Oleh:
Sukma Sahadewa
Pemerhati Kedokteran, Hukum & Politik
Suasana rumah sakit mestinya dipenuhi doa dan harapan. Namun di RSUD Sekayu, harapan itu pecah jadi amarah. Seorang dokter, yang semestinya menjadi penyembuh, justru terkapar sebagai korban penganiayaan. Potret ironis yang membuat kita bertanya: mengapa penyelamat nyawa masih harus mempertaruhkan nyawanya sendiri?
Kabar tragis ini bukan sekadar cerita kriminal biasa. Peristiwa tersebut membuka cermin besar bagi kita semua: betapa rapuhnya posisi dokter di negeri ini. Mereka diminta melayani sepenuh hati, menghadapi pasien dengan segala risiko, tapi sering kali dibiarkan tanpa perlindungan nyata. Celakanya, peristiwa itu datang di tengah perubahan regulasi besar-besaran setelah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran resmi dicabut, digantikan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang populer disebut omnibus law.
Secara hukum, kasus ini jelas tak bisa ditoleransi. Pasal 351 KUHP dengan tegas mengatur bahwa penganiayaan dapat dipidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, bahkan hingga lima tahun bila mengakibatkan luka berat, dan tujuh tahun bila menyebabkan kematian. Tak berhenti di sana, Pasal 355 KUHP memperberat ancaman pidana apabila penganiayaan dilakukan dengan rencana terlebih dahulu. Artinya, setiap tindakan kekerasan terhadap dokter memiliki konsekuensi hukum yang serius.
Selain itu, Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menyatakan bahwa tenaga medis berhak memperoleh perlindungan hukum. Sedangkan Pasal 190 ayat (1) menegaskan: setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan terhadap tenaga medis dapat dikenai sanksi pidana. Rumah sakit pun, menurut Pasal 29 ayat (2) huruf f UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit, berkewajiban menjamin keselamatan tenaga medisnya.
Namun kenyataan di lapangan sering kali jauh panggang dari api. Banyak kasus serupa berakhir dengan damai kekeluargaan, atau malah tenggelam begitu saja. Perlindungan hukum terasa sebatas jargon. Maka wajar bila muncul kesan: dokter bisa jadi korban tanpa jaminan keadilan.
Situasi ini kian runyam setelah omnibus law lahir. Dahulu, UU Praktik Kedokteran menyediakan mekanisme khusus melalui Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Majelis Kehormatan Disiplin. Kini, semua diintegrasikan ke dalam payung besar UU Kesehatan. Hasilnya, perlindungan profesi dokter terasa mengendur. Padahal profesi ini punya risiko unik, yang semestinya mendapat perhatian lebih. Bagaimana dokter bisa bekerja optimal bila rasa aman saja tidak dijamin?
Di lapangan, dokter menghadapi risiko ganda. Risiko medis, sekaligus risiko sosial. Pasien dan keluarga sering kali berharap kesembuhan absolut, seolah dokter adalah dewa penolong. Padahal ilmu kedokteran hanya berupaya, bukan menjamin hasil. Dalam kasus Sekayu, amarah keluarga pasien yang tak terbendung berujung pada kekerasan. Apa pun alasannya, tangan yang seharusnya menolong malah terangkat untuk melukai.
Fenomena ini bukan monopoli Indonesia. Di banyak negara, kekerasan terhadap tenaga kesehatan sudah lama menjadi perhatian serius. Buku “Violence Against Health Care Professionals” (Springer, 2019, editor Rajat Mitra) mencatat bahwa serangan terhadap dokter dan perawat semakin meningkat, terutama di negara berkembang, karena kombinasi tekanan sistem kesehatan, ekspektasi berlebih dari keluarga pasien, dan lemahnya regulasi perlindungan hukum. Laporan World Health Organization (WHO, 2022) bahkan menyebut lebih dari 60 persen tenaga kesehatan di dunia pernah mengalami kekerasan verbal atau fisik saat menjalankan tugas. Angka ini menegaskan bahwa dokter di ruang praktik bukan hanya berhadapan dengan penyakit pasien, tetapi juga dengan potensi ancaman terhadap keselamatan dirinya sendiri.
Bagi dunia kedokteran, kejadian seperti di Sekayu meninggalkan luka batin. Dokter bisa trauma, merasa takut, bahkan mengalami burnout. Lebih jauh, kasus semacam ini bisa membuat generasi muda berpikir ulang: apakah layak mengabdikan diri di daerah, bila keselamatan pun taruhannya?
Dari kacamata sosiologi, kejadian ini adalah cermin krisis kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan. Literasi kesehatan masih rendah. Banyak keluarga pasien belum memahami keterbatasan ilmu medis. Ketika ekspektasi tak sesuai realita, kekecewaan berubah menjadi amarah. Budaya emosional dalam menyikapi sakit dan kematian pun kerap membuat tenaga medis jadi kambing hitam. Ditambah lagi komunikasi yang timpang. Bahasa medis yang kaku sering kali tak bisa dicerna pasien, sehingga melahirkan salah paham.
Tak bisa dipungkiri, faktor struktural juga ikut memupuk konflik. Fasilitas di daerah yang terbatas, jumlah dokter yang minim, serta birokrasi rumah sakit yang lamban membuat ketegangan mudah meledak. Maka, penganiayaan dokter bukanlah kasus tunggal. Fenomena ini lahir dari krisis kepercayaan, ketimpangan komunikasi, dan lemahnya sistem pelayanan kesehatan kita.
Peristiwa di Sekayu harus jadi alarm keras. Negara tak boleh lagi lembek. Penegakan hukum harus tegas, agar ada efek jera. Rumah sakit juga perlu memperketat pengamanan. Tombol darurat di ruang kerja dokter, mekanisme mediasi cepat antara tenaga medis dan keluarga pasien, serta pelatihan manajemen konflik bisa jadi langkah konkret.
Para dokter pun perlu memperkuat kemampuan komunikasi. Empati dan bahasa sederhana kerap lebih menenangkan dibanding penjelasan medis yang panjang. Edukasi publik tentang keterbatasan ilmu kedokteran juga harus terus digencarkan. Di sisi lain, pemerintah wajib meninjau ulang desain perlindungan profesi dalam UU Kesehatan. Menyatukan aturan dokter ke dalam omnibus law tanpa detail yang memadai sama saja melepaskan mereka di medan perang tanpa perisai.
Akhirnya, kita harus sadar: penganiayaan dokter bukan sekadar masalah kriminal. Persoalan ini multidimensi, melibatkan hukum, kedokteran, dan sosiologi. Selama regulasi tak tegas, perlindungan belum nyata, dan literasi masyarakat masih rendah, kasus semacam ini akan terus berulang. Dokter hanyalah manusia biasa. Mereka juga ingin pulang dengan selamat setelah menyelamatkan orang lain.
————– *** ——————–


