resmi berstatus jalan kabupaten. Keputusan tertanggal 8 Agustus 2025 ini mencabut aturan lama, dan mempertegas kewenangan Dinas PUPR Bidang Bina Marga atas perawatan dan pengawasan ruas jalan tersebut.
”Artinya, ketika jalan rusak, Pemkab Nganjuk wajib memperbaikinya. Namun ketika kerusakan disebabkan oleh kendaraan tambang bermuatan lebih, pengusaha tambang wajib ikut bertanggung jawab,” ungkap Pujiono, Direktur Edu Politik, pada Jumat (31/10), saat ngopi di punggir Jl Imam Bonjol sambil melihat konvoi dump truk membawa galian C tertutup terpal seadanya, menebar debu padas.
Pujiono menjelaskan, hal ini di atur tegas dalam Pasal 63 UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, yang menyebut pengguna jalan bermuatan berlebih harus menanggung biaya perbaikan. Namun hingga kini, tak ada satu pun regulasi turunan seperti Peraturan Bupati tentang kompensasi jalan tambang di Nganjuk. Akibatnya, kerusakan jalan tetap di tutup dengan uang rakyat, bukan uang pelaku usaha industri atau tambang.
Tahun 2026 mendatang dengan semangat efisiensi nasional. Pemerintah pusat menurunkan transfer ke daerah (TKD) untuk Kabupaten Nganjuk sebesar Rp275,32 miliar, bagian dari kebijakan realokasi belanja dan rasionalisasi fiskal. Artinya, ruang fiskal daerah makin sempit, sementara tanggung jawab infrastruktur tetap berat.
”Di tengah efisiensi itu, satu data dari Bapenda mengguncang, realisasi Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) pajak dari aktivitas tambang di tahun 2024 kemarin hanya mencapai 37,31% dari target. Target Rp1,5 miliar, sedangkan realisasi hanya Rp565.713.800,” ungkap pensiunan Bapenda.
Lebih dari Rp 900 juta potensi pajak hilang di tengah lalu lintas truk tambang yang saban hari melintas di jalan kabupaten. Pendapatan kecil, tapi kerusakan besar dan tetap tak sebanding. Sementara penghasilan pajak daerah dari Proyek Strategis Nasional, seperti jalan tol trans Jawa (Moker), Bendungan Semantok yang menguap entah kemana,” tambahnya.
Dalam situasi efisiensi seperti ini, setiap rupiah anggaran adalah ujian kedisiplinan tata kelola. Maka, pemerintah daerah tak boleh lagi reaktif menambal masalah lama, ia harus membangun sistem yang tahan beban.
”Dalam logika pemerintahan modern, antisipatif berarti melakukan pencegahan sebelum kerusakan terjadi menegakkan aturan kelas jalan, menata rute kendaraan berat, dan mewajibkan tambang memiliki jalur khusus. Represif berarti bertindak tegas ketika pelanggaran terjadi dengan menindak truk bermuatan lebih, memberi sanksi, bahkan mencabut izin rute bila perlu,” tegasnya. [dro.fen]


