24 C
Sidoarjo
Monday, January 6, 2025
spot_img

Isu Etis Mengungkap Kondisi Kesehatan Presiden

Oleh:
Frida Kusumastuti
Dosen Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang

Menjelang Natal muncul cuitan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim di platform X, Senin (23/12) yang mengatakan batal bertemu dengan Presiden RI, Prabowo Subianto di Pulau Langkawi – Malaysia. Pertemuan yang sudah disepakati sebelumnya. Anwar Ibrahim mengatakan Prabowo menelpon langsung mengabarkan bahwa pertemuan ditunda dengan alasan sedang demam sepulang kunjungan Prabowo dari Mesir.

Cuitan Anwar Ibrahim mendapat reaksi berita meluas oleh media massa. Pihak istana membantah alasan ditundanya pertemuan Presiden RI dengan Perdana Menteri Malaysia. Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya mengatakan bahwa alasannya adalah ada pertemuan penting yang harus dihadiri Presiden RI di Jakarta pada 23/12. Rapat terbatas dengan sejumlah Menteri dalam rangka persiapan keamanan terkait datangnya Natal dan Tahun Baru.

Dua pernyataan yang membuat kening berkerut. Mengapa kondisi Kesehatan presiden begitu penting dipublikasikan sehingga menjadi berita media massa? Bagaimnaa mungkin kabinet melakukan bantahan atas alasan Presiden RI menunda pertemuan dengan PM Malaysia? Tulisan ini mengaji dari sisi etika komunikasi.

Pesan Kondisi Kesehatan Kepala Negara

Kepala Negara seperti Presiden adalah sosok penting dalam menjaga stabilitas sebuah negara. Setiap keputusan dan kebijakannya akan menentukan kehidupan ekonomi, keamanan negara, dan politik termasuk hubungan internasional. Keputusan dan kebijakan yang baik tentu ada hubungannya dengan kesehatan kognitif, mental, dan fisik seorang Kepala Negara. Oleh karena itulah kondisi kesehatan Kepala Negara perlu diketahui publik.

Berita Terkait :  Peran Guru Membangun Karakter di Era Digital

Publikasi Kesehatan Kepala Negara merupakan upaya transparansi negara kepada publik untuk memastikan bahwa keputusan dan kebijakan kepala negara benar-benar dilakukan dalam keadaan yang paling baik. Transpransi menimbulkan rasa percaya (trust) publik pada pemerintahan. Semacam laporan kepada publik jika Kepala Negara telah menjalankan test Kesehatan rutin adalah cara yang bagus untuk menunjukkan transpransi. Dan publik merasa tenang karena adanya prosedur disiplin dalam memantau kondisi kesehatan Kepala Negara.

Namun, bagaimana jika kondisi kesehatan sedang memburuk? Apakah publikasi kondisi kesehatan Kepala Negara yang memburuk bisa menurunkan kepercayaan? Dan apakah dengan menyembunyikan kondisi tersebut dari publik akan menjamin kepercayaan tetap ada?

Posisi Kepala Negara adalah pejabat publik, maka memang publik memiliki kepentingan atas informasi Kesehatan Kepala Negara. Hanya saja perlu batasan-batasan kondisi Kesehatan yang seperti apa yang sebaiknya dipublikasikan dan kondisi seperti apa yang tidak perlu ada publikasi. Bagaimanapun Kepala Negara juga memiliki wilayah privasi dalam hal ini. Pertimbangan martabat kemanusiaan, tidak semua kondisi kesehatan Kepala Negara perlu dipublikasikan. Terutama jika kondisi kesehatan itu tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas-tugas negara. Publikasi kondisi kesehatan yang kecil atau yang masih bisa ditangani cepat, bisa menimbulkan spekulasi yang tidak perlu dan mengalihkan perhatian pada isu-isu penting.

Jadi disisi satu menyembunyikan dan mempublikasikan kondisi Kesehatan Kepala Negara memang menimbulkan masalah etika. Jika tidak pas, maka bisa berpotensi menurunya rasa percaya (trust). Bahkan dalam hubungan internasional itu bisa memunculkan eskploitasi kerentanan stabilitas negara. Maka dalam hal ini Juru Istana perlu membuat rambu-rambu atau batasan, kondisi seperti apa yang perlu dipublikasikan dan yang tidak perlu dipublikasikan sehingga memudahkan tugas Juru Bicara Istana atau Kepresidenan.

Berita Terkait :  Fenomena Berpantun Dewasa ini

Peran Media Massa dan Citizen
Berita tentang kondisi Kesehatan kepala negara yang memburuk tentu akan memiliki nilai berita bagi media massa, tetapi media massa perlu menyadari peran pentingnya dalam melaporkan kondisi kesehatan Kepala Negara. Jurnalisme yang etis menuntut keseimbangan antara transparansi, penghormatan terhadap privasi, dan kestabilan politik sebuah negara.

Seperti halnya berita alasan Presiden RI menunda pertemuan dengan PM Malaysia. Penulis menyayangkan jika dari sebuah cuitan pejabat publik, tanpa liputan yang akurat sebelumnya lalu turun sebuah berita dengan sumber cuitan sepihak. Jurnalis harus menghindari sensasionalisme ataupun pelaporan yang memicu misinformasi. Keakuratan berbasis fakta adalah hal yang mutlak dalam laporan media massa.

Liputan hendaknya berfokus pada implikasi kesehatan Kepala Negara terhadap pemerintahan daripada terlibat dalam detail sensasional, sebab implikasi kesehatan itulah yang justeru diperlukan oleh publik. Mengingat isu kondisi Kesehatan Kepala Negara penting juga untuk hubungan internasional, hendaknya media massa memastikan bahwa pemerintah telah memberikan klarifikasi untuk mencegah pengaburan informasi yang disengaja, sebelum berita ditulis dan diturunkan.

Kompleksitas etika masalah publikasi Kesehatan Kepala Negara, diperlukan kebijakan yang jelas tentang batasan kondisi yang memang perlu diketahui publik dan yang tidak perlu. Tim medis harus punya rambu-rambu tingkat keparahan dan potensi dampak terhadap kepemimpinan nasional jika harus diungkapkan. Terakhir perlu adanya protokol komunikasi yang menjaga konsistensi dari sumber terpercaya untuk menghindari misinformasi.

Berita Terkait :  Manfaat Pajak untuk Pendidikan Inklusif

———— *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img