Pemerintah Presiden Prabowo, segera menandatangani Perpres “penghapusan utang petani dan nelayan.” Dipastikan penghapusan utang wong cilik, tidak akan menganggu perbankan. Karena sebenarnya berupa sisa utang lama (tahun 2008 dan 1998) yang telah dihapus. Namun ironis, hak tagih perbankan belum dihapus. Sehingga banyak petani selalu ditolak dalam pengajuan kredit bank. Menyebabkan petani dan nelayan terjebak bank thithil (rentenir) di perkampungan.
Diperkirakan masih banyak petani, nelayan, dan pelaku usaha mikro, sekitar 5 hingga 6 juta orang menunggak utang. Sesungguhnya, utang wong cilik, tidak terlalu besar. Hanya sekitar Rp 10 juta hingga 50 juta. Telah lama masuk kategori NPL (Non-Performance Loan, Utang tidak tertagih). Cukup lama mengendap di berbagai bank, terutama perbankan milik negara (BUMN). Utang lama tidak terbayar, karena berbagai sebab. Antara lain, sawah (dan tambak) puso (gagal panen).
Penyebab puso, biasanya karena diterjang bencana ke-iklim-an. Di Jawa Timur, misalnya, masih sering terjadi bencana alam berupa banjir yang menerjang persawahan. Pasti gagal panen, karena padi terendam air. Bulir-bulir padi yang sudah mulai menguning membusuk. Sebagian terpaksa dipanen lebh awal dalam kondisi kadar air sangat tinggi. Tidak laku dijual. Hanya untuk dikomsumsi sendiri. Menyebabkan tidak bisa membayar cicilan, dan bunga kredit bank.
Sangat banyak petani terpaksa mengambil talangan biaya produksi pertanian pada tengkulak. Disebabkan tidak dapat menarik kredit, karena masih terdapat “catatan” di OJK (Otoritas Jasa Keungan). Selalu ditolak, karena sisa utang Rp 10 juta, Rp 15 juta, Rp 20 juta. Walau sebenarnya sudah dihapus dan dibekukan oleh bank sejak lama. Akan tetapi, hak tagih dari bank belum dihapus. Maka kalangan UMKM berburu utang ke rentenir, dan gadai swasta.
Untuk modal usaha pertanian selanjutnya, petani (dan nelayan) mengambil utang dari bank thithil (rentenir), dengan bunga sangat tinggi. Sebagian besar petani juga tidak memiliki aset agunan yang tgerglong bank-able. Jerat rentenir telah menjadi kronis, sehingga perlu pembelaan negara untuk “meng-hapus buku-kan utang.” Kementerian yang mengendalikan perbankan negara, mulai menyusun regulasi sebagai bentuk campur tangan pemerintah.
Regulasi penghapusan utang wong cilik, telah ditandatangani Presiden Prabowo Subianto. Regulasi yang tergolong sangat kuat, berupa penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang Penghapusan Piutang Macet kepada UMKM. Bebarapa kriteria Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang disebut, adalah bidang pertanian, perkebunan, peternakan, dan kelautan serta UMKM lainnya. Termasuk pertokoan kecil, serta usaha ekonomi kratif lain (gerai busana, usaha kuliner di kampung)
Tetapi tidak seluruh utang UMKM serta-merta akan dihapus. Terdapat kriteria “utang macet.” Yakni, pelaku UMKM yang benar-benar tidak mampu lagi membayar utangnya. Terutama yang mengalami kesulitan akibat bencana alam atau pandemi (CoViD-19). Selain itu, kebijakan tersebut hanya berlaku untuk pelaku UMKM yang menjadi nasabah bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Serta telah melewati masa jatuh tempo selama 10 tahun.
Penghapusan utang wong cilik, lebih diprioritaskan bidang pertanian. Termasuk di dalamnya, sektor perkebunan, peternakan, dan pertambakan Karena selama ini telah berprofesi sebagai produsen pangan. Diharapkan usaha wong cilik dapat berlanjut. Secara simbolis, presiden telah menyerahkan dokumen penghapusan utang kepada kalangan petani kelapa sawit.
Kementerian terkait patut segera memastikan penghapusan utang wong cilik. Khususnya Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan Kementerian UMKM. Pertengahan November, sudah mulai memasuki musim tanam. Petani memerlukan modal untuk membeli bibit, saatnya mengambil kredit.
——— 000 ———