Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan perbuatan meng-oplos beras, tergolong “haram yang berat.” Realitanya, masih banyak ditemukan di berbagai pasar tradisoonal, dan terutama pada pasar moderen. Selain percampuran dengan beras mutu rendah, juga takaran yang dikurangi. Kementerian Pertanian bersama Satgas Pangan Polri, berhasil membongkar kecurangan perdagangan beras. Selama beberapa tahun jaringan mafia pangan telah memalsukan kualitas beras dalam kemasan, sekaligus mengurangi takaran.
Oplos beras, merupakan perbuatan taghrir (menipu mutu, dan takaran). Sehingga tergolong “haram yang berat,” maka pemerintah wajib segera mengetahui, dan memberikan hukum yang setimpal. AlQuran dalam surat Al-Baqarah ayat 188, dinyatakan, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu.”
Frasa kata “jalan yang batil,” adalah cara yang tidak jujur, dan menipu. Sehingga dipastikan melanggar hukum. Bahkan kareba besarnya dampak oplosan dan pengurangan takaran, sampai AlQuran menyebut dua kali. Terdapat pula pada surat An-Nisa ayat 29. Isinya (secara redaksional) hampir sama persis dengan Al-Baqarah ayat 188. Serta secara khusus terdapat “sumpah” (bakal celaka karena di-adzab) untuk orang-orang yang mengurangi timbangan (takaran). Yakni, dalam Alquran surat Al-Muthaffifin, terutama ayat 1 hingga ke-6.
Kepolisian bersama Kejaksaan Agung sedang menyidik seksama perdagangan beras oplosan. Satgas Pengan Kementerian Pertanian, bersama Polri, menemukan sebanyak 212 merek beras oplosan beredar di 10 propinsi. Termasuk di Jawa Barat, dan Jawa Tengah, sebagai salahsatu penghasil beras kedua di bawah Jawa Timur. Kerugian rakyat (konsumen) ditanksir mencapai Rp 99,35 trilyun.
Bahkan sebenarnya, beras oplosan bisa dikategori korupsi. Karena seluruh tulisan yang tercantum dalam kemasan harus dipenuhi. Realitanya, mutu beras ditulis premium, tetapi isinya medium. Begitu pula berat kemasan 5 kilogram, tetapi isinya hanya sekitar 4,8 kilogram. Nyata-nyata penipuan berkait dengan larangan UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
UU Tipikor pasal 12, menyatakan, “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam … Pasal 420, … Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). ….” Pasal 420 KUHP mengatur tentang tindak pidana penipuan.
Ironisnya, beras oplosan yang disigi Satgas Pangan, melibatkan perusahaan besar beras dalam kemasan, yang selama ini menguasai tata niaga beras. Sebanyak 212 merek dari 268 (79%) memalsukan mutu, takaran, dan harga yang tidak sesuai HET (Harga Eceran Tertinggi). Tidak terkecuali yang diproduksi BUMD milik Pemprop DKI Jakarta, turut meng-oplos beras. Keterlibatan BMUD per-berasan DKI Jakarta, berkait program “Program Pangan Bersubsidi,” dengan kelas mutu premium.
Selama bertahun-tahun pemerintah tidak pernah melaksanakan pengawasan mutu, dan takaran dalam tata niaga Sembako. Berdasar sigi Satgas Pangan, takaran minyak goreng juga “dicuri.” Sehingga perlu menegakkan peraturan ke-benar-an mutu dan takaran timbangan, sesuai amanat UU Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal. Pada pasal 12, dinyatakan kewajiban tera, dan tera ulang terhadap alat ukur, takar, dan timbang beserta perlengkapannya.
Namun UU Metrologi Legal terasa tidak sesuai dengan zaman sekarang. Sangat perlu diterbitkan UU senafas yang baru. Pemerintah sepatutnya secara periodik menyidik takaran di seluruh pasar.
——— 000 ———


