Oleh:
Ahmad Fatoni
Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Malang
Perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia memiliki akar sejarah yang membentang sejak abad ke-19. Tradisi yang bermula dari China sekitar abad ke-5 Masehi, itu mengalami transformasi dan adaptasi, namun tetap mempertahankan esensinya. Tahun ini, Imlek memasuki tahun ke 2576 Kongzili yang jatuh pada hari Rabu tanggal 29 Januari 2025.
Sejarawan ternama, Denys Lombard, mencatat bahwa perayaan Imlek sejak pertama kali diperkenalkan di Nusantara menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Kendati pernah menghadapi berbagai tantangan, termasuk perubahan kebijakan pemerintah, tradisi Imlek tetap lestari dan bahkan semakin kaya dengan pengaruh budaya lokal.
Akulturasi Budaya Tionghoa
Imlek tidak hanya sekadar perayaan tahun baru, tetapi juga menjadi momen penting untuk memperkuat ikatan keluarga, menghormati leluhur, dan merayakan keberagaman budaya di Indonesia. Pengaruh alkulturasi budaya etnis Tionghoa di Nusantara sudah melekat di kalangan masyarakat Nusantara sejak berabad-abad yang lalu. Mereka dari China yang dibawa oleh Belanda sebagai pekerja membawa pengaruh budaya peranakan Tionghoa di Indonesia cukup kental dan terasimilasi dengan budaya setempat.
Namun demikian, orang awam mengenal profesi masyarakat dari etnis Tionghoa di Indonesia sebagai pedagang atau pebisnis saja. Padahal banyak juga di antara mereka yang menjadi sastrawan, seniman, ilmuwan, pemusik, aktor film, penyanyi, pelawak, atau politisi. Begitu banyak kontribusi etnis Tionghoa di bidang pariwisata, karya sastra, peninggalan budaya material seperti bangunan lama, dangdut Mandarin, pop culture, budaya ngopi, perfilman, seni lawak (misalnya sosok Ateng), dan lain sebagainya. Tetapi, tidak banyak orang yang mengetahui keragaman profesi tesebut.
Banyak pula yang beranggapan secara serampangan bahwa etnis Tionghoa itu hanya sibuk mengurusi “cuan”. Padahal realitasnya tidak begitu. Hanya yang bergelut atau memiliki minat riset dan akademik di bidang studi sinologi saja yang memahaminya secara mendalam. Selebihnya, hanya sekilas belaka.
Dalam buku Tionghoa & Budaya Nusantara terbitan Nusantara Institute (2021) mencoba merekam jejak kebudayaan etnis Tionghoa di Nusantara yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas. Para penulis dalam buku ini memakai kata “Nusantara” sebab dulu, secara konseptual legal-formal, nama “Indonesia” belum “lahir”. Istilah “Nusantara” dan “Indonesia” secara bergantian walaupun teritori Nusantara dulu tidak sama persis dengan teritori Republik Indonesia.
Etnis Tionghoa tentu saja bukan satu-satunya “bangsa asing” yang memiliki peran penting bagi perkembangan kebudayaan Nusantara. Bangsa-bangsa asing lain seperti India, Persia, atau Arab juga layak untuk diapresiasi kontribusi mereka dalam sejarah dan perkembangan kebudayaan di Indonesia. Tentu saja, kontribusi penting atas kebudayaan Nusantara juga ditorehkan oleh berbagai suku-bangsa lokal di Indonesia; Jawa, Melayu, Sunda, Betawi, Batak, Minahasa, Dayak, Bali, Madura, Banjar, Ambon, Makassar, dan lain sebagainya
Sebuah kebudayaan bisa lahir, menyebar, berkembang, dan bahkan mengalami dinamika karena sejumlah faktor, baik faktor internal seperti invensi maupun inovasi dan eksternal seperti difusi dan akulturasi. Faktor lingkungan dan geo-kultural masyarakat juga turut mempengaruhi jalannya sebuah kebudayaan. Begitu pula, faktor agama dan politik tidak bisa diabaikan. Oleh sebab faktor-faktor itulah, maka sulit sekali untuk mendapatkan sebuah kebudayaan yang bersifat asli, orisinal, atau genuine.
Pesona Nusantara
Perlu digarisbawahi, sejak dahulu kala, Nusantara sangat mempesona. Kekayaan sumber daya alam dan kultural yang melimpah, sejarah dinasti yang begitu panjang dan berliku, karakter masyarakatnya yang unik, pelabuhan-pelabuhan yang ramai, semua mendorong bangsa asing untuk datang. Terlebih letaknya yang sangat strategis karena berada di persimpangan menjadi daya pikat tersendiri sekaligus merangsang para imigran, petualang, pelancong, pedagang atau bahkan pelarian politik dari berbagai kawasan.
Bukan hanya itu saja, pesona Nusantara juga mendorong berbagai rezim politik lokal untuk silih berganti saling berkompetisi dan berebut kekuasaan, teritori, dan populasi. Proses perjumpaan Nusantara dengan negeri-negeri seberang tersebut, termasuk China tentunya, membuat pertukaran kebudayaan di negeri ini tidak bisa terelakkan. Apa yang kini disebut sebagai “kebudayaan Nusantara” itu, baik tradisi, adat istiadat, bahasa, sistem kepercayaan, tata busana, atau ordo keagamaan tidak bisa dilepaskan dari proses pergumulan dan interaksi antara Nusantara dengan bangsa-bangsa lain, termasuk dengan negeri China.
Perjumpaan Nusantara-China itu kemudian mencapai puncaknya sekitar abad ke-13 Masehi hingga 17 Masehi sebelum VOC, sebuah perusahaan raksasa Belanda yang didirikan oleh Johan van Oldenbarnevelt pada tahun 1602, menancapkan hegemoni kekuasaan niaganya di kepulauan ini. Pada bentangan abad-abad ini, Nusantara memang menunjukkan eskalasi dinamika sosial-politik-kebudayaan yang sangat mengesankan yang, antara lain, ditandai dengan proses urbanisasi, kosmopolitanisasi, revolusi keagamaan, kebangkitan monarki maritim Islam sebelum runtuh pada abad ke-17 M serta tampilnya negara-negara kota yang cukup otonom di pesisir Nusantara (Jawa, Sumatera, Malaka, dan Maluku).
Penting untuk diketahui bahwa jejak kebudayaan etnis Tionghoa yang ditorehkan dalam sejarah kebudayaan Nusantara itu bukan hanya Tionghoa yang bercorak non-Islam (Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, atau non-agama), namun juga yang bercorak Islami yang diduga kuat diperkenalkan oleh komunitas Muslim Tionghoa.
Seiring lintasaan zaman, banyak penelitian yang merekam dokumentasi akademik jejak budaya etnis Tionghoa di Nusantara. Karya-karya riset itu sangat penting mengingat cukup banyak fakta keanekaragaman tradisi dan budaya kontemporer bangsa Indonesia di berbagai sektor yang senyatanya dipengaruhi oleh -atau diadaptasi dari– kebudayaan bangsa Tionghoa yang sudah eksis sejak lama.
Dengan sejarahnya yang beragam dan makna simbolis yang mendalam, perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia memiliki akar historis yang kaya dan dinamis. Tradisi ini menjadi dasar kuat untuk memperkokoh harmoni antar-etnis di tengah masyarakat yang multikultural. Perayaan Tahun Baru Imlek akan terus menjadi peristiwa yang merajut keberagaman dan memperkaya warisan budaya Indonesia.
————— *** ——————