33 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Guru Vs Artificial Intelligence

Oleh :
Nur Kamilia
Dosen Hukum STAI Nurul Huda Situbondo

Di banyak kelas hari ini, guru bukan lagi menjadi sumber pengetahuan satu-satunya. Murid bisa mencari jawaban dalam hitungan detik melalui aplikasi dan Artificial Intelligence (AI) seperti ChatGPT, Google Gemini, atau platform bimbingan belajar digital. Sesederhana mengetik pertanyaan, mesin akan menyajikan solusi lengkap dengan penjelasan, bahkan contoh soal.

Fenomena ini melahirkan perubahan besar: yang dulu guru menjadi pusat informasi, kini informasi dapat diperoleh tanpa manusia. Banyak murid menyimpan catatan digital, mengerjakan tugas lewat generator AI, hingga menggunakan mesin sebagai tutor pribadi yang bisa diakses kapan saja.

Bahkan, beberapa murid berani berkata, “Ngapain tanya guru kalau AI jawab lebih cepat?” Inilah titik kritisnya. Teknologi membuat pengetahuan menjadi instan. Namun, yang sering terlupakan adalah bahwa pengetahuan instan tidak sama dengan pemahaman. Murid dapat mengutip jawaban yang diketik mesin, tetapi mereka tidak benar-benar belajar proses berpikir kritis di baliknya.

Guru yang sebelumnya menjadi pemandu, kini dituntut berubah menjadi fasilitator. Dunia pendidikan tidak lagi menuntut guru mengajar untuk mengisi kepala murid dengan fakta, tetapi mengajar cara bernalar, mengolah informasi, dan mengambil keputusan. Mesin bisa memberikan jawaban, tetapi tidak bisa membentuk karakter dan nilai. Murid sekarang belajar dari mesin. Tapi, pertanyaannya: apakah mereka belajar menjadi manusia?

AI Bisa Mengajar, Tapi Tidak Bisa Mendidik
Artificial Intelligence mampu mengajar: menjelaskan rumus matematika, memberi terjemahan bahasa asing, bahkan menyusun esai siap pakai. Namun, ada batas yang tidak akan pernah dapat ditembus mesin: pendidikan rasa dan nilai kemanusiaan.

Berita Terkait :  Sambut Pelajar Asal Perancis, Smamda Surabaya Gelar Welcome Party

Guru mengetahui kapan muridnya sedang mengalami masalah, kapan seorang anak kehilangan fokus, dan kapan seorang murid membutuhkan dukungan emosional lebih dari sekadar pengetahuan akademik. Itulah sesuatu yang tidak bisa dilakukan AI. Mesin tidak bisa merasakan kegugupan seorang murid ketika diminta maju ke depan kelas, atau membaca mata murid yang meredup karena kehilangan semangat belajar.

Mesin dapat menjawab, tetapi guru memahami. AI mungkin bisa mencetak jawaban lebih cepat, tetapi guru mengajari murid untuk bertanya lebih dalam: “Kenapa demikian?””Bagaimana prosesnya?””Apa pengaruh keputusanmu?” Itulah inti pendidikan: bukan hanya tahu, tetapi mengerti.

Di ruang kelas, guru mengajarkan keberanian mengacungkan tangan, mengajarkan bagaimana menghargai pendapat teman, dan menanamkan nilai bahwa gagal tidak berarti bodoh. Mesin tidak memiliki empati. Mesin tidak bisa berkata, “Kamu sudah berusaha, ayo coba lagi.” Mesin tidak bisa menggenggam tangan seorang murid yang hampir menyerah dan berkata, “Aku percaya padamu.” AI dapat menghasilkan jawaban dengan sempurna, tetapi guru lah yang membentuk manusia yang utuh.

Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Sebagian guru merasa terancam oleh kemajuan AI. Ketakutan itu wajar. Pada masa lalu, profesi seperti operator telepon, penjaga loket kereta, dan kasir supermarket berkurang karena otomatisasi. Maka kekhawatiran bahwa guru akan “digantikan mesin” pun mencuat. Namun kenyataannya, peran guru justru semakin dibutuhkan.

Perubahan bukan soal digantikan atau tidak digantikan, tetapi pada bagaimana guru memanfaatkan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai pesaing. Guru yang dulu menghabiskan waktu untuk mengoreksi tugas satu per satu sekarang bisa memanfaatkan AI untuk mempercepat proses teknis, sehingga lebih banyak waktu yang bisa digunakan untuk membangun interaksi dengan murid.

Berita Terkait :  Rancangan Awal RKPD Kota Malang 2026, Fokus Penguatan Transformasi Ekonomi Inklusif

AI bisa menjadi:
” alat bantu mengajar,
” sumber referensi cepat,
” teman brainstorming ide.

Guru bisa mengajak murid berdiskusi lebih kritis: membandingkan hasil AI dengan pemikiran mereka sendiri, menguji kebenaran, dan belajar menganalisis kesalahan. Dengan begitu, murid tidak menjadi pengguna pasif teknologi, tetapi pengendali teknologi.

Masa depan pendidikan bukan lagi guru yang berdiri di depan kelas dan murid yang duduk diam mendengarkan. Masa depan pendidikan adalah ruang kolaborasi, di mana guru dan teknologi berdampingan untuk memperkuat proses belajar. Guru memberi nilai moral, AI memberi efisiensi. Guru membentuk karakter, AI menyajikan data. Guru menanamkan keberanian, AI menyediakan informasi.

Ketika mesin semakin cerdas, justru manusia harus semakin bijak. Karena di akhir hari, teknologi hanyalah alat. Yang menentukan arah masa depan tetaplah manusia yang menggunakannya.

AI sudah masuk ke kelas, dan itu tidak bisa dihentikan. Namun satu hal yang tidak dapat diambil alih oleh mesin adalah kebutuhan manusia untuk dibimbing oleh manusia lain. Anak-anak tidak hanya butuh orang yang mengajarkan apa itu logaritma atau struktur teks. Mereka butuh seseorang yang berkata:

“Kamu berharga, kamu mampu, dan kamu tidak sendiri.” Dan itu hanya bisa diberikan oleh seorang guru. Karena pada akhirnya, AI bisa mengajar, tapi guru lah yang mendidik.

———— *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru