Aroma (perpecahan sosial) ekses Pilkada serentak 2024, sudah mulai terasa. Bukan sekadar dialami partai politik (parpol), melainkan juga Ormas Keagamaan. Sejak awal tahun 2024 hingga hampir akhir tahun, akan menjadi tahun perhelatan panjang hajat politik. Usai Pemilu legislatif (Pileg) serentak bersama Pemilihan Presiden (Pilpres), kini segera akan disusul Pilkada serentak. Bakal digelar Pemilihan Gubernur di 37 propinsi, sertaPpemilihan Bupati di 415 kabupaten, dan 39 Pemilihan Walikota.
Pilkada Serentgak 2024, akan menjadi Pemilu paling seru di Indonesia. Hanya terdapat 6 wilayah kabupaten dan kota yang tidak perlu menyelenggarakan Pilkada Di seantero DKI Jakarta. Juga tanpa Pemilihan Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika 508 Kabupaten dan Kota yang menggelar Pilkada, masing-masing diikuti dua paslon, maka sudah terdapat 1.016 Paslon. Setiap kabupaten dan kota, akan dipenuhi gambar Paslon. Mulai dari papan perikalanan pada jalan protokol Tengah kota, sampai plengseng kali.
Perhetalan politik, selalu memiliki dampak sosial, yang tidak bisa dianggap sepela. Sehingga Pilkada serentak 2024, wajib diwaspadai. Bahkan saat ini telah terasa berbagai manuver parpol dan koalisi parpol. Sampai upaya “menjegal” seseorang tidak dapat mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah. Bahkan saat ini sudah semakin nyaring terdengan kelanjutan “jual-beli” parpol. Tidak murah, karena setiap parpol akan dihargai senilai jumlah kursi di DPRD (dan persentase suara pemilih) hasil Pileg 2024.
Parpol gurem (yang tidak memiliki DPR di Senayan), serta yang gagal memperoleh kursi DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten, dan DPRD Kota, juga bisa dibeli. Ironisnya, berfasar bisik-bisik politik, “jual-beli” parpol juga disertai semacam ruda-paksa. Jika tidak bisa dibeli, maka akan dihadapkan dengan aparat penegak hukum (APK). Terutama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), konon yang paling ditakuti segenap pimpinan parpol.
Pemilu Legislatif, Pilpres, dan Pilkada, merupakan amanat konstitusi. Diawali dalam UUD pasal 6A ayat (1). Dinyatakan, bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Begitu pula Pilkada, merupakan amanat konstitusi. Tercantum dalam UUD pasal 18 ayat (4), dinyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
Tahapan Pilkada akan sangat panjang, Meliputi pendaftaran calon pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Jumlahnya pasti ribuan, karena Pilkada akan diikuti 37 propinsi yang menyelenggarakan Pilgub (Pemilihan Gubernur). Ke-seru-an Pilkada, sudah terasa sejak awal, jauh sebelum diselenggarakan. Termasuk permintaan penundaan jadwal Pilkada Misalnya, oleh kalangan DPR-RI. Namun akan tetap diselenggarakan pada 27 November 2024.
Pilkada serentak diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga terhadap UU Pilkada. Berbagai perbedaan pandangan (dan dukungan) selama Pemilu, Pilpres, dan Pilkada, tak jarang, menyasar keyakinan (keagamaan) dan paradigma moralitas kehidupan. Terutama dalam proses kampanye, yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Peraturan tentang kampanye menjadi yang paling Panjang, diatur dalam Bab VIII, mulai pasal 267 hingga pasal 339. Terdiri dari 72 pasal, dan lebh dari 300 ayat.
Secara khusus terdapat larangan dalam Kampanye, tercantum dalam pasal 280. Diantaranya tidak boleh mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan UUD, dan melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI. Juga dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan peserta Pemilu. Segenap tokoh masyarakat tidak perlu “habis-habisan” mendukung pasangan calon dalam Pilkada. Begitu pula setiap Paslon, dan Tim Sukses, wajib menjaga keutuhan sosial nasional.
——— 000 ———